Kamis, 24 Mei 2012

Dunia Arab


Dunia Arab, sejatinya tidak terlepas dari satu konstruk pemikiran yang melatarbelakangi tata nilai yang berkembang di sana. Dalam hal ini kaitannya dengan sebuah usaha yang coba dilakukan oleh seorang intelektual Muhammad abid al-Jabiri, mengenai “nalar Arab”. Awalnya dijelaskan bahwa dari segi terminology nalar maupun pemikiran, masihlah belum sepenuhnya final didefinisikan. Secara jelas dibedakan disini pemahaman nalar dan pemikiran
 “ karena kata pemikiran, khususnya ketika dihubungkan dengan suatu masyarakat tertentu seperti pemikiran Arab, pemikiran Perancis, atau lainnya yang lazim digunakan, berarti mengacu pada suatu muatan dan isi pemikiran, yakni sekumpulan pandangan dan pemikiran yang dengannya masyarakat mengungkapkan concern, ideal-ideal etik, doktrin-doktrin mazdhab serta ambisi social politiknya. Dengan kata lain, “pemikiran dalam pengertian ini semakna dengan ideology”
Dengan demikian dirasa perlu ada penegasan dalam perbedaan tersebut yang dilakukan secara sengaja. Hal ini didasarkan seperti halnya para Filosof yang membedakan antara ‘aql dan ma’qulat. ‘aql dimaknai sebagai kemampuan untuk mengetahui (al-quwwah al-Mudrikah) dan ma’qulat (ternalar) sebagai makna yang diketahui (al-ma’ani al-mudrokah). Walaupun diakuinya juga bahwa sebenarnya pemikiran itu sendiri adalah satu (satu kesatuan) karena kemampuan untuk mengetahui tidak pernah terlepas dari yang diketahui. Hanya terdapat beberapa dorongan. Para Filosof dengan pembedaan tadi merupakan dorongan metafisik, sementara ini adalah dorongan metodologis. Di bagian yang lain, kemunculan maupun ketertumpangtindihan perihal pemikiran sebagai produk dan perangkat adalah sebuah kenyataan yang tak dapat dipungkiri. keduanya pemaknaan tersebut dipengaruhi juga dengan pergesekan dengan lingkungan dimana ia berinteraksi dengannya, khususnya lingkungan sosio-kultural.
Dengan demikian, pemikiran Arab misalnya adalah bersifat Arabik, bukan semata karena ia merupakan konsep, pandangan dan teori yang mencerminkan atau mengekspresikan realitas Arab dengan suatu model ekspresi tertentu, tetapi juga karena ia adalah produk suatu cara atau model berpikir yang dibentuk oleh sejumlah realitas diantaranya realitas Arab itu sendiri dengan kekahasan yang ada di dalamnya.
Terdapat Sebuah kaedah umum yang membatasi setiap pemikir yakni “etnisitas cultural” (al-jinsiyah as-tsaqofiyah). Menurut pandangan ini, seorang pemikir tidak tergolong ke dalam suatu kebudayaan tertentu kecuali jika ia “berpikir dalam kebudayaan tersebut” (a-tafkir dakhiluha). Dengannya mengindikasikan bahwa pemikir orientalis yang melakukan studi arab tidak dikatakan pemikir Arab, begitu pula para Ulama yang melakukan studi pemikiran Eropa tidak dikatakan pemikir barat. Selama mereka berpikir dalam konteks budayanya masing-masing.
Demikianlah, berpikir melalui suatu kebudayaan tertentu artinya berpikir system refrensial (manzhumah marji’iyah). Sehingga dapat disimpulkan bahwa manusia suka tidak suka selalu membawa sejarahnya. Dengan begitu berarti “nalar arab” dapat dipahami sebagai perangkat untuk menelurkan produk-produk teoretis yang dibentuk oleh kekhasannya sendiri.
          Selanjutnya bermunculan pertanyaa. Apakah istilah “nalar” (yang dipahami sebagai perangkat) sama sekali tidak mengadung produk pemikiran? Tidakkah yang disebut “perangkat” niscaya merupakan sesuatu yang tersruktur? Tidakkah setiap perangkat sekecil apapun, merupakan struktur dan unit?
Untuk menjawab itu, sebuah pembedaan diperkenalkan oleh Lalande.
Ø Nalar aktif/pembentuk (al-a’qlul mukawwin) perancisnya (la raison constituante)yang berarti adalah aktifitas kognitif yang dilakukan pikiran ketika mengkaji dan menelaah serta membentuk konsep dan merumuskan prinsip-prinsip dasar. Dengan kata lain “nalar Aktif” adalah naluri yang dengannya manusia mampu menarik asas-asas umum dan niscaya, berdasar pemahamannya terhadap hubungan antara segala sesuatu. Semua manusia, nalar ini sama. Nalar memainkan peran dalam membedakan manusia dan binatang.
Ø Nalar terbentuk/Dominan (al-‘aqlul mukawwan) perancisnya (la raison constituee) yang adalah “sejumlah kaedah yang kita jadikan pegangan dalam berargumentasi (istidlal”. Nalar ini berbeda dari satu period eke periode lainnya. Dengan kata lain, ia adalah “system kaedah yang dibakukan dan diterima dalam era tertentu, dan yang selama era itu memperoleh nilai mutlak.
Namun tidak dapat dipisahkan begitu saja, bahwa kedua salaing bertautan. Yaitu nalar dominan di produsi oleh nalar pembentuk, dan disisi lain juga nalar pembentuk bertolah dari kaedah-kaedah dan asas-asas yang tidak lain adalah nalar dominan. Secara jelas dapat disebutkan bahwa “nalar arab” sebagai “nalar pembentuk” adalah produk dari kebudayaan arab (sebagai nalar dominan). Begitupun sebaliknya………….(dalam hal ini saya teringat oleh wacana “duluan mana telur dan ayam)…paradigm ini meruntuhkan adanya pemikiran “universalitas nalar”, memang nalar memiliki nilai-nilai universal tapi dalam satu budaya dan tipe kemasyarakatan tertentu. Sehingga Lalande mengatakan
“ nalar terbentuk (dominan) memiliki posisi mutlak bagi mereka yang tidak memilki semangat kritis, mereka dikuasai nalar dominan yang menjadi acuan nenek moyangnya (yakni nalar aktif)”.

Nalar Eropa
Selain melakukan upaya penggalian (kritik nalar) pada kebudayaan Arab, sudah selayaknya mengenal juga nalar yang dikembangkan dunia selainnya yakni Eropa (Yunani dan Barat), hal ini dimaksudkan sebagai perbandingan juga sebagai pembatas dalam persoalan metodologis. Karena diakui bahwa ketiga peradaban tersebut (Arab, Yunani, dan Barat) merupakan satu-satunya peradaban yang tidak hanya mempraktekkan “berpikir dengan akal” (at-tafkir bi al-a’ql) tapi juga “berpikir tentang akal” (at-tafkir fi al-a’ql).
Yunani
Menurut Gusdorf
“setiap kebudayaan, memilki batasan-batasan sebagai konsekuensi dari cara pandang yang ia formulasikan terhadap Allah (Tuhan), manusia, dan alam, serta hubungan antara tiga sisten realitas tersebut.”
Heraclitos dan Anaxagoras, adalah filsuf pertama yang merumuskan perihal keterkaitan antara Tuhan, manusia, dan Alam. Bahkan lebih dulu berdiri sebelum filsafat.
          Menurut ahli sejarah filsafat. Heraclitos uang mula-mula mengemukakan pemikiran tentang “LOGOS/NOUS” yaitu “akal universal” (al-a’qlul kauni). Untuk menjelaskan system yang menguasai jalannya kosmos—jauh dari mitologi—dia menggagas adanya “hokum universal” (al-qonun al-kauni). Yang mengatur realitas dan mengkontrol proses menjadinya realitas (becoming) yang terjadi secara terus menerus dan abadi.
Akal manusia bisa sampai kepada pengetahuan yang benar tentang realitas alam jika ia “bersekutu” dengan “akal universal”., yakni ketika ia berusaha mengkaji system natural dan memahami keniscayaan-keniscayaan dan cakupan-cakupan yang melekat pada system tersebut. Heraclitos mendeskripsikan “akal universal” (la raison universelle) sebagai sesuatu yang mengaturnya alam dari dalam. Posisi “nalar universal” bagi alam setara dengan posisi jiwa bagi manusia, jiwa bukan dalam arti “esensi” yang terpisah dari tubuh, tetapi yang menjadi landasan bagi gerak-geriknya yang tersebar di seluruh bagiannya. Karena itu, nalar ini (universal) menyerupai “api ketuhanan yang lembut” atau “cahaya ketuhanan”. Ia adalah kehidupan alam dan hukumnya. Jiwa manusia adalah “percikan dari api ketuhanan” yakni “hokum universal” yang berjalan dan mengkontrol alam. Oleh karena itu ia harus mengetahui hokum ini dan melaksanakan keniscayaan-keniscayaannya. Dari sini, heraclitos memahami agama, adalah persesuaian anatara akal individu—akal manusia individu—dengan hukum universal yang berjalan di alam, yakni “akal universal”. Pemikiran heraclitos ini cenderung kea rah wihdatul wujud.
 Berbeda dengan heraclitos, Anaxagoras, memiliki konsepsi bahwa dari NOUS lahir dasar-dasar yang mandiri. Tidak menyatu dengan alam.
Anaxagoras memandang bahwa tubuh terdiri dari bagian-bagian terkecil serupa yang bisa dibagi dengan tanpa batas, tetapi dengan mengandaikan adanya bagian terkecil yang tidak bisa dibagi lagi, menyerupai benda permulaan, yang tidak bisa ditangkap dengan indra, tetapi bisa digambarkan dalam pikiran.
Plato dan Aristoteles mengemukakan “akal adalah yang mengatur segala sesuatu dan menjadi sebab (‘illat) bagi segala hal”.

Wanita Korban Peradaban


Wanita Korban Peradaban
Wanita sebelum Rasulullah S.a.w , berderajat tidak berguna kecuali untuk memelihara keturunan dan mengatur rumah tangga. Apabila isteri melahirkan anak yang tidak cantik mereka pun membunuhnya. Wanita yang ‘subur’ dipinjam oleh lelaki (bukan suaminya) untuk melahirkan anak. Pendek kata, masa perkembangan peradaban Yunani, wanita hanya melayani cinta dan hawa nafsu kaum adam.
Pada zaman Yahudi, sebahagian orang menjadikan anak perempuan setaraf pelayan, dan ayahnya berhak menjualnya. Wanita boleh menerima waris, kecuali bila ayahnya tidak mempunyai keturunan anak-anak lelaki.
Penghinaan terhadap wanita di zaman jahiliyah Arab bukan hanya terbatas kepada penguburan bayi hidup-hidup, tetapi kehinaan itu meliputi seluruh segi kehidupan mereka, seperti wanita dijadikan hamba seks, hamba abdi yang boleh diperintahkan apa saja dan tidak mempunyai apa-apa hak.
Setelah kedatangan Islam, martabat kaum wanita diangkat dan dimuliakan. Tiada lagi diskriminasi terhadap kaum wanita dan mereka juga mempunyai hak-hak tertentu di dalam kehidupan. Begitulah adilnya Islam terhadap kaum wanita dan telah membebaskan mereka dari diskriminasi yang telah sekian lama membelenggu diri mereka, alhamdulillah
Akan tetapi setelah sekian lama derajat wanita sama dengan laki laki yang diperjuangkan oleh agama islam kini dijaman yang moderen ini sepertinya wanita akan kembali pada jaman jahiliyah tersebut dimana wanita akan dijadikan budak seks kaum adam percaya tidak percaya lihatlah kota kota besar yang ada indonesia sekarang misalnya disana para wanita dijadikan penghibur dari rasa letih aktifitas kaum adam dan wanita jalanan pun berderetan dijalanan ketika tengah malam menunggu pelanggan menjemputnya
Diskotik yang menawarkan penari penari wanita telanjang untuk menarik kaum adam mengunjunginya dan juga hotel yang setiap kamar free wanita penghibur sampai segitunya wanita dibuat sekarang bukankah ini pelan pelan kita telah kembali lagi kepada jaman jahiliyah dimana para wanita dijadikan budak seks kaum adam, beginilah kekejaman dunia yang penuh dengan hiburan yang menyesatkan dan itu jelas merugikan kaum hawa dan semakin besar dan maju sebuah kota tersebut semakin tak berharga nya se orang wanita
Wanita yang selalu menjadi korban perkembangan dunia semakin berkembang nya dunia ini semakin tidak berharganya se orang wanita dimata kaum adam karena begitu banyak wanita wanita penghibur yang terlahir dengan bayaran yang cukup rendah dan dibeberapa negara yang hanya menggunakan wanita untuk kawin kontrak hanya untuk memuaskan nafsu birahi kaum adam, se akan wanita benar benar tidak bernilai lagi.

semua nya sekarang hanya ada jawaban pada wanita itu sendiri bagaimana dia menjaga dirinya agar tak terjerumus dengan dunia gemerlap seperti itu karena bagaimana pun yang dirugikan dari hal seperti tentunya wanita dan bila wanita itu mampu menjaga dirinya sendiri maka jauhlah dari dunia yang seperti jahiliyah itu apabila tidak maka hancurlah kehidupannya  karena dia telah terjerumus dalam dunia hitam dan kelam
“Mungkinkah kita akan kembali pada masa jahiliyah lagi”


                                                  

seucap kata hamdalah


‘’  Seucap Cinta Kata Hamdalah ‘’
Terhemparkan sejadah suci untuk aku lantunkan
Seribu pinta akan kekuatan iman ‘’fiddun ya wal akhirah’’
Ukiran air mata aku  ingin meminta yang tak sanggup
Tuk mengungkapkan.
Fakta akan sebuah keikhlasan yang terpendam Terpancarkan kilau indahnya cahaya dalam
Mengurangi sepatah kata cinta.
Namun,,,,,,,
Apa arti cinta jika hanya mengundang murka Allah
Robby,,,,,,,,
Jika engkau izinkan hamba merindukan seorang kekasih
Rindukanlah hamba pada seseorang yg merindukan Syahid
Dijalanmu agar tidak sesat diri ini dalam melangkah
‘’telususuri jalan lurus’’ menuju dunia kekal-Mu ‘’Akhirat’’
Ya  Robby,,,,,,,
Izinkanlah Hamba-Mu untuk mengukir & mengiar
Asmaul Husna-Mu dinaluri Qolbu ini
Agar tak sesat Hamba dalam menggetarkan Qolbu ini
Dalam jalan lurus menuju
                                                                                                               By: Isnadil Qolby
                                                                                                                                                                                        

Sanggupkah Wanita Menjadi Tiang Agama


Wanita adalah tiang agama. Mendengar pepatah ini, sebagai wanita seperti mendapat beban yang sangat berat yang mesti dipikul dalam menjalani kehidupan ini. Seolah-olah hancur leburnya dunia ini semua diserahkan kepada wanita sebagai penanggung jawab. Dunia berada dalam genggaman tangan wanita, entah madu atau racun yang akan disuguhkan, itu semua tergantung pada wanita. Namun jika ditinjau dari sisi sebaliknya, wanita seharusnya merasa bangga jika mampu mewujudkan keberhasilanya sebagai wanita penegak tiang agama.

Wanita yang mampu menyuguhkan madu buat keluarganya, tentunya bukan sembarang wanita yang mampu melakukan. Wanita tersebut pasti mempunyai iman yang kuat, tahu nilai-nilai kebajikan dan tabah menjalani segala cobaan hidup. Tidak gampang terpengaruh oleh kilaunya dunia serta mampu memahami arti kehidupan di dunia fana ini. Wanita seperti ini tentunya tidak gampang terbujuk oleh bujuk rayu nafsu keduniawian, sikapnya sederhana dan menyejukan hati siapa saja yang berada bersamanya. Dengan demikian tak ada alasan bagi pengaruh jahat apapun yang akan berusaha menghancurkannya, karena tidak ada celah kekosongan dalam hatinya yang mampu disusupi oleh pengaruhi iblis manapun.

Sebaliknya wanita yang membawa racun, seluruh hidupnya hanya akan menghancurkan orang-orang disekitarnya. Sebagai ibu, dia hanya bisa mengajarkan anak-anaknya mengejar keduniawan, bagaimana mengejar kepentingan pribadi dan keluarga semata-mata demi nama baik dan kekayaan. Anak bagi dia adalah sebagai penerus ambisinya, sebagai alat pemuas nafsu mengejar nama baik dan pengumpul kekayaan. Sepanjang hidupnya dalam hatinya hanya terisi keinginan untuk menjadi pemenang untuk meraih puja dan puji. Sebagai istri, wanita ini hanya akan selalu menuntut agar suaminya memenuhi segala keinginanya untuk menjadi wanita yang paling sempurna dalam penampilannya. Dia sudah tidak peduli berapa besar kemampuan suaminya dalam mewujudkan keinginannya. Sedangkan suami yang tidak tegas salah-salah akan menghalalkan segala cara demi permintaan istri dan anak hasil didikannya.

Wanita yang mampu menegakkan tiang agama, akan dengan tegas mampu menolak segala sesuatu yang tidak mengikuti norma kebajikan dalam agama dan mampu memikul konsekwensi atas segala penolakannya. Misalnya suami atau anak terlibat perbuatan yang meyimpang dari agama, dia sangggup dengan tegas meminta suami dan anaknya untuk kembali ke jalan yang benar dengan berani menangung resiko kemiskinan dan menanggung perasaan terhina dan segala penderitaan, bukan malah berusaha menutupi segala perbuatan buruk suami dan anaknya demi menutupi rasa malunya sendiri. Dalam kemiskinan wanita tersebut mampu menahan segala godaan yang menyesatkan, serta mampu meghindar dari segala bujuk rayu yang menawarkan kenikmatan agar segera terlepas dari penderitaannya. Dengan kata lain, wanita ini, tak peduli betapa menderitanya, dia sanggup bertahan demi mempertahankan moral dan kebajikan dengan penuh keyakinan.

Seandainya semua wanita mempunyai nilai-nilai moral dan kebajikan yang tinggi, niscaya tak ada lagi istilah laki-laki hidung belang, tak ada lagi perselingkuhan, tak ada lagi korupsi karena semua wanita tak tergiur oleh harta dan tak silau oleh puja dan puji. Biarkanlah para pria yang mempunyai hati dan niat yang tidak baik bertepuk sebelah tangan, dengan demikian seluruh angan-angan buruknya akan sirna dengan sendirinya. Jika semua wanita sanggup berbuat begini maka tiang agama benar-benar akan tegak dan tak akan pernah tergoyahkan.

Tentang Wanita


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ … -وَفِي رِوَايَةٍ- الْمَرْأَةُ كَالضِّلَعِ … (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

“Berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para istri)1, karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk…” Dalam satu riwayat: “Wanita itu seperti tulang rusuk….” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).. landasan filosfis dari pernyataan wanita dari tulang rusuk laki-laki adalah wanita mempunyai sifat yang bengkok yang mana bila dipaksa untuk diluruskan maka akan patah. Tapi  kebengkokan ini bukan berarti keburukan bagi wanita karena bengkoknya tulang rusuk untuk melindungi dan memberi nyaman pada dada, karena apabila rusuk itu lurus maka jantung ini akan sempit. Begitu juga wanita, wanita adalah keteduhan dan kenyamanan bagi lelaki. Tetapi wanita adalah makhluk yang kadang sulit dimengerti oleh lelaki dan tidak bisa di perlakukan secara frontal karena akan berakibat "patah". Namun ada fakta menarik bawasannya cerita tentang hal ini adalah berasal dari cerita-cerita israiliyat, alquran tidak pernah menyatakan secara pasti akan hal itu, ”Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu, dan menciptakan darinya pasangannya …” Yang jadi soal adalah ”diri (jiwa) yang satu” (nafs wahidah). Para ulama terdahulu kontan menafsirkannya sebagai Adam. Padahal, ilmu pengetahuan bisa menerjemahkan kalimat itu dengan banyak sekali kemungkinan. Bisa saja ”nafs wahidah” itu adalah satu sel. Kalau kemudian Allah berkata, ”dan menciptakan darinya pasangannya” dapat diartikan sebagai pemecahan sel. jauh sebelum Nabi Adam diutus sebagai khalifah Allah, jauh sebelum Adam dinyatakan sebagai manusia (pertama) yang dianugerahi budaya dan ilmu pengetahuan, makhluk (sejenis) manusia telah ada. Mereka berburu, berbicara, dan hidup berkelompok. Para arkeolog berkesimpulan, sejak 20 ribu tahun lalu telah ada sosok makhluk yang memiliki kemampuan akal yang mendekati kemampuan berpikir manusia. Sedangkan kedatangan Adam yang konon berumur 930 tahun diperkirakan sekitar 3760-2830 SM. Makhluk (mirip) manusia itu terdiri dari lelaki dan perempuan. Jadi, lebih dari 15 ribu tahun sebelum Adam, telah ada makhluk (mirip) manusia yang terdiri dari laki dan perempuan.
Jadi, sangatlah diragukan kepercayaan bahwa Hawa (perempuan) diciptakan setelah Adam. Kemudian, tentang hadist tadi, bisa di terjemahkan secara harfiah. Hadist-hadist yang tidak berkenaan dengan ibadah ritual sangat mungkin (dan bisa) ditafsirkan sebagai kiasan. Begitu juga dengan hadist tentang tulang rusuk itu. Bukankah hadist itu penuh dengan kiasan? wallahu a'lam.

Ciri Ciri Wanita Setia


Ciri Ciri Wanita Setia. Kesetiaan merupakan suatu kunci dalam menjalani hubungan. jika keduanya bisa saling menjaga kesetiaannya insayaallah hubungan akan baik baik saja.
Ciri Ciri Wanita Setia
Ok buat kalian yang ingin mengetahui apa sih sebenarnya ciri ciri wanita yang setia itu?berikut adalah opini dari beberapa orang yang ahli dalam hal percintaan.
Ciri Ciri Wanita Setia
1.         menerima kamu apa adanya
2.         selalu menghargai apa yang ada di hati dan pikiran kamu
3.         selalu berusaha untuk tidak menyakiti dan mengecewakan kamu
4.         selalu berusaha memberikan yang terbaik walau dia merasa mungkin di mata kamu dirinya bukan yang terbaik
5.         selalu ada buat kamu
6.         tidak pernah menuntut kamu untuk mengikuti semua kemauannya
7.         selalu menjaga hubungan kalian agar tetap awet dan syukur sampai berlabuh ke pelaminan
8.         tidak hanya dijadikan pacar, bahkan sebagai teman curhat pun dia mau
9.         dan yang pastinya dia mencintai juga menyayangi kamu tulus.

Otak dan Komputer


Apa Persamaan dan Perbedaan antara Otak dan Komputer?
Sebenarnya, otak dan komputer hanya dapat dibandingkan dalam sisi tertentu saja. Perbedaannya banyak, persamaannya juga banyak. Berikut persamaan antara komputer dan otak manusia.
1.    Otak dan komputer sama-sama menggunakan sinyal listrik untuk mengirim pesan.
2.    Otak dan komputer sama-sama mengirimkan informasi
3.    Otak dan komputer sama-sama memiliki memory yang dapat berkembang
4.    Otak dan komputer sama-sama dapat beradaptasi dan belajar.
5.    Otak dan komputer sama-sama telah ber evolusi.
6.    Otak dan komputer sama-sama membutuhkan energi.
7.    Otak dan komputer sama-sama bisa rusak
8.    Otak dan komputer sama-sama bisa sakit
9.    Otak dan komputer dapat berubah dan dapat dimanipulasi
10. Otak dan komputer sama-sama bisa mengerjakan matematika dan masalah logika lainnya
11. Otak dan komputer sama-sama dipelajari oleh ilmuan
Nah, kita sudah tahu sepuluh kesamaan komputer dan otak. Sekarang perbedaannya :
No
Otak
Komputer
1
Menggunakan zat kimia untuk mengirim informasi
Menggunakan listrik untuk mengirim informasi
2
Sinyal bergerak lambat
Sinyal bergerak cepat
3
Menggunakan gerbang fuzzy (kabur) yang berjangkauan antara (0) tidak menembak hingga (1) menembak penuh
Menggunakan gerbang biner yang hanya mencakup dua pilihan: (0) Off dan (1) On
4
Memory tumbuh dengan pertambahan koneksi syaraf
Memory tumbuh dengan penambahan chip
5
Cepat belajar
Lambat belajar
6
Satu pekerjaan satu waktu (kecuali pada sistem syaraf otonom)
Multitasking
7
Ukuran otak tidak berubah dalam 100 ribu tahun terakhir
Ukuran komputer berubah sangat cepat hanya dalam beberapa dekade
8
Bahan bakarnya oksigen dan gula
Bahan bakarnya listrik
9
Sekali rusak, selnya tidak dapat diganti
Saat rusak, bagian penyusunnya dapat diganti
10
Memiliki sistem back up bila beberapa sel rusak
Tidak memiliki back up bila hardwarenya rusak
11
Tidak pernah berhenti bekerja
Dapat dimatikan dan dinyalakan kembali
12
Lambat mengerjakan matematika dan logika
Cepat menghitung dan melakukan pertimbangan logis
13
Mampu berimajinasi
Tidak dapat berimajinasi
14
Mampu menafsirkan dunia luar dengan sedikit informasi
Perlu banyak informasi agar tidak salah menafsirkan
15
Ilmuan masih tahu sedikit sekali tentang otak
Ilmuan sudah banyak tahu tentang komputer
Nah, Itu perbedaan dan persamaan antara otak dan komputer. Sekarang saat kita membandingkan antara keduanya, kita harus bicarakan konteksnya terlebih dahulu. Dalam hal apa?
Referensi :
Chudler, E. H. 2008. Brain vs Computer. http://faculty.washington.edu/chudler/bvc.html


8 Pengertian Cinta Dalam Al-Qur'an


8 Pengertian Cinta Dalam Al-Qur'an
8 Pengertian Cinta Dalam Al-Qur'an
Dalam Qur’an cinta memiliki 8 pengertian berikut ini penjelasannya:

1. Cinta Mawaddah adalah jenis cinta mengebu-gebu, membara dan “nggemesi”.
Orang yang memiliki cinta jenis mawaddah, maunya selalu berdua, enggan berpisah
dan selalu ingin memuaskan dahaga cintanya. Ia ingin memonopoli cintanya,
dan hampir tak bisa berfikir lain.

2. Cinta Rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut, siap berkorban,
dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih memperhatikan
orang yang dicintainya dibanding terhadap diri sendiri. Baginya yang penting adalah
kebahagiaan sang kekasih meski untuk itu ia harus menderita. Ia sangat memaklumi
kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya. Termasuk dalam
cinta rahmah adalah cinta antar orang yang bertalian darah, terutama cinta orang tua
terhadap anaknya, dan sebaliknya. Dari itu maka dalam al Qur’an , kerabat disebut
al arham, dzawi al arham , yakni orang-orang yang memiliki hubungan kasih sayang
secara fitri, yang berasal dari garba kasih sayang ibu, disebut rahim (dari kata rahmah).
Sejak janin seorang anak sudah diliputi oleh suasana psikologis kasih sayang dalam
satu ruang yang disebut rahim. Selanjutnya diantara orang-orang yang memiliki
hubungan darah dianjurkan untuk selalu ber silaturrahim, atau silaturrahmi artinya
menyambung tali kasih sayang. Suami isteri yang diikat oleh cinta mawaddah dan
rahmah sekaligus biasanya saling setia lahir batin-dunia akhirat.

3. Cinta Mail, adalah jenis cinta yang untuk sementara sangat membara,
sehingga menyedot seluruh perhatian hingga hal-hal lain cenderung kurang diperhatikan.
Cinta jenis mail ini dalam al Qur’an disebut dalam konteks orang poligami dimana ketika
sedang jatuh cinta kepada yang muda (an tamilu kulla al mail), cenderung mengabaikan
kepada yang lama.

4. Cinta Syaghaf. Adalah cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil dan memabukkan.
Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad syaghafaha hubba) bisa seperti orang gila,
lupa diri dan hampir-hampir tak menyadari apa yang dilakukan. Al Qur’an menggunakan
term syaghaf ketika mengkisahkan bagaimana cintanya Zulaikha, istri pembesar Mesir
kepada bujangnya, Yusuf.

5. Cinta Ra’fah, yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan norma-norma kebenaran,
misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak tega membangunkannya untuk salat,
membelanya meskipun salah. Al Qur’an menyebut term ini ketika mengingatkan agar
janganlah cinta ra`fah menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah, dalam hal ini
kasus hukuman bagi pezina (Q/24:2).

6. Cinta Shobwah, yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilaku penyimpang tanpa
sanggup mengelak. Al Qur’an menyebut term ni ketika mengkisahkan bagaimana
Nabi Yusuf berdoa agar dipisahkan dengan Zulaiha yang setiap hari menggodanya
(mohon dimasukkan penjara saja), sebab jika tidak, lama kelamaan Yusuf tergelincir
juga dalam perbuatan bodoh, wa illa tashrif `anni kaidahunna ashbu ilaihinna
wa akun min al jahilin (Q/12:33)

7. Cinta Syauq (rindu). Term ini bukan dari al Qur’an tetapi dari hadis yang menafsirkan
al Qur’an. Dalam surat al `Ankabut ayat 5 dikatakan bahwa barangsiapa rindu berjumpa
Allah pasti waktunya akan tiba. Kalimat kerinduan ini kemudian diungkapkan dalam
doa ma’tsur dari hadis riwayat Ahmad; wa as’aluka ladzzata an nadzori ila wajhika
wa as syauqa ila liqa’ika, aku mohon dapat merasakan nikmatnya memandang
wajah Mu dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa dengan Mu.
Menurut Ibn al Qayyim al Jauzi dalam kitab Raudlat al Muhibbin wa Nuzhat al Musytaqin,
Syauq (rindu) adalah pengembaraan hati kepada sang kekasih (safar al qalb ila al mahbub),
dan kobaran cinta yang apinya berada di dalam hati sang pecinta,
hurqat al mahabbah wa il tihab naruha fi qalb al muhibbi.

8. Cinta Kulfah, yakni perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada
hal-hal yang positip meski sulit, seperti orang tua yang menyuruh anaknya menyapu,
membersihkan kamar sendiri, meski ada pembantu. Jenis cinta ini disebut al Qur’an
ketika menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan
kemampuannya, la yukallifullah nafsan illa wus`aha (Q/2:286)

Hadist


 TUGAS
STUDY HADIST
Disusun untuk memenuhi tugas Study Hadist
Dosen pembibing:
Ahmad Mu’iz S.Ag. MA


Oleh:
Nur Halimah (10510094)

FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2010/2011
 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

عَنْ ابْنِ مَسْعُدٍ قاَ لَ : قَا لَ رَسُوْلُ الَّلِه صَلَّى اللَّهُ َعَلَيْهِ وَسَلَّمَ :إِذَا خْتَلَفُ أْالبَيَّعَانِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا بَيِّنَةٌ فَاالقُوْلُ مَايَقُوْلُ رَبُّ السَّلْعَةِ أَوْ يَتَتَارَ كَانِ. وَفِيْ رِوَيَةٍ : إِذَا اخْتَلَفَ الْبَيْعَانِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا بَيِّنَةٍ وَالْبَيْعُ قَائِمٌ بِعِيْنِهِ فَالقُوْ لُ مَا قَالَ الْبَا ئِعُ  أَوْ يَتَرَادَّانِ الْبَيْعَ.( رواه ابوداود)
Dari ibnu Mas’ud RA,ia berkata, Rasulullah bersabda,” apabila penjual dan pembeli berselisih, dan tidak ada bukti keduanya, makaperkataan yang di ikuti adlah perkataan pemilik barang dagangan, atau kedunya saling meninggalkan (membatalkan transaksi ).
Apabila terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli, dan penjual mengatakan, “Aku menjual dengan harga sekian,” sedangkan pembeli mengatakan,” Aku membeli dengan harga kurang dari itu,” Atau umpamanya si penjual mengatakan, “Aku menjualnya dengan harga seratus,” Sedangkan pembeli mengatakan, “ Aku telah menyetujui harganya delapan puluh ribu.” Maka dalam hal ini yang di pegang perkataan penjual. Al Qoulul ba’i (perkataan yang di pegang adalah perkataan si penjual ). Yakni hendaknya si penjual  bersumpah atas ucapannya  itu, seperti di sebutkan dalam sejumlah riwayat.
Jika penjual berani bersumpah, maka si pembeli berhak memilih sikap. Apakah ia akan mengambil barang tersebut dengan hargr yang di ucapkan si pedagang, ataukah tidak jadi membelinya. Ini jika barang tersebut ada, sebagaimana di sebutkan dalam sabda Nabi SAW, “ sedang barang dagangannya sesuai . . . . .”
Ahmad Syair berpendapat, “ kami tidak melihat adanya pertentagan antara hadist yang menyebutkan keharusan adanyabukti bagi orang yang mengklaim dan adanya sumpah bagi orang yang mengingkarinya dengan hadist yang menyatakan di akuinya sumpah bagi penjual jika terjadi sengketa dengan pembeli seputar harga yang di minta si penjual.
عَنْ عَا ئِشَةَ أَنَّ رَسُوْ لُ اللَّهِ قَضَى أَنَّ الخَرَاجَ بِا لضَّمَا نِ. ( رواه ألنساء)
Dari Aisyah RA, bahwa Rasulullah SAW telah memutuskan bahwa hak mendapatkan hasil di sebabkan oleh keharusan menanggung kerugian ( al kharaj bidh dhiman). ( H.R.Annasa’i).
Dalam konteks hadist ini, “ bahwa hak mendapatkan hasil di sebabkan oleh keharusan menanggung kerugian (al kharaj bidh dhiman).” Bermakan manfaat dapat di ambil dan kerugian di tanggung oleh pihak asal (penjual). Dalam konteks ini pula Imam Safi’i menjastifikasi kasus sesuatu yang terjadi setelah barang itu berada ditangan si pembeli, seperti anak binatang yang di hasilkan, anak dari budak wanita, susu dan bulu hewan ternak, atau buah dari pohon yang telah di beli, semua bentuk dasar atau asli, dari barang cacat yang di belinya kepada si penjual. Jastifikasi seada juga i sebutan oleh Al Khithabi dalam kitab Al Ma’alim (3/126). 

عَنْ سُوْ يْدِ بْنِ قَيْسٍ قَا لَ : جَلَبْتُ أنَا وَ مَخْرَقَهُ العَبْدِ يٌّ بَزًّا مِنْ هَجَرَ فَجَاءَ نَا رَ سُو اللَّهِ  صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَا وَ مَنَا سَرَاويْلَ وَعِنْدَ نَا وَزَانَّ  يَزِيْنُ بِالأَجْرِ فَقَا لَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :يَا وَزَّانِ زِنْ وَ أَرْ جِحْ. ( رواه أبوا داود)
Dari Sawaid bin Qais, ia berkata, “ Aku datang bersama makhrafah Al Abdi membawa kain yang berasal dari kampung hajar. Kemudian kami datang kepada Rasulullah SAW, lalu beliau membarternya dengan celana, seang di saat itu di sisi kami ada tukang timbang yang menimbang dengan imbalan upah. Maka Nabi SAW berkata kepadanya. ‘wahai tukang timbang, timbangkan lah dan pastikan. ( H.R. Abu Daud).
Al khathibi mengatakan “ Dalam hadust ini terkandung dalil mengenai bolehnya mengambil upah dalm menimban atau menakar. Dan yang semakna dengannya adalah bolehnya tukang hitung (akuntan) dan tukang pilah barang untuk mengambil upah, dan Ahmad Bin Hanbal memandangnya Makruh.
Asy-syaikh mengatakan, “ Dalam instruksi dan perintah nabi SAW kepada tukang timbang untuk menimbang barang yang hendak di barter adalah dalil bahwa standar penentuan harga suatu barang yang barteran ada di tangan pembeli. Dan jika menimbang adalah kepentngan pembeli dan keharusannya untuk melakukan timbang baranng yang akan di barter, maka upah menimbang tersebut pun menjadi tanggungannya. Analoginya, karena barang yag akan di jual adalah milik penjual.
            عَنْ عَبْدِاللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَا لَ : قَا لَ رَسُوْلُ الَّلِه صَلَّى اللَّهُ َعَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ يَحِلُّ سَلَفَ وَبَيْعُ وَلاَ شَرْطًانِ فِيْ بَيْعٍ وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَنْ وَلاَ بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَ كَ. ( رواه النسا ء)
Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata,  Rasulullah SAW bersabda. “ tidak halal maenggabungkan antara pinjaman dan jual beli, dan tidak sah dua syarat dalam satu transaksi jual beli, tidak sah pula mengambil keuntungan selamatidak memberi jaminan, dan tidak halal menjual sesuatu yang bukan milik mu. (H.R.An-Nasa’i)
Hadist ini mengandung empat macam jastifikasi hukum, yaitu :
Ø  Tidak boleh menggabungkan antara pinjaman dan jual beli dalamwatu yang bersamaan. Nabi SAW mengharamkan penggabungan antara pinjaman dan jual beli. Sebab, jika seseorang meminjamkan sesuatu, lalu menjualkepada si peminjam, maka si pemilik telah berupaya menjual barangnya dengan cara menghutangi si peminjam. Demkian pula halnya seseorang menyewakan sesuatu kemudian menjual  kepada si penyeea.
Ø  Larangan mengambil keuntungan dari barang yang tidak memiliki jaminan. Yaitu, jika seseorang menjual sesuatu yang telah ia beli sebelum barang itu jatuh ke tangannya (Di terima ).
Ø  Hukum tentang dua syarat  dalam satu jual beli.
-          Dua syarat ketika seseorang mengatakan,“Aku mejual budak ini kepadamu dengan harga seratus, di bayar kemudian (nanti).
-          Dua syarat ketika seseorang membeli sesuatu dan menyaratkan dua hal kepada si penjual. Jika si pembeli menyaratkan hanya dengan satu macam syarat, transaksinya jelas sah. Seperti ketika seseorang membeli kayu dan menyaratkan si penjual untuk mengantarkan dan memotong-motongnya, transasi ini tidak sah. Namun ia hanya menyaratkan agar mengantarnya saja, atau memotog-motongnya saja, itu boleh.
-          Dua syarat dalam jua beli ‘ayinah. Yaitu jika seseorang mengatakan, “Ambillah barang ini dengan harga spuuh di bayar kontan. Dan kelak akan ku ambil kembali dengan harga lebih menjadi dua puluh.’
Ø  Larangan untuk menjual barang yang bukan milik sendiri.
Al-kathibi mengatakan : Sabda Rasulullah, . . . . ‘dan tidak halal menjual sesuatu yang bukan milikmu,’ maksunya adalah menjual benda dan bukan menjual sifat. Dalam hadst ini terkait dengan koteks Rosulullah membolehkan bai-‘us salam yang barangnya di tangguhkan. Yakni ketika penjual menjual sesuatu yang barangnya sedang tidak padanya saat itu. Yang beliau larang adalah menjual sesuatu yag memang bukan milik si penjual karena niat menipu. Seperti menjual budak yang sedang kabur, atau onta yang lepas entah kemana.

عَنْ حَكِيْمٍ بْنِ حَزَا مٍ قَا لَ : أَتَيْتُ رَسُوْلُ الَّلِه صَلَّى اللَّهُ فَقُلْتُ : يَأْتِيْنِيْ الرَّ جُلَ فَيَسْأ لُنِيْ مِنَ الْبَيْعِ مَا لَيْسَ عِنْدِيْ أَبِتَاعٌ لَهُ مِنَ السُّوْ قِ ثُمَّ أبِيْعُهُ قَا لَ : لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ.( رواه إبن ما جح
Dari Hakim bin Hizam, ia berkata, “Aku datang kepada Rasulullah SAW lalu bertanya, ‘ Aku di datangi oleh seseorang yang memintaku untuk menjual sesuatu yang tidak ada padaku ( bukan milikku ) apkah aku boleh membelnya dari pasar kmudian menjualnya ?’ beliau menjawab, ‘ janganlah kamu menjual sesauatu yang bukan milikmu.”
Haram menjual sesuatu yang bukan milik pibadi si pejual atau sesuatu yang dalam penguasaannya. Seperti menjual budak yang di curi yang tidak sanggup di ambil kembali dari orang yang menguasainya. Atau seperti menjual budak tyang kabur yang tidak di ketahui rimbanya lagi, atau menjual byrung yang lepas dari sangkarnya yang biasanya tidak kenbali.
Shadiq Hasan Khan menuturkan, “ Bai-ul quthuth menurut para ulama tidak boleh untuk dilakukan kecuali yang di perdagangkan itu telah sampai kepada orang yang di tuju lau mengklaim kepemilikannya lalu barulah di jualnya. Al-qith adaah cek (giro). Seperti di sebut dalam Firman Allah SWT, “Dan mereka berkata, ; Ya Tuhan kami, cepatkanlah untuk adzab yang d peruntukkan bagi kami.” (Q.S. As-Shaad :16).
Termasuk dalam kategori ini segala sesuatu yang belum pasti kepemilikannya. Seperti jika seseorang membeli suatu barang kemudian menjualnya sebelu barang itu jatuh ke tangannya (benar-benar di terimanya).  

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلاً  كَانَ فِيْ عُقْدَتِهِ ضَعْفٌ وَ كَانَ يُبَا يِعُ وَأَنَّ أَهْلُهُ أَتَوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَلٌوْا: يَا رَسُوْ لُ اللَّهِ احْجُرْ عَلَيْهِ فَدَعَاهُ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَهَاهُ فَقَالَ : يَا رَسُوْلُ اللَّهِ اِنِّى لاَ أَصْبِرُ عَنِ البَيْعِ فَقَا لَ : إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ هَا ءَ وَهَاء وَلاَ خِلاَ بَةَ. ( رواه البخار و مسلم )
Dari Anas bin Malik RA, ia menceritakan bahea ada seorang laki-laki terbelakang mental dan bermaksud melakukan jual beli. Kemudian keluarganya datang kepada Nabi SAW lalu berkata, “ Wahai Rasulullah, cegahlah ia. ’’ Nabi SAW kemudian memenggil lelaki itu dan melarangnya. Maka lelaki itu berkata, “ Wahai  Rasululah, sesungguhnya aku sudah tidak sabar untuk menjualnya.’’ Maka beliau bersabda, “ apabila akan menjual sesuatu, maka katakanlah, ‘Transaksi harus langsung, ‘dan jangan pula ada unsur tipuan.’’ ( H.R. Bukhari dan Muslim).
Ahmad Bin Hanbal dan Malik dalam satu riwayat, Al-Manshur Billah serta Imam Yahya menilai bahwa barang yang telah di beli apat di kembalikan jika sebelumnya telah di persyaratkan demikian dalam transaksi awalnya, dan mereka juga menetapkan keharusan mengembalikan barang yang di dalamnya terdapat unsur penipuan terhadap orang yang tidak buta dengan harga barang. Namun sebagian ulama membatasi hanya kepada tipuan harga yang sangat amat buruk, yakni melebih seertiga harga barang sesungguhnya.
Kalangan ulama ini mengatakan bahwa khiyar (pilihan) berlaku bagi semua unsur penipuan. Karena itulah Nabi SAW menetapkan khiyar kepada lelaki itu. Namun, kalangan lain para ulama membantah bahwa Nabi SAW menetapkan khiyar keada lelaki itu hanyalahkarena motif kelemahan akalnya, sebagaimana di sebutkan dalam hadist dari Anas RA di atas. Dalam konteks ini hanya orang yang berkarakter seperti lelaki tersebutlah yang layak mndapat jastifikasi ini, dengan sarat ia harus mengucapkan perkataan dengan lafadz seperti dalam hadist tersebut. Oleh karenanya di katakan “jika ia di tipu”.