Dunia
Arab, sejatinya tidak terlepas dari satu konstruk pemikiran yang
melatarbelakangi tata nilai yang berkembang di sana. Dalam hal ini kaitannya
dengan sebuah usaha yang coba dilakukan oleh seorang intelektual Muhammad abid
al-Jabiri, mengenai “nalar Arab”. Awalnya dijelaskan bahwa dari segi
terminology nalar maupun pemikiran, masihlah belum sepenuhnya final
didefinisikan. Secara jelas dibedakan disini pemahaman nalar dan pemikiran
“ karena kata pemikiran,
khususnya ketika dihubungkan dengan suatu masyarakat tertentu seperti pemikiran
Arab, pemikiran Perancis, atau lainnya yang lazim digunakan, berarti mengacu
pada suatu muatan dan isi pemikiran, yakni sekumpulan pandangan dan pemikiran
yang dengannya masyarakat mengungkapkan concern, ideal-ideal etik,
doktrin-doktrin mazdhab serta ambisi social politiknya. Dengan kata lain,
“pemikiran dalam pengertian ini semakna dengan ideology”
Dengan
demikian dirasa perlu ada penegasan dalam perbedaan tersebut yang dilakukan
secara sengaja. Hal ini didasarkan seperti halnya para Filosof yang membedakan
antara ‘aql dan ma’qulat. ‘aql dimaknai sebagai kemampuan
untuk mengetahui (al-quwwah al-Mudrikah) dan ma’qulat (ternalar)
sebagai makna yang diketahui (al-ma’ani al-mudrokah). Walaupun
diakuinya juga bahwa sebenarnya pemikiran itu sendiri adalah satu (satu
kesatuan) karena kemampuan untuk mengetahui tidak pernah terlepas dari yang
diketahui. Hanya terdapat beberapa dorongan. Para Filosof dengan pembedaan tadi
merupakan dorongan metafisik, sementara ini adalah dorongan metodologis. Di
bagian yang lain, kemunculan maupun ketertumpangtindihan perihal pemikiran
sebagai produk dan perangkat adalah sebuah kenyataan yang tak dapat dipungkiri.
keduanya pemaknaan tersebut dipengaruhi juga dengan pergesekan dengan
lingkungan dimana ia berinteraksi dengannya, khususnya lingkungan
sosio-kultural.
Dengan
demikian, pemikiran Arab misalnya adalah bersifat Arabik, bukan semata karena
ia merupakan konsep, pandangan dan teori yang mencerminkan atau mengekspresikan
realitas Arab dengan suatu model ekspresi tertentu, tetapi juga karena ia
adalah produk suatu cara atau model berpikir yang dibentuk oleh sejumlah
realitas diantaranya realitas Arab itu sendiri dengan kekahasan yang ada di
dalamnya.
Terdapat
Sebuah kaedah umum yang membatasi setiap pemikir yakni “etnisitas cultural”
(al-jinsiyah as-tsaqofiyah). Menurut pandangan ini, seorang pemikir tidak
tergolong ke dalam suatu kebudayaan tertentu kecuali jika ia “berpikir dalam
kebudayaan tersebut” (a-tafkir dakhiluha). Dengannya mengindikasikan bahwa
pemikir orientalis yang melakukan studi arab tidak dikatakan pemikir Arab,
begitu pula para Ulama yang melakukan studi pemikiran Eropa tidak dikatakan
pemikir barat. Selama mereka berpikir dalam konteks budayanya masing-masing.
Demikianlah,
berpikir melalui suatu kebudayaan tertentu artinya berpikir system refrensial
(manzhumah marji’iyah). Sehingga dapat disimpulkan bahwa manusia suka tidak
suka selalu membawa sejarahnya. Dengan begitu berarti “nalar arab” dapat
dipahami sebagai perangkat untuk menelurkan produk-produk teoretis yang
dibentuk oleh kekhasannya sendiri.
Selanjutnya
bermunculan pertanyaa. Apakah istilah “nalar” (yang dipahami sebagai perangkat)
sama sekali tidak mengadung produk pemikiran? Tidakkah yang disebut “perangkat”
niscaya merupakan sesuatu yang tersruktur? Tidakkah setiap perangkat sekecil
apapun, merupakan struktur dan unit?
Untuk
menjawab itu, sebuah pembedaan diperkenalkan oleh Lalande.
Ø Nalar aktif/pembentuk (al-a’qlul mukawwin) perancisnya (la raison
constituante)yang berarti adalah aktifitas kognitif yang dilakukan pikiran
ketika mengkaji dan menelaah serta membentuk konsep dan merumuskan
prinsip-prinsip dasar. Dengan kata lain “nalar Aktif” adalah naluri yang
dengannya manusia mampu menarik asas-asas umum dan niscaya, berdasar
pemahamannya terhadap hubungan antara segala sesuatu. Semua manusia, nalar ini
sama. Nalar memainkan peran dalam membedakan manusia dan binatang.
Ø Nalar terbentuk/Dominan (al-‘aqlul mukawwan) perancisnya (la raison
constituee) yang adalah “sejumlah kaedah yang kita jadikan pegangan dalam
berargumentasi (istidlal”. Nalar ini berbeda dari satu period eke periode
lainnya. Dengan kata lain, ia adalah “system kaedah yang dibakukan dan diterima
dalam era tertentu, dan yang selama era itu memperoleh nilai mutlak.
Namun tidak dapat dipisahkan begitu saja, bahwa kedua salaing
bertautan. Yaitu nalar dominan di produsi oleh nalar pembentuk, dan disisi lain
juga nalar pembentuk bertolah dari kaedah-kaedah dan asas-asas yang tidak lain
adalah nalar dominan. Secara jelas dapat disebutkan bahwa “nalar arab” sebagai
“nalar pembentuk” adalah produk dari kebudayaan arab (sebagai nalar dominan).
Begitupun sebaliknya………….(dalam hal ini saya teringat oleh wacana “duluan mana telur
dan ayam)…paradigm ini meruntuhkan adanya pemikiran “universalitas nalar”,
memang nalar memiliki nilai-nilai universal tapi dalam satu budaya dan tipe
kemasyarakatan tertentu. Sehingga Lalande mengatakan
“ nalar terbentuk (dominan) memiliki posisi mutlak bagi mereka yang
tidak memilki semangat kritis, mereka dikuasai nalar dominan yang menjadi acuan
nenek moyangnya (yakni nalar aktif)”.
Nalar
Eropa
Selain
melakukan upaya penggalian (kritik nalar) pada kebudayaan Arab, sudah
selayaknya mengenal juga nalar yang dikembangkan dunia selainnya yakni Eropa
(Yunani dan Barat), hal ini dimaksudkan sebagai perbandingan juga sebagai
pembatas dalam persoalan metodologis. Karena diakui bahwa ketiga peradaban
tersebut (Arab, Yunani, dan Barat) merupakan satu-satunya peradaban yang tidak
hanya mempraktekkan “berpikir dengan akal” (at-tafkir bi al-a’ql) tapi juga
“berpikir tentang akal” (at-tafkir fi al-a’ql).
Yunani
Menurut
Gusdorf
“setiap kebudayaan, memilki batasan-batasan sebagai konsekuensi
dari cara pandang yang ia formulasikan terhadap Allah (Tuhan), manusia, dan
alam, serta hubungan antara tiga sisten realitas tersebut.”
Heraclitos dan Anaxagoras, adalah filsuf pertama yang merumuskan
perihal keterkaitan antara Tuhan, manusia, dan Alam. Bahkan lebih dulu berdiri
sebelum filsafat.
Menurut ahli sejarah filsafat.
Heraclitos uang mula-mula mengemukakan pemikiran tentang “LOGOS/NOUS” yaitu
“akal universal” (al-a’qlul kauni). Untuk menjelaskan system yang menguasai
jalannya kosmos—jauh dari mitologi—dia menggagas adanya “hokum universal”
(al-qonun al-kauni). Yang mengatur realitas dan mengkontrol proses menjadinya
realitas (becoming) yang terjadi secara terus menerus dan abadi.
Akal
manusia bisa sampai kepada pengetahuan yang benar tentang realitas alam jika ia
“bersekutu” dengan “akal universal”., yakni ketika ia berusaha mengkaji system
natural dan memahami keniscayaan-keniscayaan dan cakupan-cakupan yang melekat
pada system tersebut. Heraclitos mendeskripsikan “akal universal” (la raison
universelle) sebagai sesuatu yang mengaturnya alam dari dalam. Posisi “nalar
universal” bagi alam setara dengan posisi jiwa bagi manusia, jiwa bukan dalam
arti “esensi” yang terpisah dari tubuh, tetapi yang menjadi landasan bagi
gerak-geriknya yang tersebar di seluruh bagiannya. Karena itu, nalar ini
(universal) menyerupai “api ketuhanan yang lembut” atau “cahaya ketuhanan”. Ia
adalah kehidupan alam dan hukumnya. Jiwa manusia adalah “percikan dari api
ketuhanan” yakni “hokum universal” yang berjalan dan mengkontrol alam. Oleh karena
itu ia harus mengetahui hokum ini dan melaksanakan keniscayaan-keniscayaannya.
Dari sini, heraclitos memahami agama, adalah persesuaian anatara akal
individu—akal manusia individu—dengan hukum universal yang berjalan di alam,
yakni “akal universal”. Pemikiran heraclitos ini cenderung kea rah wihdatul
wujud.
Berbeda dengan heraclitos, Anaxagoras,
memiliki konsepsi bahwa dari NOUS lahir dasar-dasar yang mandiri. Tidak menyatu
dengan alam.
Anaxagoras
memandang bahwa tubuh terdiri dari bagian-bagian terkecil serupa yang bisa
dibagi dengan tanpa batas, tetapi dengan mengandaikan adanya bagian terkecil
yang tidak bisa dibagi lagi, menyerupai benda permulaan, yang tidak bisa
ditangkap dengan indra, tetapi bisa digambarkan dalam pikiran.
Plato
dan Aristoteles mengemukakan “akal adalah yang mengatur segala sesuatu dan
menjadi sebab (‘illat) bagi segala hal”.