Hadis ke 1
Kesejahteraan
rakyat adalah
Tanggung
jawab seorang pemimpin
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ
وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ
رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ
بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ
بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ
سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ
Ibn umar r.a
berkata : saya telah mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah
pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala
negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya.
Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri
yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan
tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara
barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu
sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal
yang dipimpinnya. (buchary, muslim)
Penjelasan:
Pada
dasarnya, hadis di atas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam islam. Dalam
hadis ini dijelaskan bahwa etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun
jawab. Semua orang yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai pemimpin.
Karenanya, sebagai pemimpin, mereka semua memikul tanggung jawab,
sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri. Seorang suami bertanggung jawab
atas istrinya, seorang bapak bertangung jawab kepada anak-anaknya, seorang
majikan betanggung jawab kepada pekerjanya, seorang atasan bertanggung jawab
kepada bawahannya, dan seorang presiden, bupati, gubernur bertanggung jawab
kepada rakyat yang dipimpinnya, dst.
Akan tetapi,
tanggung jawab di sini bukan semata-mata bermakna melaksanakan tugas lalu
setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak (atsar) bagi yang
dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah
lebih berarti upaya seorang pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak
yang dipimpin. Karena kata ra ‘a sendiri secara bahasa bermakna gembala
dan kata ra-‘in berarti pengembala. Ibarat pengembala, ia harus merawat,
memberi makan dan mencarikan tempat berteduh binatang gembalanya. Singkatnya,
seorang penggembala bertanggung jawab untuk mensejahterakan binatang
gembalanya.
Tapi cerita
gembala hanyalah sebuah tamsil, dan manusia tentu berbeda dengan binatang,
sehingga menggembala manusia tidak sama dengan menggembala binatang. Anugerah
akal budi yang diberikan allah kepada manusia merupakan kelebihan tersendiri
bagi manusia untuk mengembalakan dirinya sendiri, tanpa harus mengantungkan
hidupnya kepada penggembala lain. Karenanya, pertama-tama yang disampaikan oleh
hadis di atas adalah bahwa setiap manusia adalah pemimpin yang bertanggung
jawab atas kesejahteraan dirinya sendiri. Atau denga kata lain, seseorang mesti
bertanggung jawab untuk mencari makan atau menghidupi dirinya sendiri, tanpa
mengantungkan hidupnya kepada orang lain
Dengan
demikian, karena hakekat kepemimpinan adalah tanggung jawab dan wujud tanggung
jawab adalah kesejahteraan, maka bila orang tua hanya sekedar memberi makan
anak-anaknya tetapi tidak memenuhi standar gizi serta kebutuhan pendidikannya
tidak dipenuhi, maka hal itu masih jauh dari makna tanggung jawab yang
sebenarnya. Demikian pula bila seorang majikan memberikan gaji prt (pekerja
rumah tangga) di bawah standar ump (upah minimu provinsi), maka majikan
tersebut belum bisa dikatakan bertanggung jawab. Begitu pula bila seorang
pemimpin, katakanlah presiden, dalam memimpin negerinya hanya sebatas menjadi
“pemerintah” saja, namun tidak ada upaya serius untuk mengangkat rakyatnya dari
jurang kemiskinan menuju kesejahteraan, maka presiden tersebut belum bisa
dikatakan telah bertanggung jawab. Karena tanggung jawab seorang presiden harus
diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil dan kaum
miskin, bukannya berpihak pada konglomerat dan teman-teman dekat. Oleh sebab
itu, bila keadaan sebuah bangsa masih jauh dari standar kesejahteraan, maka
tanggung jawab pemimpinnya masih perlu dipertanyakan.
Hadis ke 2
Hukuman bagi
pemimpin yang menipu rakyat
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا أَبُو
الْأَشْهَبِ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ عَادَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ مَعْقِلَ
بْنَ يَسَارٍ الْمُزنِيَّ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ قَالَ مَعْقِلٌ إِنِّي
مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَوْ عَلِمْتُ أَنَّ لِي حَيَاةً مَا حَدَّثْتُكَ إِنِّي سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ
اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا
حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Abu ja’la
(ma’qil) bin jasar r.a berkata: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda:
tiada seorang yang diamanati oleh allah memimpin rakyat kemudian ketika
ia mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan pasti allah mengharamkan baginya
surga. (buchary, muslim)
Penjelasan:
Kejujuran
adalah modal yang paling mendasar dalam sebuah kepemimpinan. Tanpa kejujuran,
kepemimpinan ibarat bangunan tanpa fondasi, dari luar nampak megah namun di
dalamnya rapuh dan tak bisa bertahan lama. Begitu pula dengan kepemimpinan,
bila tidak didasarkan atas kejujuran orang-orang yang terlibat di dalamnya,
maka jangan harap kepemimpinan itu akan berjalan dengan baik. Namun kejujuran
di sini tidak bisa hanya mengandalakan pada satu orang saja, kepada pemimpin
saja misalkan. Akan tetapi semua komponen yang terlibat di dalamnya, baik itu
pemimpinnya, pembantunya, staf-stafnya, hingga struktur yang paling bawah dalam
kepemimpnan ini, semisal tukang sapunya, harus menjunjung tinggi nilai-nilai
kejujuran. Hal itu karena tidak sedikit dalam sebuah kepemimpinan, atau sebuah
organisasi, terdapat pihak yang jujur namun juga terdapat pihak yang tidak
jujur. Bila pemimpinnya jujur namun staf-stafnya tidak jujur, maka kepemimpinan
itu juga akan rapuh. Begitu pula sebaliknya.
Namun secara
garis besar, yang sangat ditekankan dalam hadis ini adalah seorang
pemimpin harus memberikan suri tauladan yang baik kepada pihak-pihak yang
dipimpinnya. Suri tauladan ini tentunya harus diwujudkan dalam bentuk
kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan pemimpin yang tidak menipu dan
melukai hati rakyatnya. Pemimpin yang menipu dan melukai hati rakyat, dalam
hadis ini disebutkan, diharamkan oleh allah untuk mengninjakkan kaki si sorga.
Meski hukuman ini nampak kurang kejam, karena hanya hukuman di akhirat dan
tidak menyertakan hukuman di dunia, namun sebenarnya hukuman “haram masuk
sorga” ini mencerminkan betapa murkanya allah terhadap pemimpin yang tidak
jujur dan suka menipu rakayat.
Hadis ke 3
Pemimpin
dilarang bersikap birokratis
حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ
حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
شِمَاسَةَ قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ أَسْأَلُهَا عَنْ شَيْءٍ فَقَالَتْ مِمَّنْ
أَنْتَ فَقُلْتُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ مِصْرَ فَقَالَتْ كَيْفَ كَانَ صَاحِبُكُمْ
لَكُمْ فِي غَزَاتِكُمْ هَذِهِ فَقَالَ مَا نَقَمْنَا مِنْهُ شَيْئًا إِنْ كَانَ
لَيَمُوتُ لِلرَّجُلِ مِنَّا الْبَعِيرُ فَيُعْطِيهِ الْبَعِيرَ وَالْعَبْدُ
فَيُعْطِيهِ الْعَبْدَ وَيَحْتَاجُ إِلَى النَّفَقَةِ فَيُعْطِيهِ النَّفَقَةَ
فَقَالَتْ أَمَا إِنَّهُ لَا يَمْنَعُنِي الَّذِي فَعَلَ فِي مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي
بَكْرٍ أَخِي أَنْ أُخْبِرَكَ مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي بَيْتِي هَذَا اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي
شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ
أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ
حَاتِمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ
حَرْمَلَةَ الْمِصْرِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ عَنْ عَائِشَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
‘Aisjah r.a
berkata : saya telah mendengar rasulullah saw bersabda di rumahku ini : ya
allah siapa yang menguasai sesuatu dari urusan umatku, lalu mempersukar pada
mereka, maka persukarlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku lalu berlemah
lembut pada mereka, maka permudahlah baginya. (hr. Muslim)
Penjelasan:
Hadis ini
menerangkan tentang larangan seorang pemimpin untuk bersikap arogan, elitis,
represif dan birokratis atau mempersulit urusan-urusan rakyatnya. Karena
sebagaimana kita ketahui, tidak sedikit pemimpin yang bersikap arogan dan
mempersulit urusan-urusan rakyatnya. Untuk mengurusi dokumen-dokumen
kewarganegaraan saja misalkan, seperti ktp, akta kelahiran, perijinan usaha,
dsb, seorang rakyat harus melalui tahapan-tahapan yang cukup rumit dan memakan
waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Padahal,
seorang pemimpin, menurut hadis ini, harus memberikan pelayanan yang maksimal
serta tidak menyulitkan warga atau rakyat. Bila semua urusan itu bisa
dipermudah kenapa harus dipersulit. Akibatnya, birokrasi yang sejatinya
bertujuan untuk mempermudah, berbalik menjadi mempersulit segala urusan
rakyat. Oleh sebab itu, bila sorang pemimpin suka mempersulit urusan rakyatnya,
maka niscaya allah akan mempersulit segala urusan dia baik di dunia lebih-lebih
di akhirat nanti.
Hadis ke 4
Kontrak
politik sebagai
mekanisme kontrol
terhadap pemimpin
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ قَالَ
سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ
فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ
خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ
فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ
فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا
اسْتَرْعَاهُمْ
Abu hurairah
r.a berkata : rasulullah saw bersabda : dahulu bani israil selalu dipimpin oleh
nabi, tiap mati seorang nabi seorang nabi digantikan oleh nabi lainnya, dan
sesudah aku ini tidak ada nabi, dan akan terangkat sepeninggalku beberapa
khalifah. Bahkan akan bertambah banyak. Sahabat bertanya: ya rasulullah apakah
pesanmu kepada kami? Jawab nabi: tepatilah baiatmu (kontrak politik) pada yang
pertama, dan berikan kepada mereka haknya, dan mohonlah kepada allah
bagimu, maka allah akan menanya mereka dari hal apa yang diamanatkan dalam
memelihara hambanya.
Penjelasan:
Pada
umumnya, kata bai’at diartikan sebagai janji. Namun sebenarnya, kata bai’at
berasal dari suku kata bahasa arab ba-ya-‘a yang bermakna transaksi.
Bila transaksi ini konteksnya adalah ekonomi maka ia berarti jual beli yang
kemudian dikenal dengan kata kerja bu yu’ yang berarti terjadinya
transaksi antara penjual dan pembeli. Akan tetapi bila konteks kata
tersebut adalah politik, maka yang dimaksud transaksi di sini adalah sebuah
perjanjian antar rakyat dan pemimpin. Karena itu, tak heran bila rasul s.a.w
senantiasa menekankan pentingnya bai’at dalam sebuah kepemimpinan, dengan
bai’at seorang pemimpin telah melakukan transaksi politik yang menuntut
pemenuhan atas point-poin yang menjadi ksepakatan dalam transaksi mereka
(pemimpin dan rakyat).
Akan tetapi,
dalam konteks belakangan ini, kata bai’at mengalami reduksi makna hanya sekedar
sumpah jabatan yang biasanya bersifat pasif dan tidak memberikan ruang tawar
menawar politik antara rakyat dan pemimpin. Bila kita melihat praktik sumpah
jabatan di indonesia misalkan, sumpah jabatan presiden hanya dibacakan secara
sepihak antara mpr dan presiden namun tidak menyisakan ruang negoisasi antara
rakyat dan prsiden. Padahal, rakyat sebagai pihak yang dipimpin seharusnya
berhak membuat kesepakatan-kesepakatan politik tertentu dengan presiden yang
bila kesepakatan itu dilanggar maka jabatan presidien dengan sendirinya
akan gugur. Oleh sebab itu, agar sumpah jabatan ini tidak sekedar menjadi
ritual dalam setiap pemilihan presiden atau pemimpin namun tidak memiliki dampak
yang berarti dalam proses kepemimpinannnya, maka kemudian kita mengenal apa
yang dalam istilah politik disebut sebagai “kontrak politik”.
Kontrak
politik di sini mengandung pengertian sebuah ruang dimana antara pemimpin dan
rakyat melakukan “transaksi” dan membuat kesepakatan-kesepakatan tertentu yang
memilki resiko-resiko bila kedua belah pihak melanggarnya. Kontrak politik,
dalam hal ini tidak berbeda dengan ba’at dalam istilah islam. Hanya saja,
kontrak politik terjadi antara rakyat dan pemimpin secara setara dan diketahui
secara publik, tetapi bai’at dilakukan oleh rakyat, pemimpin dan di atas
keduanya ada tuhan sebagai saksi. Oleh sebab itu, bila kita memaknai hadis di
atas secara dalam dan kontekstual, maka kita dapat menangkap pesan bahwa rasul
s.a.w menekankan betapa pentingnya sebuah kontrak politik dalam sebuah sistem
kepemimpinan yang islami.
Hadis ke 5
Pemimpin
dilarang bersikap otoriter
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا جَرِيرُ
بْنُ حَازِمٍ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ أَنَّ عَائِذَ بْنَ عَمْرٍو وَكَانَ مِنْ
أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى
عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ زِيَادٍ فَقَالَ أَيْ بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ شَرَّ الرِّعَاءِ
الْحُطَمَةُ فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ فَقَالَ لَهُ اجْلِسْ فَإِنَّمَا
أَنْتَ مِنْ نُخَالَةِ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ وَهَلْ كَانَتْ لَهُمْ نُخَالَةٌ إِنَّمَا كَانَتْ النُّخَالَةُ
بَعْدَهُمْ وَفِي غَيْرِهِمْ
‘Aidz bin
amru r.a, ketika ia masuk kepada ubaidillah bin zijad berkata: hai anakku saya
telah mendengar rasulullah saw bersabda: sesungguhnya sejahat-jahat pemerintah
yaitu yang kejam (otoriter), maka janganlah kau tergolong daripada mereka. (HR.
Buchary, Muslim)
Penjelasan:
Hadis ke 6
Pemimpin
sebagai pelayan rakyat
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ
أَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ مُخَيْمِرَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا مَرْيَمَ الْأَزْدِيَّ
أَخْبَرَهُ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى مُعَاوِيَةَ فَقَالَ مَا أَنْعَمَنَا بِكَ أَبَا
فُلَانٍ وَهِيَ كَلِمَةٌ تَقُولُهَا الْعَرَبُ فَقُلْتُ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ
أُخْبِرُكَ بِهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ
فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ
عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ قَالَ فَجَعَلَ رَجُلًا عَلَى
حَوَائِجِ النَّاسِ
Abu maryam
al’ azdy r.a berkata kepada muawiyah: saya telah mendengar rasulullah saw
bersabda: siapa yang diserahi oleh allah mengatur kepentingan kaum muslimin,
yang kemdian ia sembunyi dari hajat kepentingan mereka, maka allah akan menolak
hajat kepentingan dan kebutuhannya pada hari qiyamat. Maka kemudian muawiyah
mengangkat seorang untuk melayani segala hajat kebutuhan orang-orang (rakyat).
(abu dawud, attirmidzy)
Penjelasan:
Pemimpin
sebagai pelayan dan rakyat sebagai tuan. Itulah kira-kira yang hendak
disampaikan oleh hadis di atas. Meski tidak secara terang-terangan hadis di
atas menyebutkan rakyat sebagai tuan dan pemimpin sebagai pelayan, namun
setidaknya hadis ini hendak menegaskan bahwa islam memandang seorang pemimpin
tidak lebih tinggi statusnya dari rakyat, karena hakekat pemimpin ialah
melayani kepentingan rakyat. Sebagai seorang pelayan, ia tentu tidak beda
dengan pelayan-pelayan lainnya yang bertugas melayani kebutuhan-kebutuhan
majikannya. Seorang pelayan rumah tangga, misalkan, harus bertanggung jawab
untuk melayani kebutuhan majikannya. Demikian juga seorang pelayan kepentingan
rakyat harus bertanggung jawab untuk melayani seluruh kepentingan rakyatnya.
Dalam
konteks indoensia, sosok “pelayan” yang bertugas untuk memenuhi kepentingan
“tuan” rakyat ini adalah presiden, menteri, dpr, mpr, ma, bupati, walikota,
gubernur, kepala desa, dan semua birokrasi yang mendukungnya. Mereka ini adalah
orang-orang yang kita beri kepercayaan (tentunya melalui pemilu) untuk mengurus
segala kepentingan dan kebutuhan kita sebagai rakyat. Karena itu, bila mereka
tidak melaksanakan tugasnya sebagai pelayan rakyat, maka kita sebagai “tuan”
berhak untuk “memecat” mereka dari jabatannya.
Hads ke 7
Pemimpin
harus bersikap adil
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَّامٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ
اللَّهِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ خُبَيْبِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي
ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي
عِبَادَةِ اللَّهِ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ فِي خَلَاءٍ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسْجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ
وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا قَالَ
إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا
تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا صَنَعَتْ يَمِينُهُ
Abu hurairah
r.a: berkata: bersabda nabi saw: ada tujuh macam orang yang bakal bernaung di
bawah naungan allah, pada hati tiada naungan kecuali naungan allah:
Imam(pemimpin)
yang adil, dan pemuda yang rajin ibadah kepada allah. Dan orang yang hatinya
selalu gandrung kepada masjid. Dan dua orang yang saling kasih sayang karena
allah, baik waktu berkumpul atau berpisah. Dan orang laki yang diajak berzina
oleh wanita bangsawan nan cantik, maka menolak dengan kata: saya takut kepada
allah. Dan orang yang sedekah dengan sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya
tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. Dan orang
berdzikir ingat pada allah sendirian hingga mencucurkan air matanya. (buchary,
muslim)
Penjelasan:
Meski hadis
ini menjelaskan tentang tujuh macam karakter orang yang dijamin keselamatannya
oleh allah nanti pada hari kiamat, namun yang sangat ditekankan oleh hadis ini
adalah karakter orang yang pertama, yaitu pemimpin yang adil. Bukannya kita
menyepelekan enam karakter sesudahnya, akan tetapi karakter pemimpin yang adil
memang menjadi tonggak bagi kemaslahatan seluruh umat manusia. Tanpa pemimpin
yang adil maka kehidupan ini akan terjebak ke dalam jurang penderitaan yang
cukup dalam.
Untuk
melihat sejauh mana seorang peimimpin itu telah berlaku adil terhadap rakyatnya
adalah melalui keputusan-keputuasan dan kebijakan yang dikeluarkannya. Bila
seorang pemimpin menerapkan hukum secara sama dan setara kepada semua warganya
yang berbuat salah atau melanggar hukum, tanpa tebang pilih, maka pemimpin itu
bisa dikatakan telah berbuat adil. Namun sebaliknya, bila pemimpin itu hanya
menghukum sebagian orang (rakyat kecil) tapi melindungi sebagian yang lain
(elit/konglomerat), padahal mereka sama-ama melanggar hukum, maka pemimpin itu
telah berbuat dzalim dan jauh dari perilaku yang adil.
Hadis ke 8
Jaminan bagi
pemimpin yang adil
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ
بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ
عَمْرٍو يَعْنِي ابْنَ دِينَارٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَوْسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عَمْرٍو قَالَ ابْنُ نُمَيْرٍ وَأَبُو بَكْرٍ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي حَدِيثِ زُهَيْرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ
عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا
يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا
وَلُوا
Abdullah bin
‘amru bin al ‘ash r.a berkata: rasulullah saw bersabda: sesungguhnya
orang-orang yang berlaku adil, kelak disisi allah ditempatkan diatas mimbar
dari cahaya, ialah mereka yang adil dalam hokum terhadap keluarga dan apa saja
yang diserahkan (dikuasakan) kepada mereka. (muslim)
Penjelasan:
Bila hadis
sebelumnya berbicara tentang “garansi” allah atas pemimpin yang berbuat adil,
maka hadis ini lebih mengulas tentang “imbalan” bagi seorang pemimpin yang
adil. Dalam hadis ini disebutkan bahwa imbalan bagi pemimpin yang adil adalah
kelak di sisi allah akan ditempatkan di atas mimbar dari cahaya. Secara
harfiyah, mimbar berarti sebuah tempat khusus untuk orang-orang yang hendak
berdakwah atau berceramah di hadapan umum. Karenanya, mimbar jum’at biasanya
mengacu pada sebuah tempat khusus yang disediakan masjid untuk kepentingan
khotib. Sementara cahaya adalah sebuah sinar yang menerangi sebuah
kehidupan. Kata cahaya biasanya mengacu pada matahari sebagai penerang bumi,
lampu sebagai penerang dari kegelapan, dsb. Oleh sebab itu, kata mimbar dari
cahaya di dalam hadis di atas tentu tidak serta merta dimaknai secara harfiyah
seperti mimbar yang dipenuhi hiasan lampu-lampu yang bersinar terang, melainkan
mimbar cahaya adalah sebuah metafor yang menggambarkan sebuah posisi yang
sangat terhormat di mata allah. Posisi itu mencrminkan sebuah ketinggian status
setinggi cahaya matahari.
Hadis ke 9
Sorga bagi
pemimpin yang adil
حَدَّثَنِي أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ وَمُحَمَّدُ
بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارِ بْنِ عُثْمَانَ وَاللَّفْظُ لِأَبِي
غَسَّانَ وَابْنِ الْمُثَنَّى قَالَا حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنِي
أَبِي عَنْ قَتَادَةَ عَنْ مُطَرِّفِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الشِّخِّيرِ عَنْ
عِيَاضِ بْنِ حِمَارٍ الْمُجَاشِعِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ َأَهْلُ الْجَنَّةِ ثَلَاثَةٌ ذُو سُلْطَانٍ مُقْسِطٌ
مُتَصَدِّقٌ مُوَفَّقٌ وَرَجُلٌ رَحِيمٌ رَقِيقُ الْقَلْبِ لِكُلِّ ذِي قُرْبَى
وَمُسْلِمٍ وَعَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ ذُو عِيَالٍ
Ijadl bin
himar r.a berkata: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: orang-orang
ahli surga ada tiga macam: raja yang adil, mendapat taufiq hidayat ( dari
allah). Dan orang belas kasih lunak hati pada sanak kerabat dan orang muslim.
Dan orang miskin berkeluarga yang tetap menjaga kesopanan dan kehormatan diri.
(muslim).
Penjelaan:
Bila yang
pertama tadi allah akan menjamin pemimpin yang berbuat adil dengan jaminan
naungan rahmat dari allah, dan hadis selanjutnya menjamin dengan jaminan mimbar
yang terbuat dari cahaya, maka jaminan yang ke tiga ini adalah jaminan sorga.
Ketiga jaminan di atas tentunya bukan sekedar jaminan biasa, melainkan semua
jaminan itu menunjukkan betapa islam sangat menekankan pentingnya sikap
keadilan bagi seorang peimimpin. Rasul s.a.w tidak mungkin memberikan jaminan
begitu tinggi kepada seseorang kecuali seseorang itu benar-benar dituntut untuk
melakukan hal yang sangat ditekankan dalam islam. Dan keadilan adalah perkara
penting yang sangat ditekankan dalam islam. Oleh karena itu, siapa yang
menjunjung tinggi keadilan, niscaya orang tersebut akan mendapat jaminan yang
tinggi dari islam (allah), baik di dunia, maupun di akhirat.
Hadis ke 10
Batas-batas
kepatuhan rakyat terhadap pemimpin
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ
بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Ibn umar r.a
berkata : bersabda nabi saw : seorang muslim wajib mendengar dan ta’at
pada pemerintahannya, dalam apa yang disetujui atau tidak disetujui, kecuali
jika diperintah ma’siyat. Maka apabila disuruh ma’siyat, maka tidak wajib
mendengar dan tidak wajib ta’at.
Penjelasan:
Hadis di
atas menunjukkan kepada kita bahwa kepatuhan seorang rakyat terhadap pemimpin
tidaklah mutlak. Ada batasan-batasan tertentu dimana seorang rakyat wajib ta’at
dan patuh dan ada pula saat dimana rakyat tidak perlu patuh, bahkan boleh
berontak atau melawan. Dalam hadis di atas, batasan-batasan kepatuhan terhadap
pemimpin itu adalah selama pimimpin tidak memerintahkan rakyatnya untuk berbuat
ma’siyat. Lantas pertanyaanya, apa yang dimaksud engan ma’siyat itu?
Secara
bahasa ma’siyat adalah berarti durhaka atau tidak ta’at kepada allah. Namun
secara istilahi, makna ma’siyat cukup beragam. Karenanya, adalah salah kaprah
bila kita membatasi makna ma’siyat hanya pada perkara-perkara semacam
pornografi dan pornoaksi, seperti yang dilakukan oleh sekelompok orang yang
mengatasnamakan islam dalam melakukan pengrusakan tempat hiburan dengan dalih
menghapus kema’siyatan.
Padahal
kem’siyatan bukan hanya berada di tempat hiburan malam, akan tetapi di
kantor-kantor pemerintah justru lebih banyak kema’siyatan dalam bentuknya yang
samar namun cukup memprihatinkan. Lihatlah misalnya di kantor-kantor
departemen, di ruang-ruang sidang para wakil rakyat, bahkan di masjid
sekalipun, kita bisa menjumpai kema’siyatan. Namun yang dimaksud kema’siyatan
di sini tentunya bukan penari telanjang atau orang yang sedang mabuk-mabukan,
melainkan tindakan-tindakan yang mendurhakai allah yang dipertontonkan oleh
para pemimpin kita, wakil rakyat kita dan bahkan ulama-ulama kita. Bukankah
korupsi, kolusi dan semua hal yang mengarah pada ketidak jujuran dalam memimpin
negeri ini serta mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat
kecil juga termasuk ma’siyat. Bukan hanya itu, seorang ulama yang pandai
berkhutbah namun dia menjadi jurkam dari pemimpin yang korup juga telah masuk
dalam kategori berbuat ma’siyat. Bahkan tindakan yang tidak melindungi
anak-anak terlantar, janda-janda tua dan kaum miskin papa juga termasuk
ma’siyat karena semua itu merupakan perintah allah, dan bagi siapa yang tidak
melaksanakan perintah allah maka dia telah mendurhakai allah, dan orang yang
durhaka berarti berbuat ma’siyat kepada allah.
Dengan
demikian, kema’siyatan yang tidak perlu dipatuhi seorang rakayat terhadap
pemimpinnya adalah kema’siyatan dengan pengertiannya yang cukup luas
(mendurhakai allah) bukan saja kema’siyatan yang berarti sempit (seperti
pornoaksi dan pornografi). Oleh sebab itu, dari hadis di atas bisa kita
simpulkan bahwa apabila pemimpin kita sudah tidak lagi memegang prinsip-prinsip
kejujuran serta tidak lagi berpihak pada kepentingan rakyat kecil, maka batasan
kepatuhan terhadap pemimpin tersebut sudah gugur dengan sendirinya, karena
pemimpin itu sendiri sudah termasuk kema’siyatan yang perlu untuk di hapuskan
di muka bumi ini.
Hadis ke 11
Kepemimpinan
tidak mengenal warna kulit
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ
عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْمَعُوا
وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ
زَبِيبَةٌ
Anas r.a
berkata : bersabda rasulullah saw: dengarlah dan ta’atlah meskipun yang
terangkat dalam pemerintahanmu seorang budak habasyah yang kepalanya bagaikan
kismis. (buchary)
Penjelasan:
Islam adalah
agama rahmatan lil ‘alamin. Begitu pula nabi muhammad s.a.w diutus sebagai nabi
bukan hanya untuk orang arab saja, melainkan untuk semua umat manusia. Karena
itu, para pengikut nabi bukan saja dari kalangan suku quraisy yang menjadi suku
bergengsi saat itu, melainkan juga dari suku-suku lainnya yang sebelum datang
islam termasuk suku “hina”. Bahkan kita mengenal salah seorang sahabat
nabi yang bernama bilal bin rabah yang warna kulitnya cukup hitam legam.
Padahal, sebelum datangnya ajaran islam di arab dulu, orang kulit hitam adalah
termasuk kelompok suku yang sebagian besar berprofesi sebagai budak. Mereka
sama sekali tidak dihargai dan tidak diperlakukan sebagaimana manusia yang
lain. Akan tetapi setelah turun ajaran islam, semua batasan-batasan ras, warna
kulit, dan golongan itu dihapus, dan semua manusia adalah sama statsunya di muka
allah, hanya keimanan dan ketaqwaanlah yang membedakan mereka.
Pengakuan
islam terhadap dimensi kemanusian universal bukan hanya dalam pergaulan sosial
sehari-hari, melainkan islam juga mengakui semua orang berhak menjadi pemimpin.
Tidak peduli mereka itu berkulit hitam, coklat, merah, hijau, dsb, asalkan bisa
memimpin secara adil, maka dia berhak untuk menjadi pemimpin. Dalam konteks
ini, keadilan dan kejujuran menjadi kriteria paling pokok dalam menentukan
seorang pemimpin, bukan warna kulit atau asal golongan. Dan apabila yang
terpilih sebagai pemimpin adalah dari kalangan kulit hitam, islam juga
mewajibkan kita agar tidak boleh meremehkan pemimpin itu. Akan tetapi kita juga
harus mematuhi semua perintahnya (selama tidak untuk ma’siyat) sebagaimana kita
mematuhi perintah pemimpin-pemimpin yang lain.
Hadis ke 12
Keseimbangan
hak rakyat dan
tanggung
jawab pemimpin
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ
بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ
سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ أَبِيهِ
قَالَ سَأَلَ سَلَمَةُ بْنُ يَزِيدَ الْجُعْفِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ
عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا فَمَا
تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ
فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ
وَقَالَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ
مَا حُمِّلْتُمْ و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا
شَبَابَةُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سِمَاكٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ
وَقَالَ فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا
حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
Abu hunaidah
(wa’il) bin hadjur r.a. Berkata : salamah bin jazid aldju’fy bertanya kepada
rasulullah saw : ya rasulullah, bagaimana jika terangkat diatas kami
kepala-kepala yang hanya pandai menuntut haknya dan menahan hak kami, maka
bagaimanakah kau menyuruh kami berbuat? Pada mulanya rasulullah mengabaikan
pertanyaan itu, hingga ditanya kedua kalinya, maka rasulullah saw bersabda :
dengarlah dan ta’atlah maka sungguh bagi masing-masing kewajiban
sendiri-sendiri atas mereka ada tanggung jawab dan atas kamu tanggung jawabmu.
(muslim)
Penjelasan:
Rakyat
memiliki hak dan pemimpin memiliki tanggung jaab. Begitu pula sebaliknya,
rakyat memiliki tanggung jawab dan pemimpin juga memiliki hak. Antara keduanya
harus ada keseimbangan dan kesetaraan. Yang satu tidak boleh mendominasi yang
lain. Akan tetapi kekuasaan sepenuhnya adalah tetap berada di tangan rakyat.
Karena hakekat kepemimpinan hanyalah amanat yang harus diemban oleh seorang
pemimpin. Bila sang pemimpin tidak bisa menjaga amanat itu dengan baik, maka
kekuasaan kembali berada di tangan rakyat.
Oleh sebab
itu, mengingat kesetaraan poisi rakyat dan pemimpin ini, maka masing-masing
memilki hak dan tanggung jawabnya. Hadis di atas menjelaskan bahwa seorang
pemimpin jangan hanya bisa memenuhi haknya, dan mengebiri hak rakyatnya, akan
tetapi seorang pemimpin harus mengakui dan menjamin hak-hak rakyatnya secara
bebas.
Dalam
kehidupan modern seperti sekarang ini, mungkin kita sudah mengenal konsep hak
azazi manusia (ham). Oleh sebab itu, bila kita tarik hadis di atas dalam kontek
saat ini, maka sebanarnya nabi muhammad s.a.w jauh sebelumnya sudah
mengajarkan prinsip-prinsip ham dalam kehidupan politik rakyatnya. Betapa tidak,
dari hadis di atas dapat kita gali sebuah pesan bahwa islam menjamin ham
termasuk di dalamnya hak-hak sipil dan politik (isipol) dan hak-hak ekonomi
sosial dan budaya (ekosob). Karena itu, bila seorang peimimpin tidak menjamin
hak-hak azasi manusia (ham) warganya, maka pemimpin itu telah keluar dari
sunnah rasul s.a.w.
Hadis ke 13
Allah
membenci pemimpin
Yang
mengejar jabatan
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ
حَدَّثَنَا يُونُسُ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ
سَمُرَةَ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا
عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنْ أُعْطِيتَهَا
عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ
أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا
مِنْهَا فَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ وَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ
Abu said
(abdurrahman) bin samurah r.a. Berkata: rasulullah saw telah bersabda kepada
saya : ya abdurrahman bin samurah, jangan menuntut kedudukan dalam
pemerintahan, karena jika kau diserahi jabatan tanpa minta, kau akan dibantu
oleh allah untuk melaksanakannya, tetapi jika dapat jabatan itu karena
permintaanmu, maka akan diserahkan ke atas bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri.
Dan apabila kau telah bersumpah untuk sesuatu kemudian ternyata jika kau
lakukan lainnya akan lebih baik, maka tebuslah sumpah itu dan kerjakan apa
yang lebih baik itu. (buchary, muslim)
Penjelasan:
Dalam hadis
lain rasul s.a.w juga pernah bersabda: “barang siapa telah menyerahkan sebuah
jabatan atau amanat kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat
kehancurannya”. Kedua hadis di atas sebenarnya mengajarkan kepada kita bahwa
amanat itu tidak perlu dicari dan jabatan itu tidak perlu dikejar. Karena bila
kita mencari dan mengejar amanat dan jabatan itu, maka niscaya allah tidak akan
memabntu kita. Akan tetapi bila kita tidak menuntut dan tidak mencari amanat
itu, maka justru allah akan membantu untuk meringankan beban amanat itu
sendiri.
Hadis di
atas sebenarnya mengajarkan tentang etika politik. Seoarang politisi tidak
serta-merta bebas dari etika, sebagaimana ditunjukkan oleh para politisi kita
selama ini. Melainkan seorang politisi dan kehidupan politik itu sendiri harus
berdasarkan sebuah kode etik. Bila kehidupan politik tidak berasarkan etika,
maka kesan yang muncul kemudian bahwa politik itu kotor. Padahal, tidak
selamanya politik itu kotor, nabi muhammad s.a.w sendiri pernah menjadi seorang
politisi, tapi tidak pernah bermain kotor.
Bila kita
mencermati hadis di atas, maka akan kita temukan bahwa citra “ke-kotoran” dari
politik itu sebenarnya bersumber dari sikap para pelakuknya yang
ambisius. Dalam hal ini, ambisi menjadi salah satu faktor uatama dalam
membentuk sikap dan pandangan politik eseorang sehingga menjadi kotor. Betapa
tidak, dari ambisi itu, seseorang bisa saja membunuh orang lain yang menjadi
pesaing politiknya. Dan dari ambisi itu pula seseorang bisa melakukan apa aja
untuk meraih jabatan politik yang diinginkannya, baik melalui korupsi,
penipuan, pembunuhan, ke dukun, dsb. Oleh sebab itu, “menjaga ambsi” adalah
sebuah etika politik yang diajarkan islam kepada umatnya, terutama bagi
mereka yang berkiprah di dunia politik.
Hadis ke 14
Amanat di
balik jabatan
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ
اللَّيْثِ حَدَّثَنِي أَبِي شُعَيْبُ بْنُ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ بْنُ
سَعْدٍ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ
الْحَارِثِ بْنِ يَزِيدَ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ ابْنِ حُجَيْرَةَ الْأَكْبَرِ عَنْ
أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ
فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ
وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا
مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Abu dzar
berkata : ya rasulallah tidakkah kau memberi jabatan apa-apa kepadaku? Maka
rasulullah memukul bahuku sambil berkata : hai abu dzar kau seorang yang lemah,
dan jabatan itu sebagai amanat yang pada hari qiyamat hanya akan menjadi
kemenyesalan dan kehinaan. Kecuali orang yang yang dapat menunaikan hak dan
kewajibannya, dan memenuhi tanggung jawabnya.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ
اللَّيْثِ حَدَّثَنِي أَبِي شُعَيْبُ بْنُ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ بْنُ
سَعْدٍ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ
الْحَارِثِ بْنِ يَزِيدَ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ ابْنِ حُجَيْرَةَ الْأَكْبَرِ عَنْ
أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ
فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ
وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ
أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Abu hurairah
r.a. Berkata : rasulullah saw bersabda : kamu akan berebut pemerintahan, dan
akan menjadi kemenyasalan pada hari qiyamat. (buchary)
Penjelasan:
Hadis ini
tidak jauh berbeda dengan hadis sebelumnya di atas. Bila hadis sebelumnya
melarang kita agar tidak berambisi untuk meraih jabatan, maka hadis ini lebih
menekankan betapa beratnya amanat dalam sebuah jabatan. Dan saking
beratnya hingga rasul s.a.w mengatakan bahwa kelak di hari qiamat kita
merasakan penyesalan yang begitu dahsyat karena kita telah bersedia mengemban
amanat itu. Janganlah kita mengira bahwa menjadi seorang peimimpin dengan
sendirinya akan bergelimang harta dan kehormatan. Padahal, harta dan
kehormatan itu justru menjadi batu sandungan yang bisa mengakibatkan seseorang
terjerumus ke dalam jurang kenistaan.
Lihatlah
misalnya, seorang presiden dengan tanggung jawab yang begitu besar untuk
mensejahterakan rakyatnya, atau seorang suami yang begitu besar tanggung
jawabnya untuk menafkahi istrinya, atau seorang bapak yang memikul amanat untuk
mebesarkan anak-anaknya. Semua itu merupakan amanat yang harus dijaga dan
dilaksanakan sebaik-baiknya. Apabila kita tidak bisa berbuat adil dan tidak
mampu mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi pihak yang kita pimpin, maka
janganlah sekali-kali kita mencoba-coba untuk mengemban amanat tersebut.
Apabila seorang presiden tidak mampu mengemban amanat untuk membawa kehidupan
bangsanya dari keterpurukan menuju kesejahteraan dan keadilan, maka janganlah
kita kembali memilih presiden atau pemimpin itu untuk kedua kalinya. Karena
itu, amanat adalah ringan dikatakan namun berat untuk dilaksanakan. Barang
siapa hanya bisa mengatakan namun tidak bisa melaksanakan, maka ia tidak layak
untuk dijadikan pemimpin.
Hadis ke 15
Pemimpin
dilarang mengeksploitasi rakyat kecil
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ كِلَاهُمَا عَنْ الْمُقْرِئِ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ عُبَيْدِ
اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرٍ الْقُرَشِيِّ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي سَالِمٍ
الْجَيْشَانِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا
وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي لَا تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ
وَلَا تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ
Abu dzar
r.a. Berkata : rasulullah saw abersabda : ya abu dzar saya melihat kau seorang
yag lemah, dan saya suka bagi dirimu apa yang saya suka bagi diriku sendiri, jangan
menjadi pemimpin walau terhadap dua orang, dan jangan menguasai harta
anak yatim. (muslim)
Penjelasan:
Hadis ini
menerangkan kepada kita bahwa jabatan sebagai pemimpin itu sangat berat,
hingga rasul.s.a.w menganjurkan salah seorang sahabat untuk, kalau bisa,
tidak menjadi pemimpin walau hanya terhadap dua orang. Akan tetapi pesan yang
paling menonjol dari hadis di atas adalah bahwa godaan terberat bagi seorang
peimimpin adalah menguasai harta anak yatim. Tentunya, anak yatim di sini
adalah salah satu contoh yang merepresentaskan sebuah kelompok masyarakat yang
paling lemah. Di luar anak yatim, kita juga bisa menyaksikan orang-orang lemah
yang lain, seperti, janda tua, anak-anak terlantar, pengemis, buruh, petani
gurem, pengangguran, dsb, yang semua itu menjadi tanggung jawab pemimpin untuk
melindunginya, bukan untuk menguasainya. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana
kita menguasai harta mereka, la wong mereka aja tidak punya harta?
Yang
dimaksud menguasai harta mereka ini bukan berarti kita mengambil alih harta
kekayaan mereka, melainkan tindakan mengeksploitasi keberadaan mereka untuk
kemudian dijual sehingga menghasilkan uang juga termasuk menguasai harta
mereka. Selain itu, kebijakan yang tidak berpihak terhadap kaum miskin dan anak
yatim ini juga termasuk dalam menguasai harta mereka. Bukankah di dalam harta
kita terdapat sebagian harta mereka? Sehingga kita wajib menyisihkan sebagian
harta kita untuk kepentingan mereka. Oleh sebab itu, bila kita maknai hadis di
atas secara global, maka pesan pokok yang hendak disampaikan adalah, bahwa
islam sangat melarang seorang pemimpin mengeksploitasi rakyat kecil, bahkan
islam mendorong pemimpin untuk melindungi mereka, karena mereka merupakan
bagian dari tanggung jawab pemimpin.
Hadis ke 16
Mewaspadai para
pembisik pemimpin
حَدَّثَنَا أَصْبَغُ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ
أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا بَعَثَ
اللَّهُ مِنْ نَبِيٍّ وَلَا اسْتَخْلَفَ مِنْ خَلِيفَةٍ إِلَّا كَانَتْ لَهُ
بِطَانَتَانِ بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ
وَبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ فَالْمَعْصُومُ مَنْ
عَصَمَ
Abu si’id
dan abu hurairah r.a. Berkata : rasulullah saw bersabda : allah tiada mengutus
seorang nabi atau mengangkat seorang khalifah, melainkan ada dua orang
kepercayaan pribadi, seseorang yang menganjurkan kebaikan, dan seorang yang
menganjurkan kejahatan. Sedang orang yang selamat ialah yang dipelihara oleh
allah. (buchary)
Penjelasan:
Setiap
pemimpin tentunya memilki asisten pribadi. Asisten ini biasanya menjadi
kepercayaan seorang pemimpin dalam melakukan banyak hal yang berkaitan dengan
kebutuhan pemimpin. Akan tetapi, seorang pemimpin juga harus waspada terhadap
orang-orang kepercayaannya. Karena rasul s.a.w telah mengingatkan di antara
orang-orang kepercayaan pemimpin tersebut tentu ada yang jujur dan ada yang
tidak jujur. Seorang kepercayaan pemimpin yang jujur pasti akan memberikan
informasi yang benar terhadap pemimpinnya, tetapi seorang kepercayaan yang
tidak jujur tentu akan memberikan informasi yang tidak benar kepada
pemimpinnya. Orang yang terakhir ini lah biasanya yang selalu menghasut dan
membisikkan informasi-informasi yang justru bukan memperkuat kepemimpinannya, melainkan
akan menurunkan integritas kepemimpinannya. Karena itu, islam sangat
menganjurkan agar kita aspada terhadap orang-orang yang pekerjaannya hanya
membisikkan informasi-informasi salah sehingga pemimpin terdorong untuk
megeluarkan kebijakan yang merugikan kepentingan rakyat banyak.
Hadis ke 17
Pemimpin
perlu “pembantu” yang jujur
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عَامِرٍ الْمُرِّيُّ حَدَّثَنَا
الْوَلِيدُ حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
الْقَاسِمِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِالْأَمِيرِ خَيْرًا جَعَلَ
لَهُ وَزِيرَ صِدْقٍ إِنْ نَسِيَ ذَكَّرَهُ وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَهُ وَإِذَا
أَرَادَ اللَّهُ بِهِ غَيْرَ ذَلِكَ جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ سُوءٍ إِنْ نَسِيَ لَمْ
يُذَكِّرْهُ وَإِنْ ذَكَرَ لَمْ يُعِنْهُ
‘Aisyah r.a.
Berkata : rasulullah saw bersabda : jika allah menghendaki kebaikan terhadap
seorang raja, maka diberinya seorang menteri yang jujur, jika lupa diingatkan,
dan jika ingat dibantu. Dan jika allah menghendaki sebaliknya dari itu, maka
allah memberi padanya ,menteri yang tidak jujur, hingga jika lupa tidak
diingatkan dan jika ingat tidak dibantu. (abu dawud).
Penjelasan:
Seorang
pemimpin pasti mengemban segudang tugas dan amanat yang begitu berat yang harus
dijalankan. Sementara untuk melaksanakan semua tugas itu tidak mungkin dia
sendiri melakukannya. Oleh sebab itu dibutuhkan sejumlah pembantu untuk
meringankan tugas sang pemimpin. Dalam kehidupan politik modern, para pembantu
presiden itu bisa disebut sebagai menteri. Dan barangkali bukan hanya presiden,
semua jabtan publik di negeri ini, baik bupati, gubernur, wali kota, dpr,
hingga kepala sekolah pun, juga membutuhkan pembantu atau pendamping ahli yang
bisa meringankan tugas-tugasnya. Sehingga dalam konteks indoensia, kita tidak
hanya mengenal menteri sebagai pembantu presiden, melainkan juga terdapat apa
yang kita kenal sebagai juru bicara, asisten ahli, staf ahli, penasehat ahli,
dsb.
Keberadan
“orang-orang pendamping” ini tentunya perlu kita apresiasi dengan baik, karena
mereka membantu tugas-tugas kepresidenan. Akan tetapi, kita juga perlu
mencermati bahkan jika diperlukan kita mesti waspada karena tidak semua
“orang-orang pendamping” itu berniat tulus untuk membantu. Akan tetapi lebih
dari itu ada juga yang menyimpan kepentingan tertentu dan menjadi “pembisik”
yang licik. Tentunya banyak cara yang dilakukan para pembantu pemimpin yang
licik ini. Salah satu contoh yang sering kita lihat dalam kehidupan birokrasi
kita adalah; melaporkan situasi yang tidak sebenarnya kepada pemimpin yang
bersangkutan. Bila yang terjadi di lapangan adalah kelaparan, maka si pembantu
hanya melaporkan kekuranagn gizi. Selain itu tidak sedikit kita jumpai
“orang-orang” yang pekerjaanya hanya membisikkan informasi-informasi bohong
kepada pemimpinnya sehingga pemimpin tersebut mengeluarkan kebijakan
berdasarkan informasi bohong yang ia peroleh. Akibatnay, selain kebijakan itu
tidak tepat, sang pemimpin itu juga jatuh kredibilitasnya. Oleh sebab itu,
memilih pendamping itu harus hati-hati dan waspada. Kedekatan seseorang dengan
pemimpin tersebut dan kepintaran seseorang tidak menjamin dia akan berbuat
jujur terhadap atasannya.
Hadis ke 18
Shalat
mendorong pemimpin berbuat adil
حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ الْأَزْدِيُّ حَدَّثَنَا
هَمَّامُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ ضَبَّةَ بْنِ
مِحْصَنٍ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ
بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا
نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
Rasulullah
saw bersabda: akan ada para pemimpin yang kalian kenal dan kalian ingkari.
Siapa yang tidak menyukainya maka dia bebas dan barang siapa yang mengingkarinya
maka dia selamat, akan tetapi (dosa dan hukuman) diberlakukan kepada orang yang
yang ridha dan mengikuti para pemimpin itu. Para sahabat bertanya: apakah kami
boleh memeranginya wahai rasulullah saw. Beliau menjawab: tidak boleh selama
para pemimpin itu masih mengerjakan shalat. (hr.muslim)
Penjelasan:
Hadis ini
tidak bisa kita fahami secara harfiyah,
Hadis ke 19
Hadis
ke 20
Pemimpin
yang bodoh
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ
عَنِ ابْنِ خُثَيْمٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَابِطٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لِكَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ قَالَ
وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ قَالَ أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ
بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ
وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ
وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ
يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا
عَلَيَّ حَوْضِي يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ الصَّوْمُ جُنَّةٌ وَالصَّدَقَةُ
تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ وَالصَّلَاةُ قُرْبَانٌ أَوْ قَالَ بُرْهَانٌ يَا كَعْبُ
بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ
النَّارُ أَوْلَى بِهِ يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ النَّاسُ غَادِيَانِ فَمُبْتَاعٌ
نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا وَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُوبِقُهَا
Rasulullah
saw bersabda kepada ka’ab bin ujrah: mudah-mudahan allah melindungimu dari para
pemimpin yang bodoh (dungu). Ka’ab bin ujzah bertanya: apa yang dimaksud dengan
pemimpin yang dungu wahai rasulullah saw? Beliau menjawab: mereka adalah para
pemimpin yang hidup sepeninggalku. Mereka tidak pernah berpedoman pada
petunjukku, mereka tidak mengikuti sunnahku. Barang siapa yang membenarkan
kedustaan mereka ataupun mendukung atas kezaliman mereka, maka orang itu tidak
termasuk golonganku, karena aku bukanlah orang seperti itu. Mereka juga tidak
akan mendapatkan air minum dari telagaku. Wahai ka’ab, sesungguhnya puasa
adalah benteng, sedekah itu bisa menghapus kesalahan, sedangkan shalat adalah
upaya mendekatkan diri kepada allah (qurban) –dalam riwayat lain burhan
(dalil)- wahai ka’ab sesungguhnya tidak akan masuk surga seonggok daging yang
berasal dari barang haram. Dan api neraka lebih berhak untuk melahapnya. Wahai
ka’ab bin ujrah, manusia terpecah menjadi dua golongan: pertama, orang yang
membeli dirinya (menguasai dirinya), maka dia itulah yang memerdekakan
dirinya. Golongan yang menjual dirinya, maka dia itulah yang membinasakan
dirinya sendiri. (hr. Ahmad bin hambal)
Penjelasan:
Hadis
ini berbicara tentang “nasib” kepemimpinan sepeninggal rasul s.a.w. Bahwa
pasca meninggalnya rasul, kepemimpinan umat islam akan diwarnai
tindakan-tindakan yang oleh rasul disebut “bodoh”. Karena itu, rasul kemudian
senantiasa berdo’a semoga umatnya terlindungi dari “bahaya-bahaya” akibat
pemimpin yang bodoh ini. Akan tetapi, kita di sini tentunya tidak akan memaknai
kata bodoh secara harfiyah. Karena bisa jadi kita memiliki pemimpin yang
pintar, cerdas, bergelar profesor atau bahkan sekaligus ulama, namun jika
pemimpin itu tidak berpegang teguh pada sunnah rasul maka dia layak disebut
sebagai yang bodoh atau dungu.
Lantas siapa
yang dimaksud pemimpin yang mengikuti sunnah rasul itu? Apakah pemimpin yang
puasa sunnah senin kamis ? Tentunya yang dimaksud pemimpin yang mengikuti
sunnah rasul di sini adalah pemimpin yang mengikuti jejak rasul dalam
menjalankan kepemimpinannya. Kita tahu, bahwa kepemimpinan rasul adalah
kepemimpinan yang menjunjung tinggi keadilan, toleransi, dan dekat dengan
rakyat. Apa yang kini kita kenal sebagai “piagam madinah” adalah sebagai
pedoman rasul dalam menjalankan kepemimpinannya terhadap semua rakayat saat itu
tanpa memandang latar belakang agama, etnis, warna kulit dan jenis kelamin.
Semua rakyat madinah yang plural itu dilindungi dan dijamin haknya oleh rasul.
Oleh sebab itu, bagi pemimpin pasca rasul yang tidak mampu mengikuti jejak
rasul seperti di atas maka dia disebut bodoh oleh rasul.
21
Pemimpin
dzalim dibenci allah
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُنْذِرِ الْكُوفِيُّ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ فُضَيْلِ بْنِ مَرْزُوقٍ عَنْ عَطِيَّةَ
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ وَأَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى
اللَّهِ وَأَبْعَدَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِرٌ قَالَ وَفِي الْبَاب
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي سَعِيدٍ
حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ
Rasulullah
saw bersabda: sesungguhnya manusia yang paling dicintai allah pada hari kiamat
dan yang paling dekat kedudukannya di sisi allah adalah seorang pemimpin yang
adil. Sedangkan orang yang paling dibenci allah dan sangat jauh dari allah
adalah seorang pemimpin yang zalim. (hr. Turmudzi)
Penjelasan:
Hadis ini
sekali lagi menekankan bahwa kriteria adil sangat penting bagi seorang
pemimpin. Tanpa nilai-nilai keadilan yang dijunjung tinggi oleh seorang
pemimpin, maka sebuah kepemimpinan tidak akan berhasil mengangkat kesejahteraan
umatnya. Karena itu, bisa kita fahami mengapa rasul berkali-kali menekankan
akan pentingnya seorang pemimpin yang adil. Dalam hadis ini, seorang pemimpin
yang adil akan ditempatkan sangat dekat sekali kedudukannya dengan allah,
sedangkan pemimpin yang dzalim adalah sangat dibenci sekali oleh allah. Kedua
balasan (imbalan dan ancaman) ini tentunya mencerminkan sebuah penghargaan
allah yang begitu besar kepada pemimpin yang mampu berbuat adil kepada
rakyatnya.
22
Kedzaliman
pemimpin mempercepat datangnya kiamat
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ
حَدَّثَنِي عَمْرٌو عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْأَشْهَلِ عَنْ
حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَقْتُلُوا إِمَامَكُمْ وَتَجْتَلِدُوا
بِأَسْيَافِكُمْ وَيَرِثُ دِيَارَكُمْ شِرَارُكُمْ
Rasulullah
saw bersabda: kiamat tidak akan terjadi sampai kalian membunuh para pemimpin
kalian, pedang-pedang kalian banyak sekali meminum darah, dan agama kalian
diwarisi (dikuasai) oleh orang-orang yang paling buruk di antara kalian. (hr.
Ahmad bin hambal)
Penjelasan:
Hadis ini
mengilustarikan sebuah zaman dimana bila seorang pemimpin bertindak sangat
lalim dan rakyat melawannya hingga membunuh pemimpin lalim itu, maka itu
pertanda kiamat sudah dekat. Logikanya, bila dalam sebuah zaman muncul
perlawanan rakyat terhadap pemimpin, maka di zaman itu berarti terdapat
pemimpin yang dzalim nan lalim. Karena bila sebuah kepemimpinan itu baik dan
tidak ada kedzaliman, maka niscaya tidak mungkin akan muncul perlawanan rakyat.
Oleh sebab itu, pesan pokok yang hendak disampaikan oleh hadis ini adalah bahwa
bila terjadi kedzaliman pemimpin di mana-mana, maka itu berarti pertanda kiamat
sudah dekat.
Lalu
bagaiman dengan zaman kita saat ini, dimana sebagian besar pemimpin sedikit
sekali yang berbuat adil dan banyak sekali yang berbuat dzalim, serta
perlawanan rakayat begitu dahsyata hingga ada pemimpin yang dibunuh oleh
rakyatnya, apakah zaman kita sudah termasuk tanda-tanda kiamat ? Pertanyaan ini
memang tidak bisa kita jawab “ya” atau “tidak”. Karena yang maha mengetahui
kapan kiamat itu terjadi adalah allah. Akan tetapi, bila kita melihat kondisi
kepemimpinan kita di zaman ini akan nampak sekali tanda-tanda kiamat sebagaiman
telah diseritakan rasul dalam hadis di atas.
23
Menjaga
amanat adalah bagian dari iman
حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ حَدَّثَنَا
الْمُغِيرَةُ بْنُ زِيَادٍ الثَّقَفِيُّ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ إِنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا
أَمَانَةَ لَهُ وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ
Rasulullah
saw bersabda: tidak beriman orang yang tidak bisa menjaga amanah yang
dibebankan padanya. Dan tidak beragama orang yang tidak bisa menepati janjinya.
(hr. Ahmad bin hambal)
Penjelasan:
Mungkin kita
hanya mengenal slogan-slgan keagamaan semisal: kebersihan adalah bagian dari
iman, malu adalah bagian dari iman, dsb. Tapi kita jarang –atau mungkin tidak
pernah- mengatakan bahwa menjaga amanat adalah bagian dari iman. Padahal, rasul
juga pernah bersabda bahwa menjaga amanat adalah bagian dari dasar-dasar
keimanan dan keagamaan. Dan barang siapa yang tidak menjaga amanat maka rasul
menyebut dia tidak sempurna iman dan agamanya.
Andai kita
mengkampanyekan hadis ini ke masyarakat luas, apalagi di saat-saat kampanye
presiden, bupati, gubernur, dsb, maka kita setidaknya telah menekan munculnya
“potensi” penyelewengan amanat oleh pemimpin kita, meskipun itu sekecil semut.
Hal itu karena dalam tradisi kepemimpinan kita, upaya menjaga amanat itu sangat
kecil. Sumpah jabatan sebagai mekanisme penyerahan amanat ternyata tidak
disertai sebuah mekanisme kontrol yang ketat terhadap amanat itu. Oleh sebab
itu, kampanye keagamaan untuk mendorong seseorang (pemimpin) agar senantiasa
menjaga amanat (kepemimpinanya) adalah penting segera kita galakkan.
24
Pemimpin
dianjurkan memberi suri tauladan yang baik (nasehat)
kepada
rakyatnya
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا أَبُو
مُسْهِرٍ حَدَّثَنِي عَبَّادُ بْنُ عَبَّادٍ الْخَوَّاصُ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي
عَمْرٍو السَّيْبَانِيِّ عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبْدِ اللَّهِ السَّيْبَانِيِّ عَنْ
عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَقُصُّ إِلَّا أَمِيرٌ أَوْ مَأْمُورٌ
أَوْ مُخْتَالٌ
Rasulullah
saw bersabda: tidak ada yang berhak untuk memberikan ceramah (nasehat/cerita
hikmah) kecuali seorang pemimpin, atau orang yang mendapatkan izin untuk itu
(ma’mur), atau memang orang yang sombong dan haus kedudukan. (hr. Muslim)
Penjelasan:
Hadis ini
bukan berarti hanya pemimpin yang berhak memberi nasehat kepada umat, melainkan
hadis ini mengandung pesan bahwa seorang pemimpin seharusnya bisa memberikan
suri tauladan yang baik kepada umatnya. Karena yang dimaksud ceramah disini
bukan dalam arti ceramah lantas memberi wejangan kepada umat, akan tetapi yang
dimaksud ceramah itu adalah sebuah sikap yang perlu dicontohkan kepada umatnya.
Seorang penceramah yang baik dan betul-betul penceramah tentunya bukan dari
orang sembarangan, melainkan dari orang-orang terpilih yang baik akhlaqnya.
Begitu pula dalam hadis ini, pemimpin yang berhak memberikan ceramah itu
pemimpin yang memiliki akhlaq terpuji sehingga akhlaqnya bisa menjadi tauladan
bagi rakyatnya.
Jadi
kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang penceramah, maka itu juga
harus dipenuhi oleh seorang pemimpin. Karena pada zaman rasul dulu, seorang
penceramah atau yang memberikan hikmah kepada umat adalah para penceramah ini,
sehingga rasul mengharuskan seorang pemimpin harus memiliki akhlaq yang sama
dengan penceramah ini.
25
Jabtan
Pemimpin itu dekat dengan neraka
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ خَلَّادٍ الْبَاهِلِيُّ
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ حَدَّثَنَا مُجَالِدٌ عَنْ عَامِرٍ
عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ حَاكِمٍ يَحْكُمُ بَيْنَ النَّاسِ إِلَّا جَاءَ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَلَكٌ آخِذٌ بِقَفَاهُ ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ إِلَى
السَّمَاءِ فَإِنْ قَالَ أَلْقِهِ أَلْقَاهُ فِي مَهْوَاةٍ أَرْبَعِينَ خَرِيفًا
Rasulullah
saw bersabda: setiap pemimpin yang memimpin rakyatnya, pada hari kiamat
pasti akan didatangkan. Kemudian malaikat mencengkeram tengkuknya dan
mengangkatnya sampai ke langit. Kalau ada perintah dari allah: lemparkanlah,
maka malaikat akan melemparkannya ke bawah yang jauhnya adalah empat puluh
tahun perjalanan. (hr. Ibnu majah)
Penjelasan:
Hadis ini
menggambarkan betapa jabatan sebagai pemimpin itu berat dan seolah bediri
diantara ranjau-ranjau neraka yang sewaktu-waktu bila orang itu salah
menginjaknya maka ranjau itu akan akan meledak dan membunuh sang pemimpin itu.
Mungkin kita memandang bahwa menjadi pemimpin (presiden) itu serba enak;
fasilitas dijamin, harta melimpah dan kehormatan terpandang, sehingga semua
orang bercita-cita ingin menjadi presiden, padahal bila semua orang tahu bahwa
pemimpin (presiden) itu berjalan di atas jembatan yang dibawahnya berkobar api
neraka, maka niscaya semua orang mungkin tidak akan berharap akan menjadi
presiden (pemimpin). Posisi pemimpin yang cukup rentan ini dikarenakan beratnya
tanggung jawab yang harus dipikul seorang pemimpin. Sekali ia lengah dan
mengabaikan tanggung jawabnya, maka ia bisa tergelincir dan jatuh ke jurang
neraka selama-lamanya. Oleh sebab itu, tak heran bila rasul mengambarkan poisi
pemimpin itu sebagaimana digambarkan oleh hadis di atas.
26
Pemimpin
harus membimbing rakyatnya
و حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ وَإِسْحَقُ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا و
قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ
قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ زِيَادٍ دَخَلَ
عَلَى مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ إِنِّي
مُحَدِّثُكَ بِحَدِيثٍ لَوْلَا أَنِّي فِي الْمَوْتِ لَمْ أُحَدِّثْكَ بِهِ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ
أَمِيرٍ يَلِي أَمْرَ الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ لَا يَجْهَدُ لَهُمْ وَيَنْصَحُ إِلَّا
لَمْ يَدْخُلْ مَعَهُمْ الْجَنَّةَ و حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ
الْعَمِّيُّ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِسْحَقَ أَخْبَرَنِي سَوَادَةُ بْنُ أَبِي
الْأَسْوَدِ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ مَرِضَ فَأَتَاهُ
عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ يَعُودُهُ نَحْوَ حَدِيثِ الْحَسَنِ عَنْ مَعْقِلٍ
Rasulullah
saw bersabda: setiap pemimpin yang menangani urusan kaum muslimin, tetapi tidak
berusaha semaksimal mungkin untuk mengurusi mereka dan memberikan arahan kepada
mereka, maka dia tidak akan bisa masuk surga bersama kaum muslimin itu. (hr.
Muslim)
Penjelasan:
Seorang
pemimpin tidak bisa sekedar berpikir dan bergulat dengan wacana sembari
memerintah bawahannya untuk mengerjakan perintahnya, melainkan pemimpin juga
dituntut untuk bekerja keras mengurus sendiri persoalan-persoalan rakyatnya.
Salah seorang khulafau rasyidin yaitu umar bin utsman pernah berkeliling
keseluruh negeri untuk mencari tahu adakah di antara rakyatnya masih kekurangan
pangan. Jika ada, maka khalifah umar tidak segan-segan untuk memberinya
uang (bekal) untuk menunjang kehidupan rakyatnya tadi. Bahkan khalifah abu
bakar harus turun tangan sendiri untuk memerangi orang-orang yang tidak mau
membayar zakat.
Semua
peristiwa yang dilakukan oleh dua sahabat nabi di atas adalah contoh betapa
islam sangat menekankan kepada pemimpin untuk selalu bekerja keras agar
rakyatnya benar-benar terjamin kesejahteraannya. Tidak bisa seorang pemimpin
hanya duduk dan berceramah memberi sambutan di mana-mana, tetapi semua
tugas-tugas kepemimpinannnya yang lebih kongkrit malah diserahkan kepada
bawahan-baahannya. Memang betul bahwa bawahan bertugas untuk membantu
meringankan beban atasannya, akan tetapi tidak serta-merta semua tugas harus
diserahkan kepada bawahan. Suatu pekerjaan yang memang menjadi tugas seseorang
dan dia mampu melakukannya, maka janganlah pekerjaan itu diserahkan
kepada orang lain.
27
Situasi
zaman pasca kepemimpinan rasul s.a.w
أَخْبَرَنَا صَالِحُ بْنُ سُهَيْلٍ مَوْلَى يَحْيَى بْنِ
أَبِي زَائِدَةَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ مُجَالِدٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ
مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ عَامٌ إِلَّا وَهُوَ
شَرٌّ مِنْ الَّذِي كَانَ قَبْلَهُ أَمَا إِنِّي لَسْتُ أَعْنِي عَامًا أَخْصَبَ
مِنْ عَامٍ وَلَا أَمِيرًا خَيْرًا مِنْ أَمِيرٍ وَلَكِنْ عُلَمَاؤُكُمْ
وَخِيَارُكُمْ وَفُقَهَاؤُكُمْ يَذْهَبُونَ ثُمَّ لَا تَجِدُونَ مِنْهُمْ خَلَفًا
وَيَجِيءُ قَوْمٌ يَقِيسُونَ الْأُمُورَ بِرَأْيِهِمْ
Abdullah
berkata: akan datang pada kalian satu tahun (masa) yang lebih buruk daripada
tahun (masa) sebelumnya. Akan tetapi yang aku maksud bukanlah sebuah tahun yang
lebih subur daripada tahun yang lain, ataupun seorang pemimpin yang lebih baik
daripada pemimpin lainnya. Akan tetapi di masa itu, telah hilang (wafat) para
ulama, orang-orang terpilih dan para ahli fiqh kalian. Dan kalian tidak
menemukan pengganti mereka. Sehingga datanglah sebuah kaum yang berdalil hanya
dengan menggunakan rasio mereka. (hr. Ad darimi)
Penjelasan:
Membaca
ramalan rasul di atas sungguh membuat kita cemas akan datangnya suatu zaman
yang oleh rasul dikatakan lebih buruk dari zaman-zaman sebelumnya. Namun yang
dimaksud lebih buruk di sini tentunya bukan dalam pengertian kuantitas.
Melainkan kualitas kehidupan yang tengah berlangsung pada sebuah zaman. Kalau
ukurannya adalah kuantitas, mungkin zaman kita bisa dibilang lebih bagus
karena, misalnya, kita saat ini bisa memproduksi sebuah barang dengan hanya
memakan waktu yang singkat namun menghasilkan barang yang cukup banyak. Akan
tetapi bila ukurannya adalah kualitas, maka zaman kita saat ini lebih rendah
dan lebih buruk dari zaman-zaman sebelumnya (zaman rasul). Lihatlah misalnya
kualitas arsitektur dan bangunan yang berkembang saat ini, kemudian bandingkan
dengan arsitektur dan bangunan pada tempo dulu, seperti tembok cina, borobudur,
dsb, tentu kualitasnya jauh sekali berbeda.
Mungkin di
zaman ini kita tidak bisa lagi menemukan orang yang mampu membangun semacam
borobudur dengan kualitas banunannya yang terjamin sebagaimana candi borobudur.
Begitu pula dengan kualitas kepemimpinan pada saat ini jauh lebih baik dari
kulaitas kepemimpinan pada masa-masa rasul dan sahabat. Meskipun pada masa
sahabat juga penuh diwarnai intrik politik yang mengakibatkan pertumpahan
darah, akan tetapi setidaknya sejarah telah mencatat bahwa dua sahabat periode
pertama (abu bakar dan umar) adalah potret zaman dimana kepemimpinan
benar-benar dijalankan atas dasar prinsip-prinsip keadilan. Meski saat
ini kita mengembar-gemborkan sistem demokrasi yang dianggap paling baik, namun
ternyata negara tempat kelahiran demokrasi juga tidak menerapkan nilai-nilai
demokrasi yang sebenarnya. Dan banyak sekali pihak yang mengatasnamakan
demokrasi namun menginjak-injak nilai-nilai demokrasi. Meskipun saat ini ada
yang namanya pemilu, namun semua sistem dan mekanisme demokrasi itu tidak
menjamin terwujudnya kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera. Kalau sudah
demikian, bisakah zaman kita ini disebut lebih baik dari zaman rasul.s.a.w ?
28
Kepemimpin
yang buruk
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا صَدَقَةُ
بْنُ مُوسَى عَنْ فَرْقَدٍ السَّبَخِيِّ عَنْ مُرَّةَ الطَّيِّبِ عَنْ أَبِي
بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ خَبٌّ وَلَا بَخِيلٌ وَلَا
مَنَّانٌ وَلَا سَيِّئُ الْمَلَكَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ
الْمَمْلُوكُ إِذَا أَطَاعَ اللَّهَ وَأَطَاعَ سَيِّدَهُ
Rasulullah
saw bersabda: tidak akan masuk surga orang yang suka menipu, orang yang bakhil,
orang yang suka mengungkit-ungkit kebaikan/pemberian, dan pemimpin yang buruk.
Orang yang pertama kali masuk surga adalah budak yang taat kepada allah dan
taat kepada majikannya.
Penjelasan:
Hadis ini
menjelaskan tentang sekelompok orang yang diharamkan oleh allah untuk masuk
sorga. Dan ternyata, di antara sekelompok orang tersebut terdapat kriteria
pemimpin yang buruk. Pada bagian awal buku ini, kita mungkin sudah mendapati
banyak hadis yang berbicara tentang hukuman neraka bagi pemimpin yang dzalim.
Namun kini kita kembali menemukan satu hadis lagi yang kembali berbicara
tentang ancaman bagi pemimpin yang berlaku buruk. Dan pemimpin yang buruk ini
disamakan dengan mereka yang suka menipu, pelit, dan suka mengungkit
kebaikannya/pemberiannya sendiri.
akan tetapi
apa sih bedanya pemimpin yang dzalim dan pemimpin yang buruk ? Pada dasarnya
tidak ada perbedaan subtansial antara keduanya, namun karena rasul benar-benar
menekankan sebuah kepemimpinan yang baik, maka rasul juga mengancam
kepemimpinan yang buruk. Yang jelas, sebuah kepemimpinan bila tidak menjamin
dan melindungi rakyatnya serta tidak menjadikan rakyatnya sejahtera, maka
kepemimpinan itu bisa dikatakan buruk, dzalim, kejam, dsb. Sama seperti kita
yang pada zaman ini mengenal berbagai macam istilah yang terkait dengan
perlakuan buruk penguasa, seperti, otoriter, totaliter, represif, korup, tidak
demokratis, dsb yang kesemua itu mencerminkan sebuah kepemimpinan yang
berbahaya bagi rakyat. Jadi, kepemimpinan yang buruk menurut rasul dalam hadis
ini adalah sebuah kepemimpinan yang justru menjauhkan rakyat dari kehidupan
yang sejahtera.
29
Balasan bagi
pemimpin yang otoriter
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ عَلِيِّ بْنِ مُبَارَكٍ عَنْ
يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ عَامِرٍ الْعُقَيْلِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنِ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي
لَأَعْلَمُ أَوَّلَ ثَلَاثَةٍ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ الشَّهِيدُ وَعَبْدٌ أَدَّى
حَقَّ اللَّهِ وَحَقَّ مَوَالِيهِ وَفَقِيرٌ عَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ وَإِنِّي
لَأَعْلَمُ أَوَّلَ ثَلَاثَةٍ يَدْخُلُونَ النَّارَ سُلْطَانٌ مُتَسَلِّطٌ وَذُو
ثَرْوَةٍ مِنْ مَالٍ لَا يُؤَدِّي حَقَّهُ وَفَقِيرٌ فَخُورٌ
Rasulullah
saw bersabda: sesungguhnya aku orang yang paling tahu tentang tiga golongan
yang pertama kali masuk surga: orang yang mati syahid, seorang hamba yang
menunaikan hak allah dan hak majikannya, dan orang fakir yang menjauhkan diri
dari hal-hal yang tidak baik. Aku juga orang yang paling tahu tentang tiga
golongan yang pertama kali masuk neraka: seorang pemimpin yang otoriter
(sewenang-wenang), seorang kaya yang tidak menunaikan kewajibannya, dan seorang
fakir yang sombong. (hr. Ahmad)
Penjelasan:
Bila hadis
sebelumnya berbicara soal kepemimpinan yang buruk, dalam hadis ini kita kembali
menyoroti model kepemimpinan namun lebih spesifik, yaitu kepemimpinan otoriter.
Kepemimpinan otoriter adalah sebuah kepemimpinan yang dijalankan atas dasar
kesewenag-wenangan. Semua keputusan dan kebijakan pemimpin harus ditaati oleh
semua rakyat tanpa memberi ruang terjadinya “negoisasi” dengan rakyat. Bila
pemimpin berkata merah, maka rakyat harus mengikuti merah. Demikianlah
ciri-ciri sederhana sebuah kepemimpinan otoriter.
Lalu
bagaimana islam menyikapi (ke)pemimpin(an) yang otoriter ini? Islam jelas tidak
pernah memberikan tempat, walau sejengkal, kepada pemimpin yang otoriter ini.
Sebagaimana pemimpin yang dzalim, pemimpin otoriter juga diancam dengan hukuman
neraka. Dan sebaliknya, islam justru sangat menekankan pentingnya demokrasi
(syura) dan partisipasi rakyat dalam sebuah sistem kepemimpinan. Rasul s.a.w
telah memberikan contoh bagaimana syura menjadi prinsip pokok dalam menjalankan
roda kepemimpinan. Dalam syura (demokrasi) semua rakyat, tanpa membedakan latar
agama, etnis, arna kulit, bahasa, jenis kelamin, berhak untuk terlibat
dalam merumuskan arah dan haluan sebuah kepemimpinan. Ketika rasul menjadi
pemimpin politik di madinah, rasul tidak segan-segan memberikan hak yang setara
anatara kaum muhajirin dan anshar. Bahkan dalam medan peperangan, siti ‘aisyah
juga diberi hak untuk mengukiti bahkan memimpin sebuah peperangan dengan kaum
kafir. Dengan demikian, cukup jelas sekali bahwa islam adalah agama yang
“mengharamkan” otoritariansme dan “mewajibkan” demokrasi (syura).
30
Melawan
pemimpin dzalim adalah jihad akbar
حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ دِينَارٍ الْكُوفِيُّ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُصْعَبٍ أَبُو يَزِيدَ حَدَّثَنَا
إِسْرَائِيلُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُحَادَةَ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ
مِنْ أَعْظَمِ الْجِهَادِ كَلِمَةَ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ قَالَ أَبُو
عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي أُمَامَةَ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
Rasulullah
saw bersabda: sesungguhnya jihad yang paling besar adalah mengungkapkan kalimat
kebenaran di hadapan sultan yang zalim. (hr. Turmudzi)
Selama ini,
banyak umat islam memahami konsep jihad hanya sebatas turun ke medan perang.
Pemaknaan semacam ini cukup berbahaya karena hanya mengambil makna yang
tekstual seraya menutupi makna lain yang lebih substansial.
Bila ada dua
orang khalifah dibaiat maka bunuhlah salah satunya
Hadis ke 31
Keputusan
pemimpin harus aspiratif
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ الْجُعْفِيُّ
عَنْ زَائِدَةَ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ حَنَشٍ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ
لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَقَاضَى إِلَيْكَ
رَجُلَانِ فَلَا تَقْضِ لِلْأَوَّلِ حَتَّى تَسْمَعَ كَلَامَ الْآخَرِ فَسَوْفَ
تَدْرِي كَيْفَ تَقْضِي قَالَ عَلِيٌّ فَمَا زِلْتُ قَاضِيًا بَعْدُ قَالَ أَبُو
عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
Apabila ada
dua orang laki-laki yang meminta keputusan kepadamu maka janganlah engkau
memberikan keputusan kepada laki-laki yang pertama sampai engkau mendengarkan
pernyataan dari laki-laki yang kedua. Maka engkau akan tahu bagaimana enkau
memberikan keputusan (hr. Turmudzi)
Hadis ini
mengajarkan kita sebuah kepemimpinan yang mau mendengar semua suara rakyat.
Tidak peduli rakyat itu pengemis, pemulung, orang penyandang cacat, perempuan,
atau anak kecil sekalipun, maka semua itu harus didengar suaranya oleh
pemimpin. Artinya, kepemimpinan itu, atau lebih tepatnya seorang pemimpin itu
harus benar-benar aspiratif. Karena bila kita dalam mengambil keputusan atau
kebijakan hanya berdasarkan suara kelompok tertentu, lebih-lebih suara kelompok
yang dekat dengan lingkungan kekuasaan (pemimpin) maka keputusan itu pasti akan
jauh dari rasa keadilan. Alasannya adalah karena suara satu kelompok itu belum
tentu mewakili suara kelompok yang lain. Sehingga bila ingin mencapai rasa
keadilan bagi eluruh rakyat, maka harus mendengar suara semua rakyat.
Hadis ini
penting terutama dalam konteks sistem demokrasi yang meniscayakan keterwakilan
seperti di indoensia misalkan. Dimana dpr (dewan perwakilan rakyat) memiliki
wewenang untuk mewakili suara rakyat. Bila dpr ini tidak menjaring aspirasi
dari semua lapisan dan status masyarakat, maka jangan harap kebijakan-kebijakan
yang dihasilakannya akan memenuhi rasa keadilan rakyat indonesia. Oleh sebab itu,
agar rasa keadilan dalam sebuah masyarakat itu benar-bnar terpenuhi, maka islam
mewajibkan seorang pemimpin untuk tidak mengambil keputusan hanya dari satu
orang (satu kelompok suara), tetapi lebih dari itu.
Hadis ke 32
Pemimpin
dituntut berijtihad
حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ
يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِي
سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ
أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ قَالَ وَفِي الْبَاب
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ وَعُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ
أَبِي هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ لَا نَعْرِفُهُ
مِنْ حَدِيثِ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيِّ
إِلَّا مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ سُفْيَانَ
الثَّوْرِيِّ
Apabila
seorang hakim melakukan ijtihad dan kemudian benar maka dia mendapat dua
pahala, dan apabila dia berijtihad ternyata salah maka dia hanya mendapat
satu pahala
Hadis ini
memang bercerita tentang kewenagan hakim. Namun sejatinya, hadis ini bukan saja
ditujukan kepada seorang hakim, melainkan lebih dari itu juga untuk seorang
pemimpin. Pada masa rasul s.a.w. Jabatan hakim dan pemimpin politik tidak
dibedakan. Nabi muhammad sendiri adalah seorang pemimpin politik tapi sekaligus
juga seorang hakim. Demikian juga dengan para khalifah pengganti beliau
sesudahnya (khulafa urrasyidin) yang menjabat pemimpin sekaligus hakim
dan bahkan panglima perang. Oleh sebab itu, bila merujuk pada konteks di atas,
maka hadis ini tentunya bukan hanya relevan untuk para hakim tetapi juga
dianjurkan untuk para pemimpin (politik).
Apabila
dikaitkan dengan konteks pemimpin politik, maka yang dimaksud ijtihad di sini
adalah bisa berupa sebuah upaya politik seorang pemimpin dalam mengeluarkan
keputusan yang berdasarkan konstitusi dan nilai-nilai kemanusiaan serta
kesejahteraan rakyat. Artinya, seorang pemimpin dituntut bekerja keras
semaksimal mungkin, tentunya berdasarkan ikhtiar politiknya, untuk berupaya
menjadikan rakyatnya terangkat dari garis kemiskinan serta memenuhi standar
kesejahteraan. Bila ikhtiar politik pemimpin ini benar dan berhasil mensejahteraakan
rakyatnya, maka dia akan mendapat dua pahala, akan tetapi bila ikhtiar dia
salah dan rakyat tetap berada di bawah garis kemiskinan, maka dia akan mendapat
satu pahala. Tentunya ikhtiar ini harus benar-benar dilandasi oleh ketulusan
dan niat baik untuk mengabdi kepada rakyat, bukan semata-mata mencari
keuntungan politik tertentu. Bila yang terakhir ini yang dilakukan, maka bukan
hanya satu pahala yang didapat, melainkan justru akan mendapat celaka dan siksa
dari allah swt.
Hadis ke 33
Pemimpin
harus punya pedoman kepemimpinan
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ شُعْبَةَ
عَنْ أَبِي عَوْنٍ الثَّقَفِيِّ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ رِجَالٍ مِنْ
أَصْحَابِ مُعَاذٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا
فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ
فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ
يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ
رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ عَنْ أَبِي عَوْنٍ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو ابْنِ أَخٍ
لِلْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصٍ عَنْ مُعَاذٍ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا
حَدِيثٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَلَيْسَ إِسْنَادُهُ عِنْدِي
بِمُتَّصِلٍ وَأَبُو عَوْنٍ الثَّقَفِيُّ اسْمُهُ مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ
Ketika rasul
mengutus mu’adz ke yaman, beliau bertanya: wahai mu’adz, bagaimana caramu
memberikan putusan/hukum? Dia menjawab; aku memutuskan/menghukumi berdasarkan
ketentuan dari al-qur’an. Lalu rasul bertanya lagi: bagaimana kalau tidak ada
dalam al-quran? Mu’adz menjawab, maka aku memutuskan berdasarkan sunnah rasul
s.a.w. Rasul bertanya lagi: bagaimana bila tidak kau temukan dalam sunnah rasul
? Mu’adz menjawab: maka aku berijtihad berdasarkan pendapatku sendiri. Rasul
bersabda: segala puji bagi allah yang telah memberikan petunjuk/taufik kepada
duta rasul saw
Hadis ini
turun ketika salah seorang sahabat rasul s.a.w, mu’adz bin jabal, hendak diutus
rasul untuk menjadi gubernur di yaman. Namun sebelum mu’adz berangkat ke yaman,
rasul terlebih dahulu memanggilnya untuk di uji (fit and propertest)
sejauh mana dia bisa diandalkan menjadi gebernur. Akan tetapi materi test yang
disampaikan rasul tidak muluk-muluk, beliau hanya menanyakan tentang pedoman
dia (mu’adz) dalam menjalankan roda kepemimpinannya. Dalam pengakuan mu’adz,
dia akan menjalankan roda kepemimpinanya sebagai gubernur yaman dengan
berlandaskan pada al-qur’an, sunnah, dan ijtihad (berpikir dan bekerja keras).
Untuk jawaban yang pertama dan kedua, rasul mungkin sudah bisa menebak jawaban
yang akan diberikan mu’adz, akan tetapi untuk pertanyaan ketiga itulah rasul
mencoba menggali sejauh mana upaya mu’adz bila sebuah keputusan tidak ada dasarnya
dalam al-qur’an dan sunnah. Dan ternyata nabi cukup bangga kepada mu’adz karena
dia bisa menjawab pertanyaan ketiga itu dengan cukup memuaskan.
Ini artinya
bahwa hadis di atas telah memberikan isyarat kepada kita bahwa dalam
menjalankan roda kepemimpinan kita tidak bisa hanya mengandalkan pedoman
al-qur’an dan sunnah, akan tetapi kita juga harus pandai-pandai mencari
alternatif pedoman yang lain yang bisa mengilhami kita dalam mengeluarkan
keputusan. Bukannya kita hendak mengatakan bahwa al-qur’an dan sunnah tidak
sempurna, akan tetapi untuk merespon semua peristiwa yang terjadi di dunia ini
kita dituntut untuk mencari dan mencari segala macam alternatif solusinya.
Apabila kita tidak menemukan dasarnya di al-qur’an dan sunnah, mungkin kita
bisa mencarinya di nilai-nilai kearifan lokal yang telah tumbuh dan berkembang
di dalam sebuah masyarakat. Karena itulah kita juga mengenal apa yang oleh para
ahli ushul fiqh dikenal dengan ‘urf atau kaidah fiqh yang berbunyi al-‘adah
muhakkamah. Bahkan rasul pun pernah bersabda: bila engkau menemukan
kebijakan maka ambillah meski ia keluar dari mulut anjing.
Hadis ke 34
Good and clean governance dalam islam
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْقُدُّوسِ بْنُ مُحَمَّدٍ أَبُو
بَكْرٍ الْعَطَّارُ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَاصِمٍ حَدَّثَنَا عِمْرَانُ
الْقَطَّانُ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ الشَّيْبَانِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي
أَوْفَى قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ
اللَّهَ مَعَ الْقَاضِي مَا لَمْ يَجُرْ فَإِذَا جَارَ تَخَلَّى عَنْهُ وَلَزِمَهُ
الشَّيْطَانُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ
إِلَّا مِنْ حَدِيثِ عِمْرَانَ الْقَطَّانِ
Rasul
bersabda sesungguhnya allah senantiasa bersama dengan hakim/qodi sepanjang dia
tidak menyeleweng. Kalau dia sudah menyeleweng maka allah akan menjauh darinya,
dan syetan menjadi temannya.
Selain islam
mengajarkan pentingnya prinsip keadilan dalam sebuah kepemimpinan, islam
juga menekankan pentingnya kepemimpinan yang bersih. Secara substansial,
keduanya memang tidak ada perbedaan yang berarti, bahkan bila seorang pemimpin
sudah berbuat adil, maka bisa dikatakan kepemimpinannya sudah bersih. Karena
keadilan merupakan forndasi dan perilaku bersih adalah dindingnya. Jadi meski
fondasinya kuat namun bila tidak ditopang oleh dinding yang juga kuat, maka
bangunagan itu mudah roboh oleh “goyangan-goyangan” dari pihak luar. Oleh sebab
itu, yang satu tidak bisa mengabaikan yang lain, bahkan harus saling menopang
antara keduanya.
lantas
bagaimana yang dimaksud dengan kepemimpinan yang bersih di dalam hadis ini?
Yang dimaksud kepemimpinan yang besih adalah sebuah sistem kepemimpinan yang
tidak “dinodai” oleh perilaku-perilaku menyeleweng dari pemimpinanya. Wujud
konkrit dari perilaku menyeleweng ini adalah seperti korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Selain itu, pemimpin juga dituntut harus menjaga “kebersihan”
moralnya. Sehingga yang dimaksud bersih kemudian bukan saja menyangkut perilaku
sosial melainkan juga perilaku individual.
sedangkan
dalam konteks kepemimpinan politik kontemporer, kita mengenal istilah yang
disebut “clean and good governance”. Istilah ini sebenarnya mengandung
konsep dasar bahwa sebuah kepemimpinan itu harus baik dan bersih, terutama
bersih dari korupsi dan modus-modus penyelewengan yang lain. Sehingga untuk
mencapai sebuah kepemimpinan seperti itu diperlukan kesetaraan peran antara
negara (pemerintah), pasar dan rakyat yang salah satu di antara ketiganya tidak
boleh ada yang mendominasi. Karena bila peran negara terlalu kuat atau dominan
maka akan menimbulakn hegemoni dan cenderung totaliter, sedangkan bila peran
pasar (swasta) yang terlalu dominan, maka semua kehidupan rakyat akan diatur
dengan modal atau pemilki modal. Bila seseorang tidak punya modal, maka dia
tidak punya posisi tawar yang kuat. Sementara bila kedua instutusi di atas
terlalu lemah, dan rakyat begitu kuatnya, maka chaos atau kekacauan yang akan
menghantui sebuah negara. Oleh sebab itu, kembali pada hadis di atas, bahwa
tindakatan kotor seperti penyelewengan kekuasaan adalah tindakan yang sangat
dikutuk dalam islam. Dan sebaliknya, pemerintahan yang baik dan bersih justru
sangat ditekankan dan dijamin pasti akan dilindungi oleh allah.swt.
Hadis ke 35
Pemimpin
harus peka terhadap
Kebutuhan rakyat
قَال عَمْرُو بْنُ مُرَّةَ لِمُعَاوِيَةَ إِنِّي
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ
إِمَامٍ يُغْلِقُ بَابَهُ دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ
إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ خَلَّتِهِ وَحَاجَتِهِ
وَمَسْكَنَتِهِ
Setiap
pemimpin yang menutup pintunya terhadap orang yang memiliki hajat, pengaduan,
dan kemiskinan maka allah akan menutup pintu langit terhadap segala pengaduan,
hajat dan kemiskinannya.
Kepemimpinan
bukan saja menuntut kecerdasan otak dan kekuatan otot, melainkan juga harus
ditunjang oleh rasa sensifitas yang tinggi terhadap persoalan-persoalan
menyangkut rakyatnya. Sehingga apapun persoalan yang menimpa rakyatnya, maka
pemimpin harus peka dan segera mencarikan solusinya. Di sinilah sebenarnya
tugas pokok seorang pemimpin; yaitu mendengar keluh kesah rakyat untuk kemudian
mencarikan jalan keluarnya.
Karena
itulah, islam (melalui hadis di atas) memerintahkan seorang pemimpin untuk
membuka pintu terhadap segala keluh kesah rakyatnya. Tentunya, yang dimaksud
pintu disini bukan semata-mata berarti pintu rumah ataupun pintu istana,
melainkan lebih dari itu yang sangat ditekankan adalah pintu hati atau nurani
seorang pemimpin. Karena meski seorang pemimpin tinggal di istana megah dan
berpagarkan besi dan baja, bila pintu hatinya terbuka untuk kepentingan
rakayat, maka allah juga akan membukkaan “pintu hati-nya” untuk mendengar keluh
kesah sang pemimpin itu.
Hadis ke 36
Pemimpin
dilarang mengambil keputusan dalam keadaan emosional
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ كَتَبَ
أَبِي إِلَى عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ وَهُوَ قَاضٍ أَنْ لَا تَحْكُمْ
بَيْنَ اثْنَيْنِ وَأَنْتَ غَضْبَانُ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَحْكُمْ الْحَاكِمُ بَيْنَ اثْنَيْنِ
وَهُوَ غَضْبَانُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَأَبُو
بَكْرَةَ اسْمُهُ نُفَيْعٌ
Janganlah
seorang pemimpin (hakim) itu menghukumi antara dua orang yang berseteru dalam
keadaan marah (emosional)
Keputusan
seorang presiden adalah dasar dari kebijakan sebuah negara. Begitu juga
keputusan seorang pimpinan dalam sebuah organisasi adalah acuan dalam
menjalankan roda organisasi. Oleh sebab itu, dalam mengambil keputusan atau
mengeluarkan kebijakan, seorang pemimpin sebaiknya tidak sedang dalam keadaan
“panas”, marah, atau emosional. Hal ini bukan saja ditentang oleh hadis nabi
s.a.w melainkan juga dikutuk oleh teori manajemen organisasi. Dalam teori
manajemen organisasi dijelaskan bahwa seseorang tidak boleh mengeluarkan atau
membuat keputusan dalam keadaan marah atau emosi yang tidak stabil. Bila
dipaksakan, maka keputusan itu dihasilakan dari sebuah proses yang kurang
matang dan terburu-buru sehingga dampaknya akan sangat merugikan terhadap pelaksana
keputusan tersebut.
Meski di
dalam hadis ini yang disebutkan adalah hakim, namun secara substansial kita
sepakat bahwa dalam keadaan emosi labil, siapapun orangnya, baik hakim,
pemimpin, maupun orang awam sekalipun, sebaiknya tidak perlu mengambil keputusan.
Banyangkan bila kita sedang bertengkar dengan istri di rumah misalkan, tetapi
setelah di tiba di kantor kita disuguhi sebuah persoalan yang harus diputuskan,
maka bisa jadi sisa-sisa emosional kita di rumah, secara sadar atau tidak, akan
ikut terbawa hingga ke kantor dan mempengaruhi kita dalam memutuskan sebuah
perkara. Oleh sebab itu, bila kita hendak mengambil keputusan maka terlebih
dahulu kita harus mendinginkan suasana dan menengkan pikiran sehingga semua
pertimbangan bisa kita akomodir secara seimbang dan matang.
Hadis ke 37
Hukuman bagi
pemimpin yang suka money politic
Rasul
s.a.w melaknat orang yang menyuap dan disuap
Hadis ini
sungguh sangat relevan untuk konteks indoensia saat ini, di mana dalam setiap
unsur birokrasi kita hampir dipastikan tidak bisa lepas dari yang namanya
“suap”. Mulai dari ngurus ktp di tingkat rt, hingga ngurus tender proyek
infrastruktur di tingkat presiden, mulai dari pemilihan ketua rt hinhha
pemilihan presiden. Semuanya tidak steril dari praktik suap-menyuap. Entah dari
mana asal muasalnya, yang jelas praktik suap ini sudah diperingatkan oleh
rasul. Itu artinya, sejak kepemimpinan rasul s.a.w, pratik suap ini sudah
terjadi, dan rasul turun untuk memerangi pratik kotor ini.
Bila kita
memaknai ancaman “laknat” bagi penyuap dan yang disuap sebagaiman hadis di
atas, maka sebenarnya ancaman itu menunjukkan sebuah ancaman yang cukup
berat. Karena bahasa laknat biasanya bukan hanya berarti hukuman tuhan di
akhirat, melainkan juga terjadi di dunia. Kita lihat misalkan dalam kasus kaum
sodom yang dilaknat tuhan dengan berbagai penyakit yang menyakitkan dan
mematikan, demikian pula setelah di akhirat nanti mereka juga akan kembali
dilaknat dengan lebih kejam. Oleh sebab itu, allah tidak akan bermain-main
dengan praktik kotor yang menjijikkan ini.
Namun
anehnya, banyak di antara orang yang tidak sadar kalau dirinya sudah disuap.
Fenomena ini banyak kita temui ketika menjelang pemilu, misalkan seorang
kiai/ulama pemimpin pesantren yang diberi (biasanya pakai bahasa disumbang)
sejumlah dana oleh partai politik tertentu agar pesantrennya mau mendukung
parpol yang bersangkutan. Sang kia sering tidak sadar (atau berpura-pura tidak
sadar) bahwa dana sumbangan itu bisa dikategorikan, yang dalam bahasa
politiknya, sebagai money politic. Memang praktik “sumbangan politik”
ini tidak terlalu kentara sebagai suap, namun bila sebuah sumbangan itu
dilandasi oleh kepentingan tetentu dan tuntutan tertentu, maka ia layak disebut
suap. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana bila sumbangan dana itu tidak
disertai tuntutan ? Memang dalam setiap sumbangan, terutama menjelang pemilu,
kepentingan dan tuntutannya tidak mungkin dikatakan secara harfiyah atau
gamblang. Bahkan bisa jadi seorang politisi pemberi sumbangan itu tidak
langsung mneyebutkan kepentingannya dalam menyumbang. Akan tetapi, bila
sumbangan itu turun sementara situasi saat itu adalah pemilu, maka sudah bisa
dipastikan bahwa sumbangan itu adalah money politic. Oleh sebab itu,
untuk menjaga kesyubhatan sebuah sumbangan, sebaiknya kita perlu melacak
dulu asbabul wurudnya.
Hadis ke 38
Masa
kepemimpinan maksimal dua periode
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
الْمُخَرَّمِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا
عِمْرَانُ الْقَطَّانُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَخْلَفَ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ عَلَى الْمَدِينَةِ
مَرَّتَيْنِ
Rasul s.a.w
menunjuk ibnu maktum sebagai penggantinya di kota madinah sebanyak dua kali.
(hr abu dawud)
Islam memang
benar-benar telah menebarakan benih-benih demokrasi. Betapa tidak, jauh sebelum
istilah demokrasi itu sendiri muncul, yaitu pada masa rasul s.a.w, islam sudah
membatasi masa kepemimpinan seseorang. Dan persis dalam konsep demokrasi
modern, masa kepemimpinan dalam islam juga dibatasi selama dua periode. Namun
terlepasa konsep itu bersumber dari islam atau demokrasi modern, namun yang
perlu kita gali adalah pesan moral dari hadis di atas. Pesan moral dari
hadis ini adalah bahwa bila kekuasaan itu terlalu lama dipegang oleh seseorang
maka akan berpotensi untuk menimbulkan penyalahgunaan. Sebagaimana slogan dalam
politik modern yang berbunyi; “power absoluty tends to corrup absoluty”,
kekuasaan mutlak berpotensi melahirkan penyalahgunaan mutlak. Karena bila
seorang pemimpin terlalu lama memimpin, seperti soeharto selama 32 tahun, maka
akibatnya bisa kita lihat sendiri; kongkalikong, nepotisme, semua kerabat
dekatnya dijadikan menteri, korupsi, dan bahkan bisa menjadi “tuhan” yang mampu
memaksa rakyatnya untuk menuruti perintahnya. Padahal tuhan sendiri tidak
pernah memaksa. Oleh sebab itu, dalam setiap jenjang kepemimpinan, sebaiknya,
bahkan mungkin seharusnya, perlu dibatasi masa kepemimpinannya. Tidak
adanya batasan waktu dalam sebuah sistem kepemimpinan hanya akan menimbulkan
kekuasaan yang menyerupai tuhan selaku maha tak terbatas.
Hadis ke 39
Wajib
berkata benar kepada pemimpin
Meski terasa
pahit
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ
مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
أُنَاسٌ لِابْنِ عُمَرَ إِنَّا نَدْخُلُ عَلَى سُلْطَانِنَا فَنَقُولُ لَهُمْ
خِلَافَ مَا نَتَكَلَّمُ إِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِهِمْ قَالَ كُنَّا نَعُدُّهَا
نِفَاقًا
Ada
serombongan orang yang berkata kepada ibnu umar; kalau kami bertemu dengan para
pemimpin kami maka kami pasti mengatakan sesuatu yang sama sekali berbeda
dengan apa yang kami katakan bila tidak bertemu dengan mereka (pemimpin). Ibnu
umar berkata: hal itu kami anggap sebagai sebuah sikap munafik. (hr. Bukhori)
Ada satu
tradisi buruk yang sering kita lakukan ketika kita menghadap pimpinan, yaitu,
selalu mengatakan yang baik-baik, yang senang-senang, dan yang sukses-sukses.
Tradisi ini bukan saja dilakukan oleh para menteri ketika menghadap presiden,
melainkan tidak jarang juga dilakukan oleh rakyat biasa. Jelas, kalu menteri
melakukan tradisi buruk itu dengan tujuan menjilat dan mengharap pujian dari
sang pemimpin (presiden). Tapi yang tidak bisa kita fahami ternyata tidak
sedikit rakyat biasa juga melakukan praktik buruk tersebut. Memang, bila rakyat
biasa tidak separah sebagaiman dilakukan menteri, akan tetapi sebuah sikap
berdiam diri ketika berhadapan dengan pemimpin adalah sebuah sikap yang oleh
hadis di atas bisa dikategorikan sebagai “munafik”. Padahal, bila kita bertemu
pemimpin kita, misalkan kita mendapat kesempatan bertemu langsung dengan
presiden kita, maka harus kita manfaatkan waktu pertemuan itu untuk mnegatakan
yang sebenarnya tentang situasi atau kehidupan rakyat yang dipimpinnya. Di
hadapan pemimpin itulah justru sebuah kesempatan untuk mengatakan bahwa,
misalnya, rakyat sedang kekuranagn pangan, rakyat butuh pendidikan gratis,
rakyat butuh harga murah, dsb. Bila pemimpin yang bersangkutan marah dan
mengancaman sikap tegas kita, maka kita jangan sekali-kali mundur, karena itu
adalah kenyataan yang sebenarnya. Dan membohongi kenyataan adalah sama dosanya
dengan berbuat munafik. Oleh sebab itu, hadis ini sangat relevan dengan situasi
indoensia saat ini yang banyak diwarnai oleh sikap kepura-puraan dalam
berperilaku dan berkomunikasi dengan pimpinan.
.
Hadis ke 40
Sikap dengki
pemimpin sangat membahayakan
Muadz
berkata: rasul s.a.w mengutusku pergi ke yaman. Ketika aku berangkat kemudian
rasul menyuruh orang untuk memanggilku pulang kembali. Kemudian beliau berkata:
tahukah engkau kenapa aku memanggilmu kembali ? Yaitu agar engkau tidak
terjerumus pada sesuatu yang tidak aku perbolehkan, yakni sifat dengki, karena
siapa yang dengki, maka kedengkiannya itu akan datang kepadanya hari kiamat.
Dengan maksud itulah aku memanggilmu, ingat itu…! Sekarang kembalilah kamu ke
wilayah kekuasaanmu.
Hadis ini
turun ketika rasul s.a.w telah mengutus mu’adz bin jabal untuk menjadi gubernur
di negeri yaman. Sebagaimana diceritakan dalam hadis di atas, bahwa kepentingan
rasul untuk sejenak memanggil pulang kembali mu’adz adalah untuk menasehati dia
agar menghindari sikap dengki, karena sikap itu akan menjerumuskan dia ke jurang
kesesatan. Mungkin kita tidak pernah berfikir bahwa sikap dengki itu cukup
berbahaya. Padahal dari sikap yang seolah remeh tersebut, bisa melahirkan
sebuah sikap yang dampaknya jauh lebih berbahaya dari sekedar dengki, terutama
bila dikaitkan dengan masalah kepemimpinan.
Bila seorang
pemimpin selalu dihinggapi rasa dengki, maka jangan harap kepemimpinannya akan
sukses. Namun tentu yang dimaksud dengki di sini bukan sekedar bermakna iri
hati atau cemburu, akan tetapi sebuah sikap ketidak puasan seotang pemimpin
atas kekuasaan yang dipegangnya. Padahal, seorang pemimpin sudah diberi
“kekuasaan”, diberi fasilitas, di beri kehormatan, namun tidak sedikit masih
banyak pemimpin yang merasa kurang dan kurang lagi atas jabatan, kehormatan,
status, harta, dan kakuasaan. Bila seorang pemimpin tidak mampu menahan nafsu
semacam ini, maka jangan harap kepemimpinanya serta rakyat yang dipimpinnya
akan hidup dengan sejahtera. Oleh sebab itu, meski rasa dengki adalah masalah
biasa , namun dampak negatifnya menjadi luar biasa.
Manual PCPB
Hadis ke 1
Kesejahteraan
rakyat adalah
Tanggung
jawab seorang pemimpin
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ
وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ
رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ
بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ
بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ
سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ
Ibn umar r.a
berkata : saya telah mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah
pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala
negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya.
Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri
yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan
tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara
barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu
sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal
yang dipimpinnya. (buchary, muslim)
Penjelasan:
Pada
dasarnya, hadis di atas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam islam. Dalam
hadis ini dijelaskan bahwa etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun
jawab. Semua orang yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai pemimpin.
Karenanya, sebagai pemimpin, mereka semua memikul tanggung jawab,
sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri. Seorang suami bertanggung jawab
atas istrinya, seorang bapak bertangung jawab kepada anak-anaknya, seorang
majikan betanggung jawab kepada pekerjanya, seorang atasan bertanggung jawab
kepada bawahannya, dan seorang presiden, bupati, gubernur bertanggung jawab
kepada rakyat yang dipimpinnya, dst.
Akan tetapi,
tanggung jawab di sini bukan semata-mata bermakna melaksanakan tugas lalu
setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak (atsar) bagi yang
dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah
lebih berarti upaya seorang pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak
yang dipimpin. Karena kata ra ‘a sendiri secara bahasa bermakna gembala
dan kata ra-‘in berarti pengembala. Ibarat pengembala, ia harus merawat,
memberi makan dan mencarikan tempat berteduh binatang gembalanya. Singkatnya,
seorang penggembala bertanggung jawab untuk mensejahterakan binatang
gembalanya.
Tapi cerita
gembala hanyalah sebuah tamsil, dan manusia tentu berbeda dengan binatang,
sehingga menggembala manusia tidak sama dengan menggembala binatang. Anugerah
akal budi yang diberikan allah kepada manusia merupakan kelebihan tersendiri
bagi manusia untuk mengembalakan dirinya sendiri, tanpa harus mengantungkan
hidupnya kepada penggembala lain. Karenanya, pertama-tama yang disampaikan oleh
hadis di atas adalah bahwa setiap manusia adalah pemimpin yang bertanggung
jawab atas kesejahteraan dirinya sendiri. Atau denga kata lain, seseorang mesti
bertanggung jawab untuk mencari makan atau menghidupi dirinya sendiri, tanpa
mengantungkan hidupnya kepada orang lain
Dengan
demikian, karena hakekat kepemimpinan adalah tanggung jawab dan wujud tanggung
jawab adalah kesejahteraan, maka bila orang tua hanya sekedar memberi makan
anak-anaknya tetapi tidak memenuhi standar gizi serta kebutuhan pendidikannya
tidak dipenuhi, maka hal itu masih jauh dari makna tanggung jawab yang
sebenarnya. Demikian pula bila seorang majikan memberikan gaji prt (pekerja
rumah tangga) di bawah standar ump (upah minimu provinsi), maka majikan
tersebut belum bisa dikatakan bertanggung jawab. Begitu pula bila seorang
pemimpin, katakanlah presiden, dalam memimpin negerinya hanya sebatas menjadi
“pemerintah” saja, namun tidak ada upaya serius untuk mengangkat rakyatnya dari
jurang kemiskinan menuju kesejahteraan, maka presiden tersebut belum bisa
dikatakan telah bertanggung jawab. Karena tanggung jawab seorang presiden harus
diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil dan kaum
miskin, bukannya berpihak pada konglomerat dan teman-teman dekat. Oleh sebab
itu, bila keadaan sebuah bangsa masih jauh dari standar kesejahteraan, maka
tanggung jawab pemimpinnya masih perlu dipertanyakan.
Hadis ke 2
Hukuman bagi
pemimpin yang menipu rakyat
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا أَبُو
الْأَشْهَبِ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ عَادَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ مَعْقِلَ
بْنَ يَسَارٍ الْمُزنِيَّ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ قَالَ مَعْقِلٌ إِنِّي
مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَوْ عَلِمْتُ أَنَّ لِي حَيَاةً مَا حَدَّثْتُكَ إِنِّي سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ
يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ
لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Abu ja’la
(ma’qil) bin jasar r.a berkata: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda:
tiada seorang yang diamanati oleh allah memimpin rakyat kemudian ketika
ia mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan pasti allah mengharamkan baginya
surga. (buchary, muslim)
Penjelasan:
Kejujuran
adalah modal yang paling mendasar dalam sebuah kepemimpinan. Tanpa kejujuran,
kepemimpinan ibarat bangunan tanpa fondasi, dari luar nampak megah namun di
dalamnya rapuh dan tak bisa bertahan lama. Begitu pula dengan kepemimpinan,
bila tidak didasarkan atas kejujuran orang-orang yang terlibat di dalamnya,
maka jangan harap kepemimpinan itu akan berjalan dengan baik. Namun kejujuran
di sini tidak bisa hanya mengandalakan pada satu orang saja, kepada pemimpin
saja misalkan. Akan tetapi semua komponen yang terlibat di dalamnya, baik itu
pemimpinnya, pembantunya, staf-stafnya, hingga struktur yang paling bawah dalam
kepemimpnan ini, semisal tukang sapunya, harus menjunjung tinggi nilai-nilai
kejujuran. Hal itu karena tidak sedikit dalam sebuah kepemimpinan, atau sebuah
organisasi, terdapat pihak yang jujur namun juga terdapat pihak yang tidak
jujur. Bila pemimpinnya jujur namun staf-stafnya tidak jujur, maka kepemimpinan
itu juga akan rapuh. Begitu pula sebaliknya.
Namun secara
garis besar, yang sangat ditekankan dalam hadis ini adalah seorang
pemimpin harus memberikan suri tauladan yang baik kepada pihak-pihak yang
dipimpinnya. Suri tauladan ini tentunya harus diwujudkan dalam bentuk
kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan pemimpin yang tidak menipu dan
melukai hati rakyatnya. Pemimpin yang menipu dan melukai hati rakyat, dalam
hadis ini disebutkan, diharamkan oleh allah untuk mengninjakkan kaki si sorga.
Meski hukuman ini nampak kurang kejam, karena hanya hukuman di akhirat dan
tidak menyertakan hukuman di dunia, namun sebenarnya hukuman “haram masuk
sorga” ini mencerminkan betapa murkanya allah terhadap pemimpin yang tidak
jujur dan suka menipu rakayat.
Hadis ke 3
Pemimpin
dilarang bersikap birokratis
حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ
حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
شِمَاسَةَ قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ أَسْأَلُهَا عَنْ شَيْءٍ فَقَالَتْ مِمَّنْ
أَنْتَ فَقُلْتُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ مِصْرَ فَقَالَتْ كَيْفَ كَانَ صَاحِبُكُمْ
لَكُمْ فِي غَزَاتِكُمْ هَذِهِ فَقَالَ مَا نَقَمْنَا مِنْهُ شَيْئًا إِنْ كَانَ
لَيَمُوتُ لِلرَّجُلِ مِنَّا الْبَعِيرُ فَيُعْطِيهِ الْبَعِيرَ وَالْعَبْدُ
فَيُعْطِيهِ الْعَبْدَ وَيَحْتَاجُ إِلَى النَّفَقَةِ فَيُعْطِيهِ النَّفَقَةَ
فَقَالَتْ أَمَا إِنَّهُ لَا يَمْنَعُنِي الَّذِي فَعَلَ فِي مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي
بَكْرٍ أَخِي أَنْ أُخْبِرَكَ مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي بَيْتِي هَذَا اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ
أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ
أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ
بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ
حَرْمَلَةَ الْمِصْرِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ عَنْ عَائِشَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
‘Aisjah r.a
berkata : saya telah mendengar rasulullah saw bersabda di rumahku ini : ya
allah siapa yang menguasai sesuatu dari urusan umatku, lalu mempersukar pada
mereka, maka persukarlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku lalu berlemah
lembut pada mereka, maka permudahlah baginya. (hr. Muslim)
Penjelasan:
Hadis ini
menerangkan tentang larangan seorang pemimpin untuk bersikap arogan, elitis,
represif dan birokratis atau mempersulit urusan-urusan rakyatnya. Karena
sebagaimana kita ketahui, tidak sedikit pemimpin yang bersikap arogan dan
mempersulit urusan-urusan rakyatnya. Untuk mengurusi dokumen-dokumen
kewarganegaraan saja misalkan, seperti ktp, akta kelahiran, perijinan usaha,
dsb, seorang rakyat harus melalui tahapan-tahapan yang cukup rumit dan memakan
waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Padahal,
seorang pemimpin, menurut hadis ini, harus memberikan pelayanan yang maksimal
serta tidak menyulitkan warga atau rakyat. Bila semua urusan itu bisa
dipermudah kenapa harus dipersulit. Akibatnya, birokrasi yang sejatinya
bertujuan untuk mempermudah, berbalik menjadi mempersulit segala urusan rakyat.
Oleh sebab itu, bila sorang pemimpin suka mempersulit urusan rakyatnya, maka
niscaya allah akan mempersulit segala urusan dia baik di dunia lebih-lebih di
akhirat nanti.
Hadis ke 4
Kontrak
politik sebagai
mekanisme
kontrol terhadap pemimpin
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ قَالَ
سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ
فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ
خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ
فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ
فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا
اسْتَرْعَاهُمْ
Abu hurairah
r.a berkata : rasulullah saw bersabda : dahulu bani israil selalu dipimpin oleh
nabi, tiap mati seorang nabi seorang nabi digantikan oleh nabi lainnya, dan
sesudah aku ini tidak ada nabi, dan akan terangkat sepeninggalku beberapa
khalifah. Bahkan akan bertambah banyak. Sahabat bertanya: ya rasulullah apakah
pesanmu kepada kami? Jawab nabi: tepatilah baiatmu (kontrak politik) pada yang
pertama, dan berikan kepada mereka haknya, dan mohonlah kepada allah
bagimu, maka allah akan menanya mereka dari hal apa yang diamanatkan dalam
memelihara hambanya.
Penjelasan:
Pada
umumnya, kata bai’at diartikan sebagai janji. Namun sebenarnya, kata bai’at
berasal dari suku kata bahasa arab ba-ya-‘a yang bermakna transaksi.
Bila transaksi ini konteksnya adalah ekonomi maka ia berarti jual beli yang
kemudian dikenal dengan kata kerja bu yu’ yang berarti terjadinya
transaksi antara penjual dan pembeli. Akan tetapi bila konteks kata
tersebut adalah politik, maka yang dimaksud transaksi di sini adalah sebuah
perjanjian antar rakyat dan pemimpin. Karena itu, tak heran bila rasul s.a.w
senantiasa menekankan pentingnya bai’at dalam sebuah kepemimpinan, dengan
bai’at seorang pemimpin telah melakukan transaksi politik yang menuntut
pemenuhan atas point-poin yang menjadi ksepakatan dalam transaksi mereka
(pemimpin dan rakyat).
Akan tetapi,
dalam konteks belakangan ini, kata bai’at mengalami reduksi makna hanya sekedar
sumpah jabatan yang biasanya bersifat pasif dan tidak memberikan ruang tawar
menawar politik antara rakyat dan pemimpin. Bila kita melihat praktik sumpah
jabatan di indonesia misalkan, sumpah jabatan presiden hanya dibacakan secara
sepihak antara mpr dan presiden namun tidak menyisakan ruang negoisasi antara
rakyat dan prsiden. Padahal, rakyat sebagai pihak yang dipimpin seharusnya
berhak membuat kesepakatan-kesepakatan politik tertentu dengan presiden yang
bila kesepakatan itu dilanggar maka jabatan presidien dengan sendirinya
akan gugur. Oleh sebab itu, agar sumpah jabatan ini tidak sekedar menjadi
ritual dalam setiap pemilihan presiden atau pemimpin namun tidak memiliki
dampak yang berarti dalam proses kepemimpinannnya, maka kemudian kita mengenal
apa yang dalam istilah politik disebut sebagai “kontrak politik”.
Kontrak
politik di sini mengandung pengertian sebuah ruang dimana antara pemimpin dan
rakyat melakukan “transaksi” dan membuat kesepakatan-kesepakatan tertentu yang
memilki resiko-resiko bila kedua belah pihak melanggarnya. Kontrak politik, dalam
hal ini tidak berbeda dengan ba’at dalam istilah islam. Hanya saja, kontrak
politik terjadi antara rakyat dan pemimpin secara setara dan diketahui secara
publik, tetapi bai’at dilakukan oleh rakyat, pemimpin dan di atas keduanya ada
tuhan sebagai saksi. Oleh sebab itu, bila kita memaknai hadis di atas secara
dalam dan kontekstual, maka kita dapat menangkap pesan bahwa rasul s.a.w
menekankan betapa pentingnya sebuah kontrak politik dalam sebuah sistem
kepemimpinan yang islami.
Hadis ke 5
Pemimpin
dilarang bersikap otoriter
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا جَرِيرُ
بْنُ حَازِمٍ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ أَنَّ عَائِذَ بْنَ عَمْرٍو وَكَانَ مِنْ
أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى
عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ زِيَادٍ فَقَالَ أَيْ بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ شَرَّ الرِّعَاءِ
الْحُطَمَةُ فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ فَقَالَ لَهُ اجْلِسْ فَإِنَّمَا
أَنْتَ مِنْ نُخَالَةِ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ وَهَلْ كَانَتْ لَهُمْ نُخَالَةٌ إِنَّمَا كَانَتْ النُّخَالَةُ
بَعْدَهُمْ وَفِي غَيْرِهِمْ
‘Aidz bin
amru r.a, ketika ia masuk kepada ubaidillah bin zijad berkata: hai anakku saya
telah mendengar rasulullah saw bersabda: sesungguhnya sejahat-jahat pemerintah
yaitu yang kejam (otoriter), maka janganlah kau tergolong daripada mereka. (HR.
Buchary, Muslim)
Penjelasan:
Hadis ke 6
Pemimpin
sebagai pelayan rakyat
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ
أَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ مُخَيْمِرَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا مَرْيَمَ الْأَزْدِيَّ
أَخْبَرَهُ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى مُعَاوِيَةَ فَقَالَ مَا أَنْعَمَنَا بِكَ أَبَا
فُلَانٍ وَهِيَ كَلِمَةٌ تَقُولُهَا الْعَرَبُ فَقُلْتُ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ
أُخْبِرُكَ بِهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ
فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ
دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ قَالَ فَجَعَلَ رَجُلًا عَلَى حَوَائِجِ
النَّاسِ
Abu maryam
al’ azdy r.a berkata kepada muawiyah: saya telah mendengar rasulullah saw
bersabda: siapa yang diserahi oleh allah mengatur kepentingan kaum muslimin,
yang kemdian ia sembunyi dari hajat kepentingan mereka, maka allah akan menolak
hajat kepentingan dan kebutuhannya pada hari qiyamat. Maka kemudian muawiyah
mengangkat seorang untuk melayani segala hajat kebutuhan orang-orang (rakyat).
(abu dawud, attirmidzy)
Penjelasan:
Pemimpin
sebagai pelayan dan rakyat sebagai tuan. Itulah kira-kira yang hendak
disampaikan oleh hadis di atas. Meski tidak secara terang-terangan hadis di
atas menyebutkan rakyat sebagai tuan dan pemimpin sebagai pelayan, namun
setidaknya hadis ini hendak menegaskan bahwa islam memandang seorang pemimpin
tidak lebih tinggi statusnya dari rakyat, karena hakekat pemimpin ialah
melayani kepentingan rakyat. Sebagai seorang pelayan, ia tentu tidak beda
dengan pelayan-pelayan lainnya yang bertugas melayani kebutuhan-kebutuhan
majikannya. Seorang pelayan rumah tangga, misalkan, harus bertanggung jawab
untuk melayani kebutuhan majikannya. Demikian juga seorang pelayan kepentingan
rakyat harus bertanggung jawab untuk melayani seluruh kepentingan rakyatnya.
Dalam
konteks indoensia, sosok “pelayan” yang bertugas untuk memenuhi kepentingan
“tuan” rakyat ini adalah presiden, menteri, dpr, mpr, ma, bupati, walikota,
gubernur, kepala desa, dan semua birokrasi yang mendukungnya. Mereka ini adalah
orang-orang yang kita beri kepercayaan (tentunya melalui pemilu) untuk mengurus
segala kepentingan dan kebutuhan kita sebagai rakyat. Karena itu, bila mereka
tidak melaksanakan tugasnya sebagai pelayan rakyat, maka kita sebagai “tuan”
berhak untuk “memecat” mereka dari jabatannya.
Hads ke 7
Pemimpin
harus bersikap adil
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَّامٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ
اللَّهِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ خُبَيْبِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي
ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي
عِبَادَةِ اللَّهِ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ فِي خَلَاءٍ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسْجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ
وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا قَالَ
إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا
تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا صَنَعَتْ يَمِينُهُ
Abu hurairah
r.a: berkata: bersabda nabi saw: ada tujuh macam orang yang bakal bernaung di
bawah naungan allah, pada hati tiada naungan kecuali naungan allah:
Imam(pemimpin)
yang adil, dan pemuda yang rajin ibadah kepada allah. Dan orang yang hatinya
selalu gandrung kepada masjid. Dan dua orang yang saling kasih sayang karena
allah, baik waktu berkumpul atau berpisah. Dan orang laki yang diajak berzina
oleh wanita bangsawan nan cantik, maka menolak dengan kata: saya takut kepada
allah. Dan orang yang sedekah dengan sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya
tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. Dan orang
berdzikir ingat pada allah sendirian hingga mencucurkan air matanya. (buchary,
muslim)
Penjelasan:
Meski hadis
ini menjelaskan tentang tujuh macam karakter orang yang dijamin keselamatannya
oleh allah nanti pada hari kiamat, namun yang sangat ditekankan oleh hadis ini
adalah karakter orang yang pertama, yaitu pemimpin yang adil. Bukannya kita
menyepelekan enam karakter sesudahnya, akan tetapi karakter pemimpin yang adil
memang menjadi tonggak bagi kemaslahatan seluruh umat manusia. Tanpa pemimpin
yang adil maka kehidupan ini akan terjebak ke dalam jurang penderitaan yang
cukup dalam.
Untuk
melihat sejauh mana seorang peimimpin itu telah berlaku adil terhadap rakyatnya
adalah melalui keputusan-keputuasan dan kebijakan yang dikeluarkannya. Bila
seorang pemimpin menerapkan hukum secara sama dan setara kepada semua warganya
yang berbuat salah atau melanggar hukum, tanpa tebang pilih, maka pemimpin itu
bisa dikatakan telah berbuat adil. Namun sebaliknya, bila pemimpin itu hanya
menghukum sebagian orang (rakyat kecil) tapi melindungi sebagian yang lain
(elit/konglomerat), padahal mereka sama-ama melanggar hukum, maka pemimpin itu
telah berbuat dzalim dan jauh dari perilaku yang adil.
Hadis ke 8
Jaminan bagi
pemimpin yang adil
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ
بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ
عَمْرٍو يَعْنِي ابْنَ دِينَارٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَوْسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عَمْرٍو قَالَ ابْنُ نُمَيْرٍ وَأَبُو بَكْرٍ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي حَدِيثِ زُهَيْرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ
عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا
يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا
وَلُوا
Abdullah bin
‘amru bin al ‘ash r.a berkata: rasulullah saw bersabda: sesungguhnya
orang-orang yang berlaku adil, kelak disisi allah ditempatkan diatas mimbar
dari cahaya, ialah mereka yang adil dalam hokum terhadap keluarga dan apa saja
yang diserahkan (dikuasakan) kepada mereka. (muslim)
Penjelasan:
Bila hadis
sebelumnya berbicara tentang “garansi” allah atas pemimpin yang berbuat adil,
maka hadis ini lebih mengulas tentang “imbalan” bagi seorang pemimpin yang
adil. Dalam hadis ini disebutkan bahwa imbalan bagi pemimpin yang adil adalah
kelak di sisi allah akan ditempatkan di atas mimbar dari cahaya. Secara
harfiyah, mimbar berarti sebuah tempat khusus untuk orang-orang yang hendak
berdakwah atau berceramah di hadapan umum. Karenanya, mimbar jum’at biasanya
mengacu pada sebuah tempat khusus yang disediakan masjid untuk kepentingan
khotib. Sementara cahaya adalah sebuah sinar yang menerangi sebuah
kehidupan. Kata cahaya biasanya mengacu pada matahari sebagai penerang bumi,
lampu sebagai penerang dari kegelapan, dsb. Oleh sebab itu, kata mimbar dari
cahaya di dalam hadis di atas tentu tidak serta merta dimaknai secara harfiyah
seperti mimbar yang dipenuhi hiasan lampu-lampu yang bersinar terang, melainkan
mimbar cahaya adalah sebuah metafor yang menggambarkan sebuah posisi yang
sangat terhormat di mata allah. Posisi itu mencrminkan sebuah ketinggian status
setinggi cahaya matahari.
Hadis ke 9
Sorga bagi
pemimpin yang adil
حَدَّثَنِي أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ وَمُحَمَّدُ
بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارِ بْنِ عُثْمَانَ وَاللَّفْظُ لِأَبِي
غَسَّانَ وَابْنِ الْمُثَنَّى قَالَا حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنِي
أَبِي عَنْ قَتَادَةَ عَنْ مُطَرِّفِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الشِّخِّيرِ عَنْ
عِيَاضِ بْنِ حِمَارٍ الْمُجَاشِعِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ َأَهْلُ الْجَنَّةِ ثَلَاثَةٌ ذُو سُلْطَانٍ مُقْسِطٌ
مُتَصَدِّقٌ مُوَفَّقٌ وَرَجُلٌ رَحِيمٌ رَقِيقُ الْقَلْبِ لِكُلِّ ذِي قُرْبَى
وَمُسْلِمٍ وَعَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ ذُو عِيَالٍ
Ijadl bin
himar r.a berkata: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: orang-orang
ahli surga ada tiga macam: raja yang adil, mendapat taufiq hidayat ( dari
allah). Dan orang belas kasih lunak hati pada sanak kerabat dan orang muslim.
Dan orang miskin berkeluarga yang tetap menjaga kesopanan dan kehormatan diri.
(muslim).
Penjelaan:
Bila yang
pertama tadi allah akan menjamin pemimpin yang berbuat adil dengan jaminan
naungan rahmat dari allah, dan hadis selanjutnya menjamin dengan jaminan mimbar
yang terbuat dari cahaya, maka jaminan yang ke tiga ini adalah jaminan sorga.
Ketiga jaminan di atas tentunya bukan sekedar jaminan biasa, melainkan semua
jaminan itu menunjukkan betapa islam sangat menekankan pentingnya sikap
keadilan bagi seorang peimimpin. Rasul s.a.w tidak mungkin memberikan jaminan
begitu tinggi kepada seseorang kecuali seseorang itu benar-benar dituntut untuk
melakukan hal yang sangat ditekankan dalam islam. Dan keadilan adalah perkara
penting yang sangat ditekankan dalam islam. Oleh karena itu, siapa yang
menjunjung tinggi keadilan, niscaya orang tersebut akan mendapat jaminan yang
tinggi dari islam (allah), baik di dunia, maupun di akhirat.
Hadis ke 10
Batas-batas
kepatuhan rakyat terhadap pemimpin
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السَّمْعُ
وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ
يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Ibn umar r.a
berkata : bersabda nabi saw : seorang muslim wajib mendengar dan ta’at
pada pemerintahannya, dalam apa yang disetujui atau tidak disetujui, kecuali
jika diperintah ma’siyat. Maka apabila disuruh ma’siyat, maka tidak wajib
mendengar dan tidak wajib ta’at.
Penjelasan:
Hadis di
atas menunjukkan kepada kita bahwa kepatuhan seorang rakyat terhadap pemimpin tidaklah
mutlak. Ada batasan-batasan tertentu dimana seorang rakyat wajib ta’at dan
patuh dan ada pula saat dimana rakyat tidak perlu patuh, bahkan boleh berontak
atau melawan. Dalam hadis di atas, batasan-batasan kepatuhan terhadap pemimpin
itu adalah selama pimimpin tidak memerintahkan rakyatnya untuk berbuat
ma’siyat. Lantas pertanyaanya, apa yang dimaksud engan ma’siyat itu?
Secara
bahasa ma’siyat adalah berarti durhaka atau tidak ta’at kepada allah. Namun
secara istilahi, makna ma’siyat cukup beragam. Karenanya, adalah salah kaprah
bila kita membatasi makna ma’siyat hanya pada perkara-perkara semacam
pornografi dan pornoaksi, seperti yang dilakukan oleh sekelompok orang yang
mengatasnamakan islam dalam melakukan pengrusakan tempat hiburan dengan dalih menghapus
kema’siyatan.
Padahal
kem’siyatan bukan hanya berada di tempat hiburan malam, akan tetapi di
kantor-kantor pemerintah justru lebih banyak kema’siyatan dalam bentuknya yang
samar namun cukup memprihatinkan. Lihatlah misalnya di kantor-kantor departemen,
di ruang-ruang sidang para wakil rakyat, bahkan di masjid sekalipun, kita bisa
menjumpai kema’siyatan. Namun yang dimaksud kema’siyatan di sini tentunya bukan
penari telanjang atau orang yang sedang mabuk-mabukan, melainkan
tindakan-tindakan yang mendurhakai allah yang dipertontonkan oleh para pemimpin
kita, wakil rakyat kita dan bahkan ulama-ulama kita. Bukankah korupsi, kolusi
dan semua hal yang mengarah pada ketidak jujuran dalam memimpin negeri ini
serta mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil juga
termasuk ma’siyat. Bukan hanya itu, seorang ulama yang pandai berkhutbah namun
dia menjadi jurkam dari pemimpin yang korup juga telah masuk dalam kategori
berbuat ma’siyat. Bahkan tindakan yang tidak melindungi anak-anak
terlantar, janda-janda tua dan kaum miskin papa juga termasuk ma’siyat karena
semua itu merupakan perintah allah, dan bagi siapa yang tidak melaksanakan
perintah allah maka dia telah mendurhakai allah, dan orang yang durhaka berarti
berbuat ma’siyat kepada allah.
Dengan
demikian, kema’siyatan yang tidak perlu dipatuhi seorang rakayat terhadap
pemimpinnya adalah kema’siyatan dengan pengertiannya yang cukup luas
(mendurhakai allah) bukan saja kema’siyatan yang berarti sempit (seperti
pornoaksi dan pornografi). Oleh sebab itu, dari hadis di atas bisa kita
simpulkan bahwa apabila pemimpin kita sudah tidak lagi memegang prinsip-prinsip
kejujuran serta tidak lagi berpihak pada kepentingan rakyat kecil, maka batasan
kepatuhan terhadap pemimpin tersebut sudah gugur dengan sendirinya, karena
pemimpin itu sendiri sudah termasuk kema’siyatan yang perlu untuk di hapuskan
di muka bumi ini.
Hadis ke 11
Kepemimpinan
tidak mengenal warna kulit
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ
عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْمَعُوا
وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ
زَبِيبَةٌ
Anas r.a
berkata : bersabda rasulullah saw: dengarlah dan ta’atlah meskipun yang
terangkat dalam pemerintahanmu seorang budak habasyah yang kepalanya bagaikan
kismis. (buchary)
Penjelasan:
Islam adalah
agama rahmatan lil ‘alamin. Begitu pula nabi muhammad s.a.w diutus sebagai nabi
bukan hanya untuk orang arab saja, melainkan untuk semua umat manusia. Karena
itu, para pengikut nabi bukan saja dari kalangan suku quraisy yang menjadi suku
bergengsi saat itu, melainkan juga dari suku-suku lainnya yang sebelum datang
islam termasuk suku “hina”. Bahkan kita mengenal salah seorang sahabat
nabi yang bernama bilal bin rabah yang warna kulitnya cukup hitam legam.
Padahal, sebelum datangnya ajaran islam di arab dulu, orang kulit hitam adalah
termasuk kelompok suku yang sebagian besar berprofesi sebagai budak. Mereka
sama sekali tidak dihargai dan tidak diperlakukan sebagaimana manusia yang
lain. Akan tetapi setelah turun ajaran islam, semua batasan-batasan ras, warna
kulit, dan golongan itu dihapus, dan semua manusia adalah sama statsunya di
muka allah, hanya keimanan dan ketaqwaanlah yang membedakan mereka.
Pengakuan
islam terhadap dimensi kemanusian universal bukan hanya dalam pergaulan sosial
sehari-hari, melainkan islam juga mengakui semua orang berhak menjadi pemimpin.
Tidak peduli mereka itu berkulit hitam, coklat, merah, hijau, dsb, asalkan bisa
memimpin secara adil, maka dia berhak untuk menjadi pemimpin. Dalam konteks
ini, keadilan dan kejujuran menjadi kriteria paling pokok dalam menentukan
seorang pemimpin, bukan warna kulit atau asal golongan. Dan apabila yang
terpilih sebagai pemimpin adalah dari kalangan kulit hitam, islam juga
mewajibkan kita agar tidak boleh meremehkan pemimpin itu. Akan tetapi kita juga
harus mematuhi semua perintahnya (selama tidak untuk ma’siyat) sebagaimana kita
mematuhi perintah pemimpin-pemimpin yang lain.
Hadis ke 12
Keseimbangan
hak rakyat dan
tanggung
jawab pemimpin
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ
بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ
سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ أَبِيهِ
قَالَ سَأَلَ سَلَمَةُ بْنُ يَزِيدَ الْجُعْفِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ
عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا فَمَا
تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فِي
الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ وَقَالَ
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا
حُمِّلْتُمْ و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سِمَاكٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ وَقَالَ
فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا
وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
Abu hunaidah
(wa’il) bin hadjur r.a. Berkata : salamah bin jazid aldju’fy bertanya kepada
rasulullah saw : ya rasulullah, bagaimana jika terangkat diatas kami
kepala-kepala yang hanya pandai menuntut haknya dan menahan hak kami, maka
bagaimanakah kau menyuruh kami berbuat? Pada mulanya rasulullah mengabaikan
pertanyaan itu, hingga ditanya kedua kalinya, maka rasulullah saw bersabda :
dengarlah dan ta’atlah maka sungguh bagi masing-masing kewajiban
sendiri-sendiri atas mereka ada tanggung jawab dan atas kamu tanggung jawabmu.
(muslim)
Penjelasan:
Rakyat
memiliki hak dan pemimpin memiliki tanggung jaab. Begitu pula sebaliknya,
rakyat memiliki tanggung jawab dan pemimpin juga memiliki hak. Antara keduanya
harus ada keseimbangan dan kesetaraan. Yang satu tidak boleh mendominasi yang
lain. Akan tetapi kekuasaan sepenuhnya adalah tetap berada di tangan rakyat.
Karena hakekat kepemimpinan hanyalah amanat yang harus diemban oleh seorang
pemimpin. Bila sang pemimpin tidak bisa menjaga amanat itu dengan baik, maka
kekuasaan kembali berada di tangan rakyat.
Oleh sebab
itu, mengingat kesetaraan poisi rakyat dan pemimpin ini, maka masing-masing
memilki hak dan tanggung jawabnya. Hadis di atas menjelaskan bahwa seorang
pemimpin jangan hanya bisa memenuhi haknya, dan mengebiri hak rakyatnya, akan
tetapi seorang pemimpin harus mengakui dan menjamin hak-hak rakyatnya secara
bebas.
Dalam
kehidupan modern seperti sekarang ini, mungkin kita sudah mengenal konsep hak
azazi manusia (ham). Oleh sebab itu, bila kita tarik hadis di atas dalam kontek
saat ini, maka sebanarnya nabi muhammad s.a.w jauh sebelumnya sudah
mengajarkan prinsip-prinsip ham dalam kehidupan politik rakyatnya. Betapa
tidak, dari hadis di atas dapat kita gali sebuah pesan bahwa islam menjamin ham
termasuk di dalamnya hak-hak sipil dan politik (isipol) dan hak-hak ekonomi
sosial dan budaya (ekosob). Karena itu, bila seorang peimimpin tidak menjamin
hak-hak azasi manusia (ham) warganya, maka pemimpin itu telah keluar dari
sunnah rasul s.a.w.
Hadis ke 13
Allah
membenci pemimpin
Yang
mengejar jabatan
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ
حَدَّثَنَا يُونُسُ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ
سَمُرَةَ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا
عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنْ أُعْطِيتَهَا
عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ
أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا
مِنْهَا فَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ وَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ
Abu said
(abdurrahman) bin samurah r.a. Berkata: rasulullah saw telah bersabda kepada
saya : ya abdurrahman bin samurah, jangan menuntut kedudukan dalam
pemerintahan, karena jika kau diserahi jabatan tanpa minta, kau akan dibantu
oleh allah untuk melaksanakannya, tetapi jika dapat jabatan itu karena
permintaanmu, maka akan diserahkan ke atas bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri.
Dan apabila kau telah bersumpah untuk sesuatu kemudian ternyata jika kau
lakukan lainnya akan lebih baik, maka tebuslah sumpah itu dan kerjakan apa
yang lebih baik itu. (buchary, muslim)
Penjelasan:
Dalam hadis
lain rasul s.a.w juga pernah bersabda: “barang siapa telah menyerahkan sebuah
jabatan atau amanat kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat
kehancurannya”. Kedua hadis di atas sebenarnya mengajarkan kepada kita bahwa
amanat itu tidak perlu dicari dan jabatan itu tidak perlu dikejar. Karena bila
kita mencari dan mengejar amanat dan jabatan itu, maka niscaya allah tidak akan
memabntu kita. Akan tetapi bila kita tidak menuntut dan tidak mencari amanat
itu, maka justru allah akan membantu untuk meringankan beban amanat itu
sendiri.
Hadis di
atas sebenarnya mengajarkan tentang etika politik. Seoarang politisi tidak
serta-merta bebas dari etika, sebagaimana ditunjukkan oleh para politisi kita
selama ini. Melainkan seorang politisi dan kehidupan politik itu sendiri harus
berdasarkan sebuah kode etik. Bila kehidupan politik tidak berasarkan etika,
maka kesan yang muncul kemudian bahwa politik itu kotor. Padahal, tidak
selamanya politik itu kotor, nabi muhammad s.a.w sendiri pernah menjadi seorang
politisi, tapi tidak pernah bermain kotor.
Bila kita
mencermati hadis di atas, maka akan kita temukan bahwa citra “ke-kotoran” dari
politik itu sebenarnya bersumber dari sikap para pelakuknya yang
ambisius. Dalam hal ini, ambisi menjadi salah satu faktor uatama dalam
membentuk sikap dan pandangan politik eseorang sehingga menjadi kotor. Betapa
tidak, dari ambisi itu, seseorang bisa saja membunuh orang lain yang menjadi
pesaing politiknya. Dan dari ambisi itu pula seseorang bisa melakukan apa aja
untuk meraih jabatan politik yang diinginkannya, baik melalui korupsi,
penipuan, pembunuhan, ke dukun, dsb. Oleh sebab itu, “menjaga ambsi” adalah
sebuah etika politik yang diajarkan islam kepada umatnya, terutama bagi
mereka yang berkiprah di dunia politik.
Hadis ke 14
Amanat di
balik jabatan
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ
اللَّيْثِ حَدَّثَنِي أَبِي شُعَيْبُ بْنُ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ بْنُ
سَعْدٍ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ
الْحَارِثِ بْنِ يَزِيدَ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ ابْنِ حُجَيْرَةَ الْأَكْبَرِ عَنْ
أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ
فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ
وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا
مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Abu dzar
berkata : ya rasulallah tidakkah kau memberi jabatan apa-apa kepadaku? Maka rasulullah
memukul bahuku sambil berkata : hai abu dzar kau seorang yang lemah, dan
jabatan itu sebagai amanat yang pada hari qiyamat hanya akan menjadi
kemenyesalan dan kehinaan. Kecuali orang yang yang dapat menunaikan hak dan
kewajibannya, dan memenuhi tanggung jawabnya.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ
اللَّيْثِ حَدَّثَنِي أَبِي شُعَيْبُ بْنُ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ بْنُ
سَعْدٍ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ
الْحَارِثِ بْنِ يَزِيدَ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ ابْنِ حُجَيْرَةَ الْأَكْبَرِ عَنْ
أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ
فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ
وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا
مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Abu hurairah
r.a. Berkata : rasulullah saw bersabda : kamu akan berebut pemerintahan, dan
akan menjadi kemenyasalan pada hari qiyamat. (buchary)
Penjelasan:
Hadis ini
tidak jauh berbeda dengan hadis sebelumnya di atas. Bila hadis sebelumnya
melarang kita agar tidak berambisi untuk meraih jabatan, maka hadis ini lebih
menekankan betapa beratnya amanat dalam sebuah jabatan. Dan saking
beratnya hingga rasul s.a.w mengatakan bahwa kelak di hari qiamat kita
merasakan penyesalan yang begitu dahsyat karena kita telah bersedia mengemban
amanat itu. Janganlah kita mengira bahwa menjadi seorang peimimpin dengan
sendirinya akan bergelimang harta dan kehormatan. Padahal, harta dan kehormatan
itu justru menjadi batu sandungan yang bisa mengakibatkan seseorang terjerumus
ke dalam jurang kenistaan.
Lihatlah
misalnya, seorang presiden dengan tanggung jawab yang begitu besar untuk
mensejahterakan rakyatnya, atau seorang suami yang begitu besar tanggung
jawabnya untuk menafkahi istrinya, atau seorang bapak yang memikul amanat untuk
mebesarkan anak-anaknya. Semua itu merupakan amanat yang harus dijaga dan
dilaksanakan sebaik-baiknya. Apabila kita tidak bisa berbuat adil dan tidak
mampu mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi pihak yang kita pimpin, maka
janganlah sekali-kali kita mencoba-coba untuk mengemban amanat tersebut.
Apabila seorang presiden tidak mampu mengemban amanat untuk membawa kehidupan
bangsanya dari keterpurukan menuju kesejahteraan dan keadilan, maka janganlah
kita kembali memilih presiden atau pemimpin itu untuk kedua kalinya. Karena
itu, amanat adalah ringan dikatakan namun berat untuk dilaksanakan. Barang
siapa hanya bisa mengatakan namun tidak bisa melaksanakan, maka ia tidak layak
untuk dijadikan pemimpin.
Hadis ke 15
Pemimpin
dilarang mengeksploitasi rakyat kecil
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ كِلَاهُمَا عَنْ الْمُقْرِئِ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ عُبَيْدِ
اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرٍ الْقُرَشِيِّ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي سَالِمٍ
الْجَيْشَانِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّي
أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي لَا تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلَا
تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ
Abu dzar
r.a. Berkata : rasulullah saw abersabda : ya abu dzar saya melihat kau seorang
yag lemah, dan saya suka bagi dirimu apa yang saya suka bagi diriku sendiri,
jangan menjadi pemimpin walau terhadap dua orang, dan jangan menguasai
harta anak yatim. (muslim)
Penjelasan:
Hadis ini
menerangkan kepada kita bahwa jabatan sebagai pemimpin itu sangat berat,
hingga rasul.s.a.w menganjurkan salah seorang sahabat untuk, kalau bisa,
tidak menjadi pemimpin walau hanya terhadap dua orang. Akan tetapi pesan yang
paling menonjol dari hadis di atas adalah bahwa godaan terberat bagi seorang
peimimpin adalah menguasai harta anak yatim. Tentunya, anak yatim di sini
adalah salah satu contoh yang merepresentaskan sebuah kelompok masyarakat yang
paling lemah. Di luar anak yatim, kita juga bisa menyaksikan orang-orang lemah
yang lain, seperti, janda tua, anak-anak terlantar, pengemis, buruh, petani
gurem, pengangguran, dsb, yang semua itu menjadi tanggung jawab pemimpin untuk
melindunginya, bukan untuk menguasainya. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana
kita menguasai harta mereka, la wong mereka aja tidak punya harta?
Yang
dimaksud menguasai harta mereka ini bukan berarti kita mengambil alih harta
kekayaan mereka, melainkan tindakan mengeksploitasi keberadaan mereka untuk
kemudian dijual sehingga menghasilkan uang juga termasuk menguasai harta
mereka. Selain itu, kebijakan yang tidak berpihak terhadap kaum miskin dan anak
yatim ini juga termasuk dalam menguasai harta mereka. Bukankah di dalam harta
kita terdapat sebagian harta mereka? Sehingga kita wajib menyisihkan sebagian
harta kita untuk kepentingan mereka. Oleh sebab itu, bila kita maknai hadis di
atas secara global, maka pesan pokok yang hendak disampaikan adalah, bahwa
islam sangat melarang seorang pemimpin mengeksploitasi rakyat kecil, bahkan
islam mendorong pemimpin untuk melindungi mereka, karena mereka merupakan
bagian dari tanggung jawab pemimpin.
Hadis ke 16
Mewaspadai
para pembisik pemimpin
حَدَّثَنَا أَصْبَغُ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ
أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا بَعَثَ
اللَّهُ مِنْ نَبِيٍّ وَلَا اسْتَخْلَفَ مِنْ خَلِيفَةٍ إِلَّا كَانَتْ لَهُ
بِطَانَتَانِ بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ
وَبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ فَالْمَعْصُومُ مَنْ
عَصَمَ
Abu si’id
dan abu hurairah r.a. Berkata : rasulullah saw bersabda : allah tiada mengutus
seorang nabi atau mengangkat seorang khalifah, melainkan ada dua orang
kepercayaan pribadi, seseorang yang menganjurkan kebaikan, dan seorang yang
menganjurkan kejahatan. Sedang orang yang selamat ialah yang dipelihara oleh
allah. (buchary)
Penjelasan:
Setiap
pemimpin tentunya memilki asisten pribadi. Asisten ini biasanya menjadi
kepercayaan seorang pemimpin dalam melakukan banyak hal yang berkaitan dengan
kebutuhan pemimpin. Akan tetapi, seorang pemimpin juga harus waspada terhadap
orang-orang kepercayaannya. Karena rasul s.a.w telah mengingatkan di antara
orang-orang kepercayaan pemimpin tersebut tentu ada yang jujur dan ada yang
tidak jujur. Seorang kepercayaan pemimpin yang jujur pasti akan memberikan informasi
yang benar terhadap pemimpinnya, tetapi seorang kepercayaan yang tidak jujur
tentu akan memberikan informasi yang tidak benar kepada pemimpinnya. Orang yang
terakhir ini lah biasanya yang selalu menghasut dan membisikkan
informasi-informasi yang justru bukan memperkuat kepemimpinannya, melainkan
akan menurunkan integritas kepemimpinannya. Karena itu, islam sangat
menganjurkan agar kita aspada terhadap orang-orang yang pekerjaannya hanya
membisikkan informasi-informasi salah sehingga pemimpin terdorong untuk
megeluarkan kebijakan yang merugikan kepentingan rakyat banyak.
Hadis ke 17
Pemimpin
perlu “pembantu” yang jujur
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عَامِرٍ الْمُرِّيُّ حَدَّثَنَا
الْوَلِيدُ حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
الْقَاسِمِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِالْأَمِيرِ خَيْرًا جَعَلَ
لَهُ وَزِيرَ صِدْقٍ إِنْ نَسِيَ ذَكَّرَهُ وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَهُ وَإِذَا
أَرَادَ اللَّهُ بِهِ غَيْرَ ذَلِكَ جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ سُوءٍ إِنْ نَسِيَ لَمْ
يُذَكِّرْهُ وَإِنْ ذَكَرَ لَمْ يُعِنْهُ
‘Aisyah r.a.
Berkata : rasulullah saw bersabda : jika allah menghendaki kebaikan terhadap
seorang raja, maka diberinya seorang menteri yang jujur, jika lupa diingatkan,
dan jika ingat dibantu. Dan jika allah menghendaki sebaliknya dari itu, maka
allah memberi padanya ,menteri yang tidak jujur, hingga jika lupa tidak
diingatkan dan jika ingat tidak dibantu. (abu dawud).
Penjelasan:
Seorang
pemimpin pasti mengemban segudang tugas dan amanat yang begitu berat yang harus
dijalankan. Sementara untuk melaksanakan semua tugas itu tidak mungkin dia
sendiri melakukannya. Oleh sebab itu dibutuhkan sejumlah pembantu untuk
meringankan tugas sang pemimpin. Dalam kehidupan politik modern, para pembantu
presiden itu bisa disebut sebagai menteri. Dan barangkali bukan hanya presiden,
semua jabtan publik di negeri ini, baik bupati, gubernur, wali kota, dpr,
hingga kepala sekolah pun, juga membutuhkan pembantu atau pendamping ahli yang
bisa meringankan tugas-tugasnya. Sehingga dalam konteks indoensia, kita tidak
hanya mengenal menteri sebagai pembantu presiden, melainkan juga terdapat apa
yang kita kenal sebagai juru bicara, asisten ahli, staf ahli, penasehat ahli,
dsb.
Keberadan
“orang-orang pendamping” ini tentunya perlu kita apresiasi dengan baik, karena
mereka membantu tugas-tugas kepresidenan. Akan tetapi, kita juga perlu
mencermati bahkan jika diperlukan kita mesti waspada karena tidak semua
“orang-orang pendamping” itu berniat tulus untuk membantu. Akan tetapi lebih
dari itu ada juga yang menyimpan kepentingan tertentu dan menjadi “pembisik”
yang licik. Tentunya banyak cara yang dilakukan para pembantu pemimpin yang
licik ini. Salah satu contoh yang sering kita lihat dalam kehidupan birokrasi
kita adalah; melaporkan situasi yang tidak sebenarnya kepada pemimpin yang
bersangkutan. Bila yang terjadi di lapangan adalah kelaparan, maka si pembantu
hanya melaporkan kekuranagn gizi. Selain itu tidak sedikit kita jumpai
“orang-orang” yang pekerjaanya hanya membisikkan informasi-informasi bohong
kepada pemimpinnya sehingga pemimpin tersebut mengeluarkan kebijakan
berdasarkan informasi bohong yang ia peroleh. Akibatnay, selain kebijakan itu
tidak tepat, sang pemimpin itu juga jatuh kredibilitasnya. Oleh sebab itu,
memilih pendamping itu harus hati-hati dan waspada. Kedekatan seseorang dengan
pemimpin tersebut dan kepintaran seseorang tidak menjamin dia akan berbuat
jujur terhadap atasannya.
Hadis ke 18
Shalat
mendorong pemimpin berbuat adil
حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ الْأَزْدِيُّ
حَدَّثَنَا هَمَّامُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ
ضَبَّةَ بْنِ مِحْصَنٍ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ
عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا
أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
Rasulullah
saw bersabda: akan ada para pemimpin yang kalian kenal dan kalian ingkari.
Siapa yang tidak menyukainya maka dia bebas dan barang siapa yang
mengingkarinya maka dia selamat, akan tetapi (dosa dan hukuman) diberlakukan
kepada orang yang yang ridha dan mengikuti para pemimpin itu. Para sahabat
bertanya: apakah kami boleh memeranginya wahai rasulullah saw. Beliau menjawab:
tidak boleh selama para pemimpin itu masih mengerjakan shalat. (hr.muslim)
Penjelasan:
Hadis ini
tidak bisa kita fahami secara harfiyah,
Hadis ke 19
Hadis
ke 20
Pemimpin
yang bodoh
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ
عَنِ ابْنِ خُثَيْمٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَابِطٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لِكَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ قَالَ
وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ قَالَ أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ
بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ
وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ
وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ
يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا
عَلَيَّ حَوْضِي يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ الصَّوْمُ جُنَّةٌ وَالصَّدَقَةُ
تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ وَالصَّلَاةُ قُرْبَانٌ أَوْ قَالَ بُرْهَانٌ يَا كَعْبُ
بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ
النَّارُ أَوْلَى بِهِ يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ النَّاسُ غَادِيَانِ فَمُبْتَاعٌ
نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا وَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُوبِقُهَا
Rasulullah
saw bersabda kepada ka’ab bin ujrah: mudah-mudahan allah melindungimu dari para
pemimpin yang bodoh (dungu). Ka’ab bin ujzah bertanya: apa yang dimaksud dengan
pemimpin yang dungu wahai rasulullah saw? Beliau menjawab: mereka adalah para
pemimpin yang hidup sepeninggalku. Mereka tidak pernah berpedoman pada
petunjukku, mereka tidak mengikuti sunnahku. Barang siapa yang membenarkan
kedustaan mereka ataupun mendukung atas kezaliman mereka, maka orang itu tidak
termasuk golonganku, karena aku bukanlah orang seperti itu. Mereka juga tidak
akan mendapatkan air minum dari telagaku. Wahai ka’ab, sesungguhnya puasa
adalah benteng, sedekah itu bisa menghapus kesalahan, sedangkan shalat adalah
upaya mendekatkan diri kepada allah (qurban) –dalam riwayat lain burhan
(dalil)- wahai ka’ab sesungguhnya tidak akan masuk surga seonggok daging yang
berasal dari barang haram. Dan api neraka lebih berhak untuk melahapnya. Wahai
ka’ab bin ujrah, manusia terpecah menjadi dua golongan: pertama, orang yang
membeli dirinya (menguasai dirinya), maka dia itulah yang memerdekakan
dirinya. Golongan yang menjual dirinya, maka dia itulah yang membinasakan
dirinya sendiri. (hr. Ahmad bin hambal)
Penjelasan:
Hadis
ini berbicara tentang “nasib” kepemimpinan sepeninggal rasul s.a.w. Bahwa
pasca meninggalnya rasul, kepemimpinan umat islam akan diwarnai
tindakan-tindakan yang oleh rasul disebut “bodoh”. Karena itu, rasul kemudian
senantiasa berdo’a semoga umatnya terlindungi dari “bahaya-bahaya” akibat
pemimpin yang bodoh ini. Akan tetapi, kita di sini tentunya tidak akan memaknai
kata bodoh secara harfiyah. Karena bisa jadi kita memiliki pemimpin yang
pintar, cerdas, bergelar profesor atau bahkan sekaligus ulama, namun jika
pemimpin itu tidak berpegang teguh pada sunnah rasul maka dia layak disebut
sebagai yang bodoh atau dungu.
Lantas siapa
yang dimaksud pemimpin yang mengikuti sunnah rasul itu? Apakah pemimpin yang
puasa sunnah senin kamis ? Tentunya yang dimaksud pemimpin yang mengikuti
sunnah rasul di sini adalah pemimpin yang mengikuti jejak rasul dalam
menjalankan kepemimpinannya. Kita tahu, bahwa kepemimpinan rasul adalah
kepemimpinan yang menjunjung tinggi keadilan, toleransi, dan dekat dengan
rakyat. Apa yang kini kita kenal sebagai “piagam madinah” adalah sebagai
pedoman rasul dalam menjalankan kepemimpinannya terhadap semua rakayat saat itu
tanpa memandang latar belakang agama, etnis, warna kulit dan jenis kelamin.
Semua rakyat madinah yang plural itu dilindungi dan dijamin haknya oleh rasul.
Oleh sebab itu, bagi pemimpin pasca rasul yang tidak mampu mengikuti jejak
rasul seperti di atas maka dia disebut bodoh oleh rasul.
21
Pemimpin
dzalim dibenci allah
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُنْذِرِ الْكُوفِيُّ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ فُضَيْلِ بْنِ مَرْزُوقٍ عَنْ عَطِيَّةَ
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ وَأَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى
اللَّهِ وَأَبْعَدَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِرٌ قَالَ وَفِي الْبَاب
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي سَعِيدٍ
حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ
Rasulullah
saw bersabda: sesungguhnya manusia yang paling dicintai allah pada hari kiamat
dan yang paling dekat kedudukannya di sisi allah adalah seorang pemimpin yang
adil. Sedangkan orang yang paling dibenci allah dan sangat jauh dari allah
adalah seorang pemimpin yang zalim. (hr. Turmudzi)
Penjelasan:
Hadis ini
sekali lagi menekankan bahwa kriteria adil sangat penting bagi seorang
pemimpin. Tanpa nilai-nilai keadilan yang dijunjung tinggi oleh seorang
pemimpin, maka sebuah kepemimpinan tidak akan berhasil mengangkat kesejahteraan
umatnya. Karena itu, bisa kita fahami mengapa rasul berkali-kali menekankan
akan pentingnya seorang pemimpin yang adil. Dalam hadis ini, seorang pemimpin
yang adil akan ditempatkan sangat dekat sekali kedudukannya dengan allah,
sedangkan pemimpin yang dzalim adalah sangat dibenci sekali oleh allah. Kedua
balasan (imbalan dan ancaman) ini tentunya mencerminkan sebuah penghargaan
allah yang begitu besar kepada pemimpin yang mampu berbuat adil kepada
rakyatnya.
22
Kedzaliman
pemimpin mempercepat datangnya kiamat
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ
حَدَّثَنِي عَمْرٌو عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْأَشْهَلِ عَنْ
حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَقْتُلُوا إِمَامَكُمْ وَتَجْتَلِدُوا
بِأَسْيَافِكُمْ وَيَرِثُ دِيَارَكُمْ شِرَارُكُمْ
Rasulullah
saw bersabda: kiamat tidak akan terjadi sampai kalian membunuh para pemimpin
kalian, pedang-pedang kalian banyak sekali meminum darah, dan agama kalian
diwarisi (dikuasai) oleh orang-orang yang paling buruk di antara kalian. (hr.
Ahmad bin hambal)
Penjelasan:
Hadis ini
mengilustarikan sebuah zaman dimana bila seorang pemimpin bertindak sangat
lalim dan rakyat melawannya hingga membunuh pemimpin lalim itu, maka itu
pertanda kiamat sudah dekat. Logikanya, bila dalam sebuah zaman muncul
perlawanan rakyat terhadap pemimpin, maka di zaman itu berarti terdapat
pemimpin yang dzalim nan lalim. Karena bila sebuah kepemimpinan itu baik dan
tidak ada kedzaliman, maka niscaya tidak mungkin akan muncul perlawanan rakyat.
Oleh sebab itu, pesan pokok yang hendak disampaikan oleh hadis ini adalah bahwa
bila terjadi kedzaliman pemimpin di mana-mana, maka itu berarti pertanda kiamat
sudah dekat.
Lalu
bagaiman dengan zaman kita saat ini, dimana sebagian besar pemimpin sedikit
sekali yang berbuat adil dan banyak sekali yang berbuat dzalim, serta
perlawanan rakayat begitu dahsyata hingga ada pemimpin yang dibunuh oleh
rakyatnya, apakah zaman kita sudah termasuk tanda-tanda kiamat ? Pertanyaan ini
memang tidak bisa kita jawab “ya” atau “tidak”. Karena yang maha mengetahui
kapan kiamat itu terjadi adalah allah. Akan tetapi, bila kita melihat kondisi
kepemimpinan kita di zaman ini akan nampak sekali tanda-tanda kiamat sebagaiman
telah diseritakan rasul dalam hadis di atas.
23
Menjaga
amanat adalah bagian dari iman
حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ حَدَّثَنَا
الْمُغِيرَةُ بْنُ زِيَادٍ الثَّقَفِيُّ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ إِنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا
أَمَانَةَ لَهُ وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ
Rasulullah
saw bersabda: tidak beriman orang yang tidak bisa menjaga amanah yang
dibebankan padanya. Dan tidak beragama orang yang tidak bisa menepati janjinya.
(hr. Ahmad bin hambal)
Penjelasan:
Mungkin kita
hanya mengenal slogan-slgan keagamaan semisal: kebersihan adalah bagian dari
iman, malu adalah bagian dari iman, dsb. Tapi kita jarang –atau mungkin tidak
pernah- mengatakan bahwa menjaga amanat adalah bagian dari iman. Padahal, rasul
juga pernah bersabda bahwa menjaga amanat adalah bagian dari dasar-dasar
keimanan dan keagamaan. Dan barang siapa yang tidak menjaga amanat maka rasul
menyebut dia tidak sempurna iman dan agamanya.
Andai kita
mengkampanyekan hadis ini ke masyarakat luas, apalagi di saat-saat kampanye
presiden, bupati, gubernur, dsb, maka kita setidaknya telah menekan munculnya
“potensi” penyelewengan amanat oleh pemimpin kita, meskipun itu sekecil semut.
Hal itu karena dalam tradisi kepemimpinan kita, upaya menjaga amanat itu sangat
kecil. Sumpah jabatan sebagai mekanisme penyerahan amanat ternyata tidak
disertai sebuah mekanisme kontrol yang ketat terhadap amanat itu. Oleh sebab
itu, kampanye keagamaan untuk mendorong seseorang (pemimpin) agar senantiasa
menjaga amanat (kepemimpinanya) adalah penting segera kita galakkan.
24
Pemimpin
dianjurkan memberi suri tauladan yang baik (nasehat)
kepada
rakyatnya
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا أَبُو
مُسْهِرٍ حَدَّثَنِي عَبَّادُ بْنُ عَبَّادٍ الْخَوَّاصُ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي
عَمْرٍو السَّيْبَانِيِّ عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبْدِ اللَّهِ السَّيْبَانِيِّ عَنْ
عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَقُصُّ إِلَّا أَمِيرٌ أَوْ مَأْمُورٌ
أَوْ مُخْتَالٌ
Rasulullah
saw bersabda: tidak ada yang berhak untuk memberikan ceramah (nasehat/cerita
hikmah) kecuali seorang pemimpin, atau orang yang mendapatkan izin untuk itu
(ma’mur), atau memang orang yang sombong dan haus kedudukan. (hr. Muslim)
Penjelasan:
Hadis ini
bukan berarti hanya pemimpin yang berhak memberi nasehat kepada umat, melainkan
hadis ini mengandung pesan bahwa seorang pemimpin seharusnya bisa memberikan
suri tauladan yang baik kepada umatnya. Karena yang dimaksud ceramah disini
bukan dalam arti ceramah lantas memberi wejangan kepada umat, akan tetapi yang
dimaksud ceramah itu adalah sebuah sikap yang perlu dicontohkan kepada umatnya.
Seorang penceramah yang baik dan betul-betul penceramah tentunya bukan dari
orang sembarangan, melainkan dari orang-orang terpilih yang baik akhlaqnya.
Begitu pula dalam hadis ini, pemimpin yang berhak memberikan ceramah itu
pemimpin yang memiliki akhlaq terpuji sehingga akhlaqnya bisa menjadi tauladan
bagi rakyatnya.
Jadi
kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang penceramah, maka itu juga
harus dipenuhi oleh seorang pemimpin. Karena pada zaman rasul dulu, seorang
penceramah atau yang memberikan hikmah kepada umat adalah para penceramah ini,
sehingga rasul mengharuskan seorang pemimpin harus memiliki akhlaq yang sama
dengan penceramah ini.
25
Jabtan
Pemimpin itu dekat dengan neraka
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ خَلَّادٍ الْبَاهِلِيُّ
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ حَدَّثَنَا مُجَالِدٌ عَنْ عَامِرٍ
عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ حَاكِمٍ يَحْكُمُ بَيْنَ النَّاسِ إِلَّا جَاءَ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَلَكٌ آخِذٌ بِقَفَاهُ ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ إِلَى
السَّمَاءِ فَإِنْ قَالَ أَلْقِهِ أَلْقَاهُ فِي مَهْوَاةٍ أَرْبَعِينَ خَرِيفًا
Rasulullah
saw bersabda: setiap pemimpin yang memimpin rakyatnya, pada hari kiamat
pasti akan didatangkan. Kemudian malaikat mencengkeram tengkuknya dan
mengangkatnya sampai ke langit. Kalau ada perintah dari allah: lemparkanlah,
maka malaikat akan melemparkannya ke bawah yang jauhnya adalah empat puluh
tahun perjalanan. (hr. Ibnu majah)
Penjelasan:
Hadis ini
menggambarkan betapa jabatan sebagai pemimpin itu berat dan seolah bediri
diantara ranjau-ranjau neraka yang sewaktu-waktu bila orang itu salah menginjaknya
maka ranjau itu akan akan meledak dan membunuh sang pemimpin itu. Mungkin kita
memandang bahwa menjadi pemimpin (presiden) itu serba enak; fasilitas dijamin,
harta melimpah dan kehormatan terpandang, sehingga semua orang bercita-cita
ingin menjadi presiden, padahal bila semua orang tahu bahwa pemimpin (presiden)
itu berjalan di atas jembatan yang dibawahnya berkobar api neraka, maka niscaya
semua orang mungkin tidak akan berharap akan menjadi presiden (pemimpin).
Posisi pemimpin yang cukup rentan ini dikarenakan beratnya tanggung jawab yang
harus dipikul seorang pemimpin. Sekali ia lengah dan mengabaikan tanggung
jawabnya, maka ia bisa tergelincir dan jatuh ke jurang neraka selama-lamanya.
Oleh sebab itu, tak heran bila rasul mengambarkan poisi pemimpin itu
sebagaimana digambarkan oleh hadis di atas.
26
Pemimpin
harus membimbing rakyatnya
و حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ وَإِسْحَقُ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا و
قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ
قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ زِيَادٍ دَخَلَ
عَلَى مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ إِنِّي
مُحَدِّثُكَ بِحَدِيثٍ لَوْلَا أَنِّي فِي الْمَوْتِ لَمْ أُحَدِّثْكَ بِهِ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ
أَمِيرٍ يَلِي أَمْرَ الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ لَا يَجْهَدُ لَهُمْ وَيَنْصَحُ إِلَّا
لَمْ يَدْخُلْ مَعَهُمْ الْجَنَّةَ و حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ
الْعَمِّيُّ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِسْحَقَ أَخْبَرَنِي سَوَادَةُ بْنُ أَبِي
الْأَسْوَدِ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ مَرِضَ فَأَتَاهُ
عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ يَعُودُهُ نَحْوَ حَدِيثِ الْحَسَنِ عَنْ مَعْقِلٍ
Rasulullah
saw bersabda: setiap pemimpin yang menangani urusan kaum muslimin, tetapi tidak
berusaha semaksimal mungkin untuk mengurusi mereka dan memberikan arahan kepada
mereka, maka dia tidak akan bisa masuk surga bersama kaum muslimin itu. (hr.
Muslim)
Penjelasan:
Seorang
pemimpin tidak bisa sekedar berpikir dan bergulat dengan wacana sembari
memerintah bawahannya untuk mengerjakan perintahnya, melainkan pemimpin juga
dituntut untuk bekerja keras mengurus sendiri persoalan-persoalan rakyatnya.
Salah seorang khulafau rasyidin yaitu umar bin utsman pernah berkeliling
keseluruh negeri untuk mencari tahu adakah di antara rakyatnya masih kekurangan
pangan. Jika ada, maka khalifah umar tidak segan-segan untuk memberinya
uang (bekal) untuk menunjang kehidupan rakyatnya tadi. Bahkan khalifah abu bakar
harus turun tangan sendiri untuk memerangi orang-orang yang tidak mau membayar
zakat.
Semua
peristiwa yang dilakukan oleh dua sahabat nabi di atas adalah contoh betapa
islam sangat menekankan kepada pemimpin untuk selalu bekerja keras agar
rakyatnya benar-benar terjamin kesejahteraannya. Tidak bisa seorang pemimpin
hanya duduk dan berceramah memberi sambutan di mana-mana, tetapi semua
tugas-tugas kepemimpinannnya yang lebih kongkrit malah diserahkan kepada
bawahan-baahannya. Memang betul bahwa bawahan bertugas untuk membantu
meringankan beban atasannya, akan tetapi tidak serta-merta semua tugas harus
diserahkan kepada bawahan. Suatu pekerjaan yang memang menjadi tugas seseorang
dan dia mampu melakukannya, maka janganlah pekerjaan itu diserahkan
kepada orang lain.
27
Situasi
zaman pasca kepemimpinan rasul s.a.w
أَخْبَرَنَا صَالِحُ بْنُ سُهَيْلٍ مَوْلَى يَحْيَى بْنِ
أَبِي زَائِدَةَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ مُجَالِدٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ
مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ عَامٌ إِلَّا وَهُوَ
شَرٌّ مِنْ الَّذِي كَانَ قَبْلَهُ أَمَا إِنِّي لَسْتُ أَعْنِي عَامًا أَخْصَبَ
مِنْ عَامٍ وَلَا أَمِيرًا خَيْرًا مِنْ أَمِيرٍ وَلَكِنْ عُلَمَاؤُكُمْ
وَخِيَارُكُمْ وَفُقَهَاؤُكُمْ يَذْهَبُونَ ثُمَّ لَا تَجِدُونَ مِنْهُمْ خَلَفًا
وَيَجِيءُ قَوْمٌ يَقِيسُونَ الْأُمُورَ بِرَأْيِهِمْ
Abdullah
berkata: akan datang pada kalian satu tahun (masa) yang lebih buruk daripada
tahun (masa) sebelumnya. Akan tetapi yang aku maksud bukanlah sebuah tahun yang
lebih subur daripada tahun yang lain, ataupun seorang pemimpin yang lebih baik
daripada pemimpin lainnya. Akan tetapi di masa itu, telah hilang (wafat) para
ulama, orang-orang terpilih dan para ahli fiqh kalian. Dan kalian tidak
menemukan pengganti mereka. Sehingga datanglah sebuah kaum yang berdalil hanya
dengan menggunakan rasio mereka. (hr. Ad darimi)
Penjelasan:
Membaca
ramalan rasul di atas sungguh membuat kita cemas akan datangnya suatu zaman
yang oleh rasul dikatakan lebih buruk dari zaman-zaman sebelumnya. Namun yang
dimaksud lebih buruk di sini tentunya bukan dalam pengertian kuantitas.
Melainkan kualitas kehidupan yang tengah berlangsung pada sebuah zaman. Kalau
ukurannya adalah kuantitas, mungkin zaman kita bisa dibilang lebih bagus
karena, misalnya, kita saat ini bisa memproduksi sebuah barang dengan hanya
memakan waktu yang singkat namun menghasilkan barang yang cukup banyak. Akan
tetapi bila ukurannya adalah kualitas, maka zaman kita saat ini lebih rendah
dan lebih buruk dari zaman-zaman sebelumnya (zaman rasul). Lihatlah misalnya
kualitas arsitektur dan bangunan yang berkembang saat ini, kemudian bandingkan
dengan arsitektur dan bangunan pada tempo dulu, seperti tembok cina, borobudur,
dsb, tentu kualitasnya jauh sekali berbeda.
Mungkin di
zaman ini kita tidak bisa lagi menemukan orang yang mampu membangun semacam
borobudur dengan kualitas banunannya yang terjamin sebagaimana candi borobudur.
Begitu pula dengan kualitas kepemimpinan pada saat ini jauh lebih baik dari
kulaitas kepemimpinan pada masa-masa rasul dan sahabat. Meskipun pada masa sahabat
juga penuh diwarnai intrik politik yang mengakibatkan pertumpahan darah, akan
tetapi setidaknya sejarah telah mencatat bahwa dua sahabat periode pertama (abu
bakar dan umar) adalah potret zaman dimana kepemimpinan benar-benar dijalankan
atas dasar prinsip-prinsip keadilan. Meski saat ini kita
mengembar-gemborkan sistem demokrasi yang dianggap paling baik, namun ternyata
negara tempat kelahiran demokrasi juga tidak menerapkan nilai-nilai demokrasi
yang sebenarnya. Dan banyak sekali pihak yang mengatasnamakan demokrasi namun
menginjak-injak nilai-nilai demokrasi. Meskipun saat ini ada yang namanya
pemilu, namun semua sistem dan mekanisme demokrasi itu tidak menjamin
terwujudnya kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera. Kalau sudah demikian,
bisakah zaman kita ini disebut lebih baik dari zaman rasul.s.a.w ?
28
Kepemimpin
yang buruk
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا صَدَقَةُ
بْنُ مُوسَى عَنْ فَرْقَدٍ السَّبَخِيِّ عَنْ مُرَّةَ الطَّيِّبِ عَنْ أَبِي
بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ خَبٌّ وَلَا بَخِيلٌ وَلَا
مَنَّانٌ وَلَا سَيِّئُ الْمَلَكَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ
الْمَمْلُوكُ إِذَا أَطَاعَ اللَّهَ وَأَطَاعَ سَيِّدَهُ
Rasulullah
saw bersabda: tidak akan masuk surga orang yang suka menipu, orang yang bakhil,
orang yang suka mengungkit-ungkit kebaikan/pemberian, dan pemimpin yang buruk.
Orang yang pertama kali masuk surga adalah budak yang taat kepada allah dan
taat kepada majikannya.
Penjelasan:
Hadis ini
menjelaskan tentang sekelompok orang yang diharamkan oleh allah untuk masuk
sorga. Dan ternyata, di antara sekelompok orang tersebut terdapat kriteria
pemimpin yang buruk. Pada bagian awal buku ini, kita mungkin sudah mendapati
banyak hadis yang berbicara tentang hukuman neraka bagi pemimpin yang dzalim.
Namun kini kita kembali menemukan satu hadis lagi yang kembali berbicara
tentang ancaman bagi pemimpin yang berlaku buruk. Dan pemimpin yang buruk ini
disamakan dengan mereka yang suka menipu, pelit, dan suka mengungkit
kebaikannya/pemberiannya sendiri.
akan tetapi
apa sih bedanya pemimpin yang dzalim dan pemimpin yang buruk ? Pada dasarnya
tidak ada perbedaan subtansial antara keduanya, namun karena rasul benar-benar
menekankan sebuah kepemimpinan yang baik, maka rasul juga mengancam
kepemimpinan yang buruk. Yang jelas, sebuah kepemimpinan bila tidak menjamin
dan melindungi rakyatnya serta tidak menjadikan rakyatnya sejahtera, maka
kepemimpinan itu bisa dikatakan buruk, dzalim, kejam, dsb. Sama seperti kita
yang pada zaman ini mengenal berbagai macam istilah yang terkait dengan
perlakuan buruk penguasa, seperti, otoriter, totaliter, represif, korup, tidak
demokratis, dsb yang kesemua itu mencerminkan sebuah kepemimpinan yang
berbahaya bagi rakyat. Jadi, kepemimpinan yang buruk menurut rasul dalam hadis
ini adalah sebuah kepemimpinan yang justru menjauhkan rakyat dari kehidupan
yang sejahtera.
29
Balasan bagi
pemimpin yang otoriter
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ عَلِيِّ بْنِ مُبَارَكٍ عَنْ يَحْيَى
بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ عَامِرٍ الْعُقَيْلِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنِ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي
لَأَعْلَمُ أَوَّلَ ثَلَاثَةٍ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ الشَّهِيدُ وَعَبْدٌ أَدَّى
حَقَّ اللَّهِ وَحَقَّ مَوَالِيهِ وَفَقِيرٌ عَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ وَإِنِّي
لَأَعْلَمُ أَوَّلَ ثَلَاثَةٍ يَدْخُلُونَ النَّارَ سُلْطَانٌ مُتَسَلِّطٌ وَذُو
ثَرْوَةٍ مِنْ مَالٍ لَا يُؤَدِّي حَقَّهُ وَفَقِيرٌ فَخُورٌ
Rasulullah
saw bersabda: sesungguhnya aku orang yang paling tahu tentang tiga golongan
yang pertama kali masuk surga: orang yang mati syahid, seorang hamba yang
menunaikan hak allah dan hak majikannya, dan orang fakir yang menjauhkan diri
dari hal-hal yang tidak baik. Aku juga orang yang paling tahu tentang tiga golongan
yang pertama kali masuk neraka: seorang pemimpin yang otoriter
(sewenang-wenang), seorang kaya yang tidak menunaikan kewajibannya, dan seorang
fakir yang sombong. (hr. Ahmad)
Penjelasan:
Bila hadis
sebelumnya berbicara soal kepemimpinan yang buruk, dalam hadis ini kita kembali
menyoroti model kepemimpinan namun lebih spesifik, yaitu kepemimpinan otoriter.
Kepemimpinan otoriter adalah sebuah kepemimpinan yang dijalankan atas dasar
kesewenag-wenangan. Semua keputusan dan kebijakan pemimpin harus ditaati oleh
semua rakyat tanpa memberi ruang terjadinya “negoisasi” dengan rakyat. Bila
pemimpin berkata merah, maka rakyat harus mengikuti merah. Demikianlah
ciri-ciri sederhana sebuah kepemimpinan otoriter.
Lalu
bagaimana islam menyikapi (ke)pemimpin(an) yang otoriter ini? Islam jelas tidak
pernah memberikan tempat, walau sejengkal, kepada pemimpin yang otoriter ini.
Sebagaimana pemimpin yang dzalim, pemimpin otoriter juga diancam dengan hukuman
neraka. Dan sebaliknya, islam justru sangat menekankan pentingnya demokrasi
(syura) dan partisipasi rakyat dalam sebuah sistem kepemimpinan. Rasul s.a.w
telah memberikan contoh bagaimana syura menjadi prinsip pokok dalam menjalankan
roda kepemimpinan. Dalam syura (demokrasi) semua rakyat, tanpa membedakan latar
agama, etnis, arna kulit, bahasa, jenis kelamin, berhak untuk terlibat
dalam merumuskan arah dan haluan sebuah kepemimpinan. Ketika rasul menjadi
pemimpin politik di madinah, rasul tidak segan-segan memberikan hak yang setara
anatara kaum muhajirin dan anshar. Bahkan dalam medan peperangan, siti ‘aisyah
juga diberi hak untuk mengukiti bahkan memimpin sebuah peperangan dengan kaum
kafir. Dengan demikian, cukup jelas sekali bahwa islam adalah agama yang
“mengharamkan” otoritariansme dan “mewajibkan” demokrasi (syura).
30
Melawan
pemimpin dzalim adalah jihad akbar
حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ دِينَارٍ الْكُوفِيُّ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُصْعَبٍ أَبُو يَزِيدَ حَدَّثَنَا
إِسْرَائِيلُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُحَادَةَ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ
مِنْ أَعْظَمِ الْجِهَادِ كَلِمَةَ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ قَالَ أَبُو
عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي أُمَامَةَ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
Rasulullah
saw bersabda: sesungguhnya jihad yang paling besar adalah mengungkapkan kalimat
kebenaran di hadapan sultan yang zalim. (hr. Turmudzi)
Selama ini,
banyak umat islam memahami konsep jihad hanya sebatas turun ke medan perang.
Pemaknaan semacam ini cukup berbahaya karena hanya mengambil makna yang
tekstual seraya menutupi makna lain yang lebih substansial.
Bila ada dua
orang khalifah dibaiat maka bunuhlah salah satunya
Hadis ke 31
Keputusan
pemimpin harus aspiratif
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ الْجُعْفِيُّ
عَنْ زَائِدَةَ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ حَنَشٍ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ
لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَقَاضَى إِلَيْكَ
رَجُلَانِ فَلَا تَقْضِ لِلْأَوَّلِ حَتَّى تَسْمَعَ كَلَامَ الْآخَرِ فَسَوْفَ
تَدْرِي كَيْفَ تَقْضِي قَالَ عَلِيٌّ فَمَا زِلْتُ قَاضِيًا بَعْدُ قَالَ أَبُو
عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
Apabila ada
dua orang laki-laki yang meminta keputusan kepadamu maka janganlah engkau
memberikan keputusan kepada laki-laki yang pertama sampai engkau mendengarkan
pernyataan dari laki-laki yang kedua. Maka engkau akan tahu bagaimana enkau
memberikan keputusan (hr. Turmudzi)
Hadis ini
mengajarkan kita sebuah kepemimpinan yang mau mendengar semua suara rakyat.
Tidak peduli rakyat itu pengemis, pemulung, orang penyandang cacat, perempuan,
atau anak kecil sekalipun, maka semua itu harus didengar suaranya oleh
pemimpin. Artinya, kepemimpinan itu, atau lebih tepatnya seorang pemimpin itu
harus benar-benar aspiratif. Karena bila kita dalam mengambil keputusan atau
kebijakan hanya berdasarkan suara kelompok tertentu, lebih-lebih suara kelompok
yang dekat dengan lingkungan kekuasaan (pemimpin) maka keputusan itu pasti akan
jauh dari rasa keadilan. Alasannya adalah karena suara satu kelompok itu belum
tentu mewakili suara kelompok yang lain. Sehingga bila ingin mencapai rasa
keadilan bagi eluruh rakyat, maka harus mendengar suara semua rakyat.
Hadis ini
penting terutama dalam konteks sistem demokrasi yang meniscayakan keterwakilan
seperti di indoensia misalkan. Dimana dpr (dewan perwakilan rakyat) memiliki wewenang
untuk mewakili suara rakyat. Bila dpr ini tidak menjaring aspirasi dari semua
lapisan dan status masyarakat, maka jangan harap kebijakan-kebijakan yang
dihasilakannya akan memenuhi rasa keadilan rakyat indonesia. Oleh sebab itu,
agar rasa keadilan dalam sebuah masyarakat itu benar-bnar terpenuhi, maka islam
mewajibkan seorang pemimpin untuk tidak mengambil keputusan hanya dari satu
orang (satu kelompok suara), tetapi lebih dari itu.
Hadis ke 32
Pemimpin
dituntut berijtihad
حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ
يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِي
سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ
أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ قَالَ وَفِي الْبَاب
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ وَعُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ
أَبِي هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ لَا نَعْرِفُهُ
مِنْ حَدِيثِ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيِّ
إِلَّا مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ سُفْيَانَ
الثَّوْرِيِّ
Apabila
seorang hakim melakukan ijtihad dan kemudian benar maka dia mendapat dua
pahala, dan apabila dia berijtihad ternyata salah maka dia hanya mendapat
satu pahala
Hadis ini
memang bercerita tentang kewenagan hakim. Namun sejatinya, hadis ini bukan saja
ditujukan kepada seorang hakim, melainkan lebih dari itu juga untuk seorang
pemimpin. Pada masa rasul s.a.w. Jabatan hakim dan pemimpin politik tidak
dibedakan. Nabi muhammad sendiri adalah seorang pemimpin politik tapi sekaligus
juga seorang hakim. Demikian juga dengan para khalifah pengganti beliau
sesudahnya (khulafa urrasyidin) yang menjabat pemimpin sekaligus hakim
dan bahkan panglima perang. Oleh sebab itu, bila merujuk pada konteks di atas,
maka hadis ini tentunya bukan hanya relevan untuk para hakim tetapi juga
dianjurkan untuk para pemimpin (politik).
Apabila
dikaitkan dengan konteks pemimpin politik, maka yang dimaksud ijtihad di sini
adalah bisa berupa sebuah upaya politik seorang pemimpin dalam mengeluarkan
keputusan yang berdasarkan konstitusi dan nilai-nilai kemanusiaan serta
kesejahteraan rakyat. Artinya, seorang pemimpin dituntut bekerja keras
semaksimal mungkin, tentunya berdasarkan ikhtiar politiknya, untuk berupaya
menjadikan rakyatnya terangkat dari garis kemiskinan serta memenuhi standar
kesejahteraan. Bila ikhtiar politik pemimpin ini benar dan berhasil
mensejahteraakan rakyatnya, maka dia akan mendapat dua pahala, akan tetapi bila
ikhtiar dia salah dan rakyat tetap berada di bawah garis kemiskinan, maka dia
akan mendapat satu pahala. Tentunya ikhtiar ini harus benar-benar dilandasi
oleh ketulusan dan niat baik untuk mengabdi kepada rakyat, bukan semata-mata
mencari keuntungan politik tertentu. Bila yang terakhir ini yang dilakukan,
maka bukan hanya satu pahala yang didapat, melainkan justru akan mendapat
celaka dan siksa dari allah swt.
Hadis ke 33
Pemimpin
harus punya pedoman kepemimpinan
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ شُعْبَةَ
عَنْ أَبِي عَوْنٍ الثَّقَفِيِّ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ رِجَالٍ مِنْ
أَصْحَابِ مُعَاذٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ
مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي
كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي
سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ
رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ عَنْ أَبِي عَوْنٍ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو ابْنِ أَخٍ
لِلْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصٍ عَنْ مُعَاذٍ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ
لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَلَيْسَ إِسْنَادُهُ عِنْدِي
بِمُتَّصِلٍ وَأَبُو عَوْنٍ الثَّقَفِيُّ اسْمُهُ مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ
Ketika rasul
mengutus mu’adz ke yaman, beliau bertanya: wahai mu’adz, bagaimana caramu
memberikan putusan/hukum? Dia menjawab; aku memutuskan/menghukumi berdasarkan
ketentuan dari al-qur’an. Lalu rasul bertanya lagi: bagaimana kalau tidak ada
dalam al-quran? Mu’adz menjawab, maka aku memutuskan berdasarkan sunnah rasul
s.a.w. Rasul bertanya lagi: bagaimana bila tidak kau temukan dalam sunnah rasul
? Mu’adz menjawab: maka aku berijtihad berdasarkan pendapatku sendiri. Rasul
bersabda: segala puji bagi allah yang telah memberikan petunjuk/taufik kepada
duta rasul saw
Hadis ini
turun ketika salah seorang sahabat rasul s.a.w, mu’adz bin jabal, hendak diutus
rasul untuk menjadi gubernur di yaman. Namun sebelum mu’adz berangkat ke yaman,
rasul terlebih dahulu memanggilnya untuk di uji (fit and propertest)
sejauh mana dia bisa diandalkan menjadi gebernur. Akan tetapi materi test yang
disampaikan rasul tidak muluk-muluk, beliau hanya menanyakan tentang pedoman
dia (mu’adz) dalam menjalankan roda kepemimpinannya. Dalam pengakuan mu’adz,
dia akan menjalankan roda kepemimpinanya sebagai gubernur yaman dengan berlandaskan
pada al-qur’an, sunnah, dan ijtihad (berpikir dan bekerja keras). Untuk jawaban
yang pertama dan kedua, rasul mungkin sudah bisa menebak jawaban yang akan
diberikan mu’adz, akan tetapi untuk pertanyaan ketiga itulah rasul mencoba
menggali sejauh mana upaya mu’adz bila sebuah keputusan tidak ada dasarnya
dalam al-qur’an dan sunnah. Dan ternyata nabi cukup bangga kepada mu’adz karena
dia bisa menjawab pertanyaan ketiga itu dengan cukup memuaskan.
Ini artinya
bahwa hadis di atas telah memberikan isyarat kepada kita bahwa dalam
menjalankan roda kepemimpinan kita tidak bisa hanya mengandalkan pedoman
al-qur’an dan sunnah, akan tetapi kita juga harus pandai-pandai mencari
alternatif pedoman yang lain yang bisa mengilhami kita dalam mengeluarkan
keputusan. Bukannya kita hendak mengatakan bahwa al-qur’an dan sunnah tidak
sempurna, akan tetapi untuk merespon semua peristiwa yang terjadi di dunia ini
kita dituntut untuk mencari dan mencari segala macam alternatif solusinya.
Apabila kita tidak menemukan dasarnya di al-qur’an dan sunnah, mungkin kita
bisa mencarinya di nilai-nilai kearifan lokal yang telah tumbuh dan berkembang
di dalam sebuah masyarakat. Karena itulah kita juga mengenal apa yang oleh para
ahli ushul fiqh dikenal dengan ‘urf atau kaidah fiqh yang berbunyi al-‘adah
muhakkamah. Bahkan rasul pun pernah bersabda: bila engkau menemukan
kebijakan maka ambillah meski ia keluar dari mulut anjing.
Hadis ke 34
Good and clean governance dalam islam
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْقُدُّوسِ بْنُ مُحَمَّدٍ أَبُو
بَكْرٍ الْعَطَّارُ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَاصِمٍ حَدَّثَنَا عِمْرَانُ
الْقَطَّانُ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ الشَّيْبَانِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي
أَوْفَى قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ
اللَّهَ مَعَ الْقَاضِي مَا لَمْ يَجُرْ فَإِذَا جَارَ تَخَلَّى عَنْهُ وَلَزِمَهُ
الشَّيْطَانُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ
إِلَّا مِنْ حَدِيثِ عِمْرَانَ الْقَطَّانِ
Rasul
bersabda sesungguhnya allah senantiasa bersama dengan hakim/qodi sepanjang dia
tidak menyeleweng. Kalau dia sudah menyeleweng maka allah akan menjauh darinya,
dan syetan menjadi temannya.
Selain islam
mengajarkan pentingnya prinsip keadilan dalam sebuah kepemimpinan, islam
juga menekankan pentingnya kepemimpinan yang bersih. Secara substansial,
keduanya memang tidak ada perbedaan yang berarti, bahkan bila seorang pemimpin
sudah berbuat adil, maka bisa dikatakan kepemimpinannya sudah bersih. Karena
keadilan merupakan forndasi dan perilaku bersih adalah dindingnya. Jadi meski
fondasinya kuat namun bila tidak ditopang oleh dinding yang juga kuat, maka
bangunagan itu mudah roboh oleh “goyangan-goyangan” dari pihak luar. Oleh sebab
itu, yang satu tidak bisa mengabaikan yang lain, bahkan harus saling menopang
antara keduanya.
lantas
bagaimana yang dimaksud dengan kepemimpinan yang bersih di dalam hadis ini?
Yang dimaksud kepemimpinan yang besih adalah sebuah sistem kepemimpinan yang
tidak “dinodai” oleh perilaku-perilaku menyeleweng dari pemimpinanya. Wujud
konkrit dari perilaku menyeleweng ini adalah seperti korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Selain itu, pemimpin juga dituntut harus menjaga “kebersihan”
moralnya. Sehingga yang dimaksud bersih kemudian bukan saja menyangkut perilaku
sosial melainkan juga perilaku individual.
sedangkan
dalam konteks kepemimpinan politik kontemporer, kita mengenal istilah yang
disebut “clean and good governance”. Istilah ini sebenarnya mengandung
konsep dasar bahwa sebuah kepemimpinan itu harus baik dan bersih, terutama
bersih dari korupsi dan modus-modus penyelewengan yang lain. Sehingga untuk
mencapai sebuah kepemimpinan seperti itu diperlukan kesetaraan peran antara
negara (pemerintah), pasar dan rakyat yang salah satu di antara ketiganya tidak
boleh ada yang mendominasi. Karena bila peran negara terlalu kuat atau dominan
maka akan menimbulakn hegemoni dan cenderung totaliter, sedangkan bila peran
pasar (swasta) yang terlalu dominan, maka semua kehidupan rakyat akan diatur
dengan modal atau pemilki modal. Bila seseorang tidak punya modal, maka dia
tidak punya posisi tawar yang kuat. Sementara bila kedua instutusi di atas
terlalu lemah, dan rakyat begitu kuatnya, maka chaos atau kekacauan yang akan
menghantui sebuah negara. Oleh sebab itu, kembali pada hadis di atas, bahwa
tindakatan kotor seperti penyelewengan kekuasaan adalah tindakan yang sangat
dikutuk dalam islam. Dan sebaliknya, pemerintahan yang baik dan bersih justru
sangat ditekankan dan dijamin pasti akan dilindungi oleh allah.swt.
Hadis ke 35
Pemimpin
harus peka terhadap
Kebutuhan
rakyat
قَال عَمْرُو بْنُ مُرَّةَ لِمُعَاوِيَةَ إِنِّي
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ
إِمَامٍ يُغْلِقُ بَابَهُ دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ
إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ خَلَّتِهِ وَحَاجَتِهِ
وَمَسْكَنَتِهِ
Setiap
pemimpin yang menutup pintunya terhadap orang yang memiliki hajat, pengaduan,
dan kemiskinan maka allah akan menutup pintu langit terhadap segala pengaduan,
hajat dan kemiskinannya.
Kepemimpinan
bukan saja menuntut kecerdasan otak dan kekuatan otot, melainkan juga harus
ditunjang oleh rasa sensifitas yang tinggi terhadap persoalan-persoalan
menyangkut rakyatnya. Sehingga apapun persoalan yang menimpa rakyatnya, maka
pemimpin harus peka dan segera mencarikan solusinya. Di sinilah sebenarnya
tugas pokok seorang pemimpin; yaitu mendengar keluh kesah rakyat untuk kemudian
mencarikan jalan keluarnya.
Karena
itulah, islam (melalui hadis di atas) memerintahkan seorang pemimpin untuk
membuka pintu terhadap segala keluh kesah rakyatnya. Tentunya, yang dimaksud
pintu disini bukan semata-mata berarti pintu rumah ataupun pintu istana,
melainkan lebih dari itu yang sangat ditekankan adalah pintu hati atau nurani
seorang pemimpin. Karena meski seorang pemimpin tinggal di istana megah dan
berpagarkan besi dan baja, bila pintu hatinya terbuka untuk kepentingan
rakayat, maka allah juga akan membukkaan “pintu hati-nya” untuk mendengar keluh
kesah sang pemimpin itu.
Hadis ke 36
Pemimpin
dilarang mengambil keputusan dalam keadaan emosional
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ كَتَبَ
أَبِي إِلَى عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ وَهُوَ قَاضٍ أَنْ لَا تَحْكُمْ
بَيْنَ اثْنَيْنِ وَأَنْتَ غَضْبَانُ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَحْكُمْ الْحَاكِمُ بَيْنَ اثْنَيْنِ
وَهُوَ غَضْبَانُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَأَبُو
بَكْرَةَ اسْمُهُ نُفَيْعٌ
Janganlah
seorang pemimpin (hakim) itu menghukumi antara dua orang yang berseteru dalam
keadaan marah (emosional)
Keputusan
seorang presiden adalah dasar dari kebijakan sebuah negara. Begitu juga
keputusan seorang pimpinan dalam sebuah organisasi adalah acuan dalam
menjalankan roda organisasi. Oleh sebab itu, dalam mengambil keputusan atau
mengeluarkan kebijakan, seorang pemimpin sebaiknya tidak sedang dalam keadaan
“panas”, marah, atau emosional. Hal ini bukan saja ditentang oleh hadis nabi
s.a.w melainkan juga dikutuk oleh teori manajemen organisasi. Dalam teori
manajemen organisasi dijelaskan bahwa seseorang tidak boleh mengeluarkan atau
membuat keputusan dalam keadaan marah atau emosi yang tidak stabil. Bila
dipaksakan, maka keputusan itu dihasilakan dari sebuah proses yang kurang
matang dan terburu-buru sehingga dampaknya akan sangat merugikan terhadap
pelaksana keputusan tersebut.
Meski di
dalam hadis ini yang disebutkan adalah hakim, namun secara substansial kita
sepakat bahwa dalam keadaan emosi labil, siapapun orangnya, baik hakim,
pemimpin, maupun orang awam sekalipun, sebaiknya tidak perlu mengambil
keputusan. Banyangkan bila kita sedang bertengkar dengan istri di rumah
misalkan, tetapi setelah di tiba di kantor kita disuguhi sebuah persoalan yang
harus diputuskan, maka bisa jadi sisa-sisa emosional kita di rumah, secara
sadar atau tidak, akan ikut terbawa hingga ke kantor dan mempengaruhi kita
dalam memutuskan sebuah perkara. Oleh sebab itu, bila kita hendak mengambil
keputusan maka terlebih dahulu kita harus mendinginkan suasana dan menengkan
pikiran sehingga semua pertimbangan bisa kita akomodir secara seimbang dan matang.
Hadis ke 37
Hukuman bagi
pemimpin yang suka money politic
Rasul
s.a.w melaknat orang yang menyuap dan disuap
Hadis ini
sungguh sangat relevan untuk konteks indoensia saat ini, di mana dalam setiap
unsur birokrasi kita hampir dipastikan tidak bisa lepas dari yang namanya
“suap”. Mulai dari ngurus ktp di tingkat rt, hingga ngurus tender proyek
infrastruktur di tingkat presiden, mulai dari pemilihan ketua rt hinhha
pemilihan presiden. Semuanya tidak steril dari praktik suap-menyuap. Entah dari
mana asal muasalnya, yang jelas praktik suap ini sudah diperingatkan oleh
rasul. Itu artinya, sejak kepemimpinan rasul s.a.w, pratik suap ini sudah
terjadi, dan rasul turun untuk memerangi pratik kotor ini.
Bila kita
memaknai ancaman “laknat” bagi penyuap dan yang disuap sebagaiman hadis di
atas, maka sebenarnya ancaman itu menunjukkan sebuah ancaman yang cukup
berat. Karena bahasa laknat biasanya bukan hanya berarti hukuman tuhan di
akhirat, melainkan juga terjadi di dunia. Kita lihat misalkan dalam kasus kaum
sodom yang dilaknat tuhan dengan berbagai penyakit yang menyakitkan dan
mematikan, demikian pula setelah di akhirat nanti mereka juga akan kembali
dilaknat dengan lebih kejam. Oleh sebab itu, allah tidak akan bermain-main
dengan praktik kotor yang menjijikkan ini.
Namun
anehnya, banyak di antara orang yang tidak sadar kalau dirinya sudah disuap.
Fenomena ini banyak kita temui ketika menjelang pemilu, misalkan seorang
kiai/ulama pemimpin pesantren yang diberi (biasanya pakai bahasa disumbang)
sejumlah dana oleh partai politik tertentu agar pesantrennya mau mendukung
parpol yang bersangkutan. Sang kia sering tidak sadar (atau berpura-pura tidak
sadar) bahwa dana sumbangan itu bisa dikategorikan, yang dalam bahasa
politiknya, sebagai money politic. Memang praktik “sumbangan politik”
ini tidak terlalu kentara sebagai suap, namun bila sebuah sumbangan itu
dilandasi oleh kepentingan tetentu dan tuntutan tertentu, maka ia layak disebut
suap. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana bila sumbangan dana itu tidak disertai
tuntutan ? Memang dalam setiap sumbangan, terutama menjelang pemilu,
kepentingan dan tuntutannya tidak mungkin dikatakan secara harfiyah atau
gamblang. Bahkan bisa jadi seorang politisi pemberi sumbangan itu tidak
langsung mneyebutkan kepentingannya dalam menyumbang. Akan tetapi, bila
sumbangan itu turun sementara situasi saat itu adalah pemilu, maka sudah bisa
dipastikan bahwa sumbangan itu adalah money politic. Oleh sebab itu,
untuk menjaga kesyubhatan sebuah sumbangan, sebaiknya kita perlu melacak
dulu asbabul wurudnya.
Hadis ke 38
Masa
kepemimpinan maksimal dua periode
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
الْمُخَرَّمِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا
عِمْرَانُ الْقَطَّانُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَخْلَفَ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ عَلَى الْمَدِينَةِ
مَرَّتَيْنِ
Rasul s.a.w
menunjuk ibnu maktum sebagai penggantinya di kota madinah sebanyak dua kali.
(hr abu dawud)
Islam memang
benar-benar telah menebarakan benih-benih demokrasi. Betapa tidak, jauh sebelum
istilah demokrasi itu sendiri muncul, yaitu pada masa rasul s.a.w, islam sudah
membatasi masa kepemimpinan seseorang. Dan persis dalam konsep demokrasi
modern, masa kepemimpinan dalam islam juga dibatasi selama dua periode. Namun
terlepasa konsep itu bersumber dari islam atau demokrasi modern, namun yang
perlu kita gali adalah pesan moral dari hadis di atas. Pesan moral dari
hadis ini adalah bahwa bila kekuasaan itu terlalu lama dipegang oleh seseorang
maka akan berpotensi untuk menimbulkan penyalahgunaan. Sebagaimana slogan dalam
politik modern yang berbunyi; “power absoluty tends to corrup absoluty”,
kekuasaan mutlak berpotensi melahirkan penyalahgunaan mutlak. Karena bila
seorang pemimpin terlalu lama memimpin, seperti soeharto selama 32 tahun, maka
akibatnya bisa kita lihat sendiri; kongkalikong, nepotisme, semua kerabat
dekatnya dijadikan menteri, korupsi, dan bahkan bisa menjadi “tuhan” yang mampu
memaksa rakyatnya untuk menuruti perintahnya. Padahal tuhan sendiri tidak
pernah memaksa. Oleh sebab itu, dalam setiap jenjang kepemimpinan, sebaiknya,
bahkan mungkin seharusnya, perlu dibatasi masa kepemimpinannya. Tidak
adanya batasan waktu dalam sebuah sistem kepemimpinan hanya akan menimbulkan
kekuasaan yang menyerupai tuhan selaku maha tak terbatas.
Hadis ke 39
Wajib
berkata benar kepada pemimpin
Meski terasa
pahit
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ
مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
أُنَاسٌ لِابْنِ عُمَرَ إِنَّا نَدْخُلُ عَلَى سُلْطَانِنَا فَنَقُولُ لَهُمْ
خِلَافَ مَا نَتَكَلَّمُ إِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِهِمْ قَالَ كُنَّا نَعُدُّهَا
نِفَاقًا
Ada
serombongan orang yang berkata kepada ibnu umar; kalau kami bertemu dengan para
pemimpin kami maka kami pasti mengatakan sesuatu yang sama sekali berbeda
dengan apa yang kami katakan bila tidak bertemu dengan mereka (pemimpin). Ibnu
umar berkata: hal itu kami anggap sebagai sebuah sikap munafik. (hr. Bukhori)
Ada satu
tradisi buruk yang sering kita lakukan ketika kita menghadap pimpinan, yaitu,
selalu mengatakan yang baik-baik, yang senang-senang, dan yang sukses-sukses.
Tradisi ini bukan saja dilakukan oleh para menteri ketika menghadap presiden,
melainkan tidak jarang juga dilakukan oleh rakyat biasa. Jelas, kalu menteri
melakukan tradisi buruk itu dengan tujuan menjilat dan mengharap pujian dari
sang pemimpin (presiden). Tapi yang tidak bisa kita fahami ternyata tidak
sedikit rakyat biasa juga melakukan praktik buruk tersebut. Memang, bila rakyat
biasa tidak separah sebagaiman dilakukan menteri, akan tetapi sebuah sikap
berdiam diri ketika berhadapan dengan pemimpin adalah sebuah sikap yang oleh
hadis di atas bisa dikategorikan sebagai “munafik”. Padahal, bila kita bertemu
pemimpin kita, misalkan kita mendapat kesempatan bertemu langsung dengan
presiden kita, maka harus kita manfaatkan waktu pertemuan itu untuk mnegatakan
yang sebenarnya tentang situasi atau kehidupan rakyat yang dipimpinnya. Di
hadapan pemimpin itulah justru sebuah kesempatan untuk mengatakan bahwa,
misalnya, rakyat sedang kekuranagn pangan, rakyat butuh pendidikan gratis,
rakyat butuh harga murah, dsb. Bila pemimpin yang bersangkutan marah dan
mengancaman sikap tegas kita, maka kita jangan sekali-kali mundur, karena itu
adalah kenyataan yang sebenarnya. Dan membohongi kenyataan adalah sama dosanya
dengan berbuat munafik. Oleh sebab itu, hadis ini sangat relevan dengan situasi
indoensia saat ini yang banyak diwarnai oleh sikap kepura-puraan dalam
berperilaku dan berkomunikasi dengan pimpinan.
.
Hadis ke 40
Sikap dengki
pemimpin sangat membahayakan
Muadz
berkata: rasul s.a.w mengutusku pergi ke yaman. Ketika aku berangkat kemudian
rasul menyuruh orang untuk memanggilku pulang kembali. Kemudian beliau berkata:
tahukah engkau kenapa aku memanggilmu kembali ? Yaitu agar engkau tidak
terjerumus pada sesuatu yang tidak aku perbolehkan, yakni sifat dengki, karena
siapa yang dengki, maka kedengkiannya itu akan datang kepadanya hari kiamat.
Dengan maksud itulah aku memanggilmu, ingat itu…! Sekarang kembalilah kamu ke
wilayah kekuasaanmu.
Hadis ini
turun ketika rasul s.a.w telah mengutus mu’adz bin jabal untuk menjadi gubernur
di negeri yaman. Sebagaimana diceritakan dalam hadis di atas, bahwa kepentingan
rasul untuk sejenak memanggil pulang kembali mu’adz adalah untuk menasehati dia
agar menghindari sikap dengki, karena sikap itu akan menjerumuskan dia ke
jurang kesesatan. Mungkin kita tidak pernah berfikir bahwa sikap dengki itu
cukup berbahaya. Padahal dari sikap yang seolah remeh tersebut, bisa melahirkan
sebuah sikap yang dampaknya jauh lebih berbahaya dari sekedar dengki, terutama
bila dikaitkan dengan masalah kepemimpinan.
Bila seorang
pemimpin selalu dihinggapi rasa dengki, maka jangan harap kepemimpinannya akan
sukses. Namun tentu yang dimaksud dengki di sini bukan sekedar bermakna iri
hati atau cemburu, akan tetapi sebuah sikap ketidak puasan seotang pemimpin
atas kekuasaan yang dipegangnya. Padahal, seorang pemimpin sudah diberi
“kekuasaan”, diberi fasilitas, di beri kehormatan, namun tidak sedikit masih
banyak pemimpin yang merasa kurang dan kurang lagi atas jabatan, kehormatan,
status, harta, dan kakuasaan. Bila seorang pemimpin tidak mampu menahan nafsu
semacam ini, maka jangan harap kepemimpinanya serta rakyat yang dipimpinnya
akan hidup dengan sejahtera. Oleh sebab itu, meski rasa dengki adalah masalah
biasa , namun dampak negatifnya menjadi luar biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar