TUGAS
STUDY
HADIST
Disusun untuk memenuhi tugas Study
Hadist
Dosen pembibing:
Ahmad Mu’iz S.Ag. MA
Oleh:
Nur Halimah (10510094)
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2010/2011
عَنْ ابْنِ
مَسْعُدٍ قاَ لَ : قَا لَ رَسُوْلُ الَّلِه صَلَّى اللَّهُ َعَلَيْهِ وَسَلَّمَ
:إِذَا خْتَلَفُ أْالبَيَّعَانِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا بَيِّنَةٌ فَاالقُوْلُ
مَايَقُوْلُ رَبُّ السَّلْعَةِ أَوْ يَتَتَارَ كَانِ. وَفِيْ رِوَيَةٍ : إِذَا
اخْتَلَفَ الْبَيْعَانِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا بَيِّنَةٍ وَالْبَيْعُ قَائِمٌ
بِعِيْنِهِ فَالقُوْ لُ مَا قَالَ الْبَا ئِعُ
أَوْ يَتَرَادَّانِ الْبَيْعَ.( رواه ابوداود)
Dari ibnu Mas’ud RA,ia berkata, Rasulullah bersabda,” apabila penjual dan
pembeli berselisih, dan tidak ada bukti keduanya, makaperkataan yang di ikuti
adlah perkataan pemilik barang dagangan, atau kedunya saling meninggalkan
(membatalkan transaksi ).
Apabila
terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli, dan penjual mengatakan, “Aku
menjual dengan harga sekian,” sedangkan pembeli mengatakan,” Aku membeli dengan
harga kurang dari itu,” Atau umpamanya si penjual mengatakan, “Aku menjualnya
dengan harga seratus,” Sedangkan pembeli mengatakan, “ Aku telah menyetujui
harganya delapan puluh ribu.” Maka dalam hal ini yang di pegang perkataan
penjual. Al Qoulul ba’i (perkataan yang di pegang adalah perkataan si
penjual ). Yakni hendaknya si penjual
bersumpah atas ucapannya itu,
seperti di sebutkan dalam sejumlah riwayat.
Jika penjual
berani bersumpah, maka si pembeli berhak memilih sikap. Apakah ia akan
mengambil barang tersebut dengan hargr yang di ucapkan si pedagang, ataukah
tidak jadi membelinya. Ini jika barang tersebut ada, sebagaimana di sebutkan
dalam sabda Nabi SAW, “ sedang barang dagangannya sesuai . . . . .”
Ahmad Syair
berpendapat, “ kami tidak melihat adanya pertentagan antara hadist yang
menyebutkan keharusan adanyabukti bagi orang yang mengklaim dan adanya sumpah
bagi orang yang mengingkarinya dengan hadist yang menyatakan di akuinya sumpah
bagi penjual jika terjadi sengketa dengan pembeli seputar harga yang di minta
si penjual.
عَنْ عَا
ئِشَةَ أَنَّ رَسُوْ لُ اللَّهِ قَضَى أَنَّ الخَرَاجَ بِا لضَّمَا نِ. ( رواه
ألنساء)
Dari Aisyah
RA, bahwa Rasulullah SAW telah memutuskan bahwa hak mendapatkan hasil di
sebabkan oleh keharusan menanggung kerugian ( al kharaj bidh dhiman). (
H.R.Annasa’i).
Dalam konteks hadist ini, “ bahwa
hak mendapatkan hasil di sebabkan oleh keharusan menanggung kerugian (al
kharaj bidh dhiman).” Bermakan manfaat dapat di ambil dan kerugian di
tanggung oleh pihak asal (penjual). Dalam konteks ini pula Imam Safi’i
menjastifikasi kasus sesuatu yang terjadi setelah barang itu berada ditangan si
pembeli, seperti anak binatang yang di hasilkan, anak dari budak wanita, susu
dan bulu hewan ternak, atau buah dari pohon yang telah di beli, semua bentuk
dasar atau asli, dari barang cacat yang di belinya kepada si penjual.
Jastifikasi seada juga i sebutan oleh Al Khithabi dalam kitab Al
Ma’alim (3/126).
عَنْ سُوْ
يْدِ بْنِ قَيْسٍ قَا لَ : جَلَبْتُ أنَا وَ مَخْرَقَهُ العَبْدِ يٌّ بَزًّا مِنْ
هَجَرَ فَجَاءَ نَا رَ سُو اللَّهِ صَلَى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَا وَ مَنَا سَرَاويْلَ وَعِنْدَ نَا وَزَانَّ يَزِيْنُ بِالأَجْرِ فَقَا لَ لَهُ النَّبِيُّ
صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :يَا وَزَّانِ زِنْ وَ أَرْ جِحْ. ( رواه أبوا
داود)
Dari Sawaid bin Qais, ia berkata, “ Aku datang bersama makhrafah Al Abdi
membawa kain yang berasal dari kampung hajar. Kemudian kami datang kepada
Rasulullah SAW, lalu beliau membarternya dengan celana, seang di saat itu di
sisi kami ada tukang timbang yang menimbang dengan imbalan upah. Maka Nabi SAW
berkata kepadanya. ‘wahai tukang timbang, timbangkan lah dan pastikan. ( H.R. Abu
Daud).
Al khathibi
mengatakan “ Dalam hadust ini terkandung dalil mengenai bolehnya mengambil upah
dalm menimban atau menakar. Dan yang semakna dengannya adalah bolehnya tukang
hitung (akuntan) dan tukang pilah barang untuk mengambil upah, dan Ahmad Bin
Hanbal memandangnya Makruh.
Asy-syaikh
mengatakan, “ Dalam instruksi dan perintah nabi SAW kepada tukang timbang untuk
menimbang barang yang hendak di barter adalah dalil bahwa standar penentuan
harga suatu barang yang barteran ada di tangan pembeli. Dan jika menimbang
adalah kepentngan pembeli dan keharusannya untuk melakukan timbang baranng yang
akan di barter, maka upah menimbang tersebut pun menjadi tanggungannya.
Analoginya, karena barang yag akan di jual adalah milik penjual.
عَنْ
عَبْدِاللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَا لَ : قَا لَ رَسُوْلُ الَّلِه صَلَّى اللَّهُ
َعَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ يَحِلُّ سَلَفَ وَبَيْعُ وَلاَ شَرْطًانِ فِيْ بَيْعٍ
وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَنْ وَلاَ بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَ كَ. ( رواه النسا
ء)
Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata,
Rasulullah SAW bersabda. “ tidak halal maenggabungkan antara pinjaman
dan jual beli, dan tidak sah dua syarat dalam satu transaksi jual beli, tidak
sah pula mengambil keuntungan selamatidak memberi jaminan, dan tidak halal
menjual sesuatu yang bukan milik mu. (H.R.An-Nasa’i)
Hadist ini
mengandung empat macam jastifikasi hukum, yaitu :
Ø Tidak boleh menggabungkan antara pinjaman dan jual
beli dalamwatu yang bersamaan. Nabi SAW mengharamkan penggabungan antara
pinjaman dan jual beli. Sebab, jika seseorang meminjamkan sesuatu, lalu
menjualkepada si peminjam, maka si pemilik telah berupaya menjual barangnya
dengan cara menghutangi si peminjam. Demkian pula halnya seseorang menyewakan
sesuatu kemudian menjual kepada si
penyeea.
Ø Larangan mengambil keuntungan dari barang yang tidak
memiliki jaminan. Yaitu, jika seseorang menjual sesuatu yang telah ia beli
sebelum barang itu jatuh ke tangannya (Di terima ).
Ø Hukum tentang dua syarat dalam satu jual beli.
-
Dua syarat
ketika seseorang mengatakan,“Aku mejual budak ini kepadamu dengan harga
seratus, di bayar kemudian (nanti).
-
Dua syarat
ketika seseorang membeli sesuatu dan menyaratkan dua hal kepada si penjual.
Jika si pembeli menyaratkan hanya dengan satu macam syarat, transaksinya jelas
sah. Seperti ketika seseorang membeli kayu dan menyaratkan si penjual untuk
mengantarkan dan memotong-motongnya, transasi ini tidak sah. Namun ia hanya
menyaratkan agar mengantarnya saja, atau memotog-motongnya saja, itu boleh.
-
Dua syarat
dalam jua beli ‘ayinah. Yaitu jika seseorang mengatakan, “Ambillah barang ini
dengan harga spuuh di bayar kontan. Dan kelak akan ku ambil kembali dengan
harga lebih menjadi dua puluh.’
Ø Larangan untuk menjual barang yang bukan milik
sendiri.
Al-kathibi
mengatakan : Sabda Rasulullah, . . . . ‘dan tidak halal menjual sesuatu yang
bukan milikmu,’ maksunya adalah menjual benda dan bukan menjual sifat.
Dalam hadst ini terkait dengan koteks Rosulullah membolehkan bai-‘us salam yang
barangnya di tangguhkan. Yakni ketika penjual menjual sesuatu yang barangnya
sedang tidak padanya saat itu. Yang beliau larang adalah menjual sesuatu yag
memang bukan milik si penjual karena niat menipu. Seperti menjual budak yang
sedang kabur, atau onta yang lepas entah kemana.
عَنْ
حَكِيْمٍ بْنِ حَزَا مٍ قَا لَ : أَتَيْتُ رَسُوْلُ الَّلِه صَلَّى اللَّهُ
فَقُلْتُ : يَأْتِيْنِيْ الرَّ جُلَ فَيَسْأ لُنِيْ مِنَ الْبَيْعِ مَا لَيْسَ
عِنْدِيْ أَبِتَاعٌ لَهُ مِنَ السُّوْ قِ ثُمَّ أبِيْعُهُ قَا لَ : لاَ تَبِعْ مَا
لَيْسَ عِنْدَكَ.( رواه إبن ما جح
Dari Hakim bin Hizam, ia berkata, “Aku datang kepada Rasulullah SAW lalu
bertanya, ‘ Aku di datangi oleh seseorang yang memintaku untuk menjual sesuatu
yang tidak ada padaku ( bukan milikku ) apkah aku boleh membelnya dari pasar
kmudian menjualnya ?’ beliau menjawab, ‘ janganlah kamu menjual
sesauatu yang bukan milikmu.”
Haram
menjual sesuatu yang bukan milik pibadi si pejual atau sesuatu yang dalam
penguasaannya. Seperti menjual budak yang di curi yang tidak sanggup di ambil
kembali dari orang yang menguasainya. Atau seperti menjual budak tyang kabur
yang tidak di ketahui rimbanya lagi, atau menjual byrung yang lepas dari
sangkarnya yang biasanya tidak kenbali.
Shadiq Hasan
Khan menuturkan, “ Bai-ul quthuth menurut para ulama tidak boleh untuk dilakukan
kecuali yang di perdagangkan itu telah sampai kepada orang yang di tuju lau
mengklaim kepemilikannya lalu barulah di jualnya. Al-qith adaah cek (giro).
Seperti di sebut dalam Firman Allah SWT, “Dan mereka berkata, ; Ya Tuhan kami,
cepatkanlah untuk adzab yang d peruntukkan bagi kami.” (Q.S. As-Shaad :16).
Termasuk
dalam kategori ini segala sesuatu yang belum pasti kepemilikannya. Seperti jika
seseorang membeli suatu barang kemudian menjualnya sebelu barang itu jatuh ke
tangannya (benar-benar di terimanya).
عَنْ أَنَسٍ
أَنَّ رَجُلاً كَانَ فِيْ عُقْدَتِهِ
ضَعْفٌ وَ كَانَ يُبَا يِعُ وَأَنَّ أَهْلُهُ أَتَوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَلٌوْا: يَا رَسُوْ لُ اللَّهِ احْجُرْ عَلَيْهِ فَدَعَاهُ
نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَهَاهُ فَقَالَ : يَا
رَسُوْلُ اللَّهِ اِنِّى لاَ أَصْبِرُ عَنِ البَيْعِ فَقَا لَ : إِذَا بَايَعْتَ
فَقُلْ هَا ءَ وَهَاء وَلاَ خِلاَ بَةَ. ( رواه البخار و مسلم )
Dari Anas bin Malik RA, ia menceritakan bahea ada seorang laki-laki terbelakang
mental dan bermaksud melakukan jual beli. Kemudian keluarganya datang kepada
Nabi SAW lalu berkata, “ Wahai Rasulullah, cegahlah ia. ’’ Nabi SAW kemudian
memenggil lelaki itu dan melarangnya. Maka lelaki itu berkata, “ Wahai Rasululah, sesungguhnya aku sudah tidak sabar
untuk menjualnya.’’ Maka beliau bersabda, “ apabila akan menjual sesuatu, maka
katakanlah, ‘Transaksi harus langsung, ‘dan jangan pula ada unsur tipuan.’’ (
H.R. Bukhari dan Muslim).
Ahmad Bin
Hanbal dan Malik dalam satu riwayat, Al-Manshur Billah serta Imam Yahya menilai
bahwa barang yang telah di beli apat di kembalikan jika sebelumnya telah di
persyaratkan demikian dalam transaksi awalnya, dan mereka juga menetapkan keharusan
mengembalikan barang yang di dalamnya terdapat unsur penipuan terhadap orang
yang tidak buta dengan harga barang. Namun sebagian ulama membatasi hanya
kepada tipuan harga yang sangat amat buruk, yakni melebih seertiga harga barang
sesungguhnya.
Kalangan
ulama ini mengatakan bahwa khiyar (pilihan) berlaku bagi semua unsur penipuan.
Karena itulah Nabi SAW menetapkan khiyar kepada lelaki itu. Namun, kalangan
lain para ulama membantah bahwa Nabi SAW menetapkan khiyar keada lelaki itu
hanyalahkarena motif kelemahan akalnya, sebagaimana di sebutkan dalam hadist
dari Anas RA di atas. Dalam konteks ini hanya orang yang berkarakter seperti
lelaki tersebutlah yang layak mndapat jastifikasi ini, dengan sarat ia harus
mengucapkan perkataan dengan lafadz seperti dalam hadist tersebut. Oleh
karenanya di katakan “jika ia di tipu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar