SEJARAH DAN METODOLOGI TAFSIR
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Study
al-Quran
MAKALAH
Dosen pebimbing: H. Misbahul Munir,Lc, M.EI
Kelompok 9 :
1.
Bararatul Hasanah (10510042)
2.
Nur Halimah (10510094)
3.
Yusman Susanto (09510087)
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2011
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Perkembangan Tafsir pada masa Rasulullah dan para Sahabat.
Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul saw., yang berfungsi sebagai
mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang
arti dan kandungan Al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami
atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul saw.,
walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat
tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul saw.
sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Quran.
Kalau pada masa Rasul saw. para sahabat menanyakan
persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya,
mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan
semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud.
Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah,
khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran
kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti
'Abdullah bin Salam, Ka'ab Al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih
lahirnya Israiliyat.
Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang
disebutkan di atas mempunyai murid-murid dari para tabi'in, khususnya di
kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari
kalangan tabi'in di kota-kota tersebut, seperti:
a.
Said
bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu
'Abbas.
b.
Muhammad
bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin
Ka'ab.
c.
Al-Hasan
Al-Bashriy, Amir Al-Sya'bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada 'Abdullah
bin Mas'ud.
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul saw.,
penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi'in, dikelompokkan menjadi
satu kelompok yang dinamai Tafsir bi Al-Ma'tsur. Dan masa ini dapat dijadikan
periode pertama dari perkembangan tafsir.
Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa
tabi'in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan
tafsir.
Pada periode kedua ini, hadis-hadis telah beredar sedemikian
pesatnya, dan bermunculanlah hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah
masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah
beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi
Muhammad saw., para sahabat, dan tabi'in.
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan
ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta
arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya
perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal
atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, sehingga bermunculanlah
berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut
ditunjang pula oleh Al-Quran, yang keadaannya seperti dikatakan oleh 'Abdullah
Darraz dalam Al-Naba'Al-Azhim:
"Bagaikan intan yang
setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari
sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya.,
maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat."
Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis
bahwa: "Al-Quran memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak
terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan
penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu
terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam
interpretasi tunggal."[1]
Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain:
1.
Corak
sastra bahasa, yang timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama
Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra,
sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang
keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Quran di bidang ini.
2.
Corak
filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi
sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama; agama lain ke dalam
Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari
kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak
setuju yang tecermin dalam penafsiran mereka.
3.
Corak
penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk
memahami ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu.
4.
Corak
fiqih atau hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya
mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran
pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
5.
Corak
tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari
kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap
kelemahan yang dirasakan.
6.
Bermula
pada masa Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905 M), corak-corak tersebut mulai
berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada corak sastra budaya
kemasyarakatan. Yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk
ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta
usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka
berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut
dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar.[2]
B.
Kodifikasi
Tafsir
Kalau yang digambarkan di atas tentang sejarah perkembangan Tafsir
dari segi corak penafsiran, maka perkembangan dapat pula ditinjau dari segi
kodifikasi (penulisan), hal mana dapat dilihat dalam tiga periode:
1.
masa
Rasul saw., sahabat, dan permulaan masa tabi'in, di mana Tafsir belum tertulis
dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan.
2.
bermula
dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan 'Umar bin 'Abdul
'Aziz (99-101 H). Tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan
hadis-hadis, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadis, walaupun
tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah Tafsir bi Al-Ma'tsur.
3.
dimulai
dengan penyusunan kitab-kitab Tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, yang
oleh sementara ahli diduga dimulai oleh Al-Farra (w. 207 H) dengan kitabnya yang
berjudul Ma'ani Al-Qur'an.
C.
Metode Penulisan Tafsir
Di lain segi, sejarah perkembangan Tafsir dapat pula ditinjau dari
sudut metode penafsiran. Walaupun disadari bahwa setiap mufassir mempunyai metode
yang berbeda dalam perinciannya dengan mufassir lain. Namun secara umum dapat
diamati bahwa sejak periode ketiga dari penulisan Kitab-kitab Tafsir sampai
tahun 1960, para mufassir menafsirkan ayat-ayat Al-Quran secara ayat demi ayat,
sesuai dengan susunannya dalam mushhaf
Penafsiran yang berdasar perurutan mushaf ini dapat menjadikan
petunjuk-petunjuk Al-Quran terpisah-pisah, serta tidak disodorkan kepada
pembacanya secara utuh dan menyeluruh. Memang satu masalah dalam Al-Quran
sering dikemukakan secara terpisah dan dalam beberapa surat. Ambillah misalnya
masalah riba, yang dikemukakan dalam surat-surat Al-Baqarah, Ali 'Imran, dan
Al-Rum, sehingga untuk mengetahui pandangan Al-Quran secara menycluruh
dibutuhkan pembahasan yang mencakup ayat-ayat tersebut dalam surat yang
berbeda-beda itu.
Disadari pula oleh para ulama, khususnya Al-Syathibi (w. 1388 M),
bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda,
namun ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda-beda
tersebut.
Pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab
tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang
dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut. Syaltut tidak lagi menafsirkan
ayat-demi-ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu
dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam
satu surat tersebut. Metode ini kemudian dinamai metode mawdhu'iy.
Namun apa yang ditempuh oleh Syaltut belum menjadikan pembahasan tentang
petunjuk Al-Quran dipaparkan dalam bentuk menyeluruh, karena seperti
dikemukakan di atas, satu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat. Atas
dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu
masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan
secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di Mesir dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahmad
Sayyid Al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan. Ide ini pada hakikatnya
merupakan kelanjutan dari metode mawdhu'iy gaya Mahmud Syaltut di atas.
Dengan demikian, metode mawdhu'iy mempunyai dua pengertian:
1.
Pertama,
penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Quran dengan menjelaskan
tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta
menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut
antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat
tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan.
2.
penafsiran
yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas satu masalah
tertentu dari berbagai ayat atau surat Al-Quran dan yang sedapat mungkin diurut
sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari
ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk Al-Quran secara utuh tentang masalah
yang dibahas itu.
Demikian perkembangan penafsiran Al-Quran dari segi metode, yang
dalam hal ini ditekankan menyangkut pandangan terhadap pemilihan ayat-ayat yang
ditafsirkan (yaitu menurut urut-urutannya).
Penafsiran Al Qur’an, secara garis besar dapat
dibagi dalam 4(empat) macam metode,[3] dengan sudut pandang tertentu : [4]
1. Metode Penafsiran ditinjau dari sumber penafsirannya, metode ini terbagi
menjadi tiga macam, yakni metode bi al-ma’thur, bi al-riwayah, bi
al-manqul, tafsir bi-ra’y/bi al-dirayah/ bi al ma’qul dan
tafsir bi al-izdiwaj (campuran).
2. Metode penafsiran ditinjau dari cara penjelasannya. Metode ini dibagi
menjadi dua macam, yakni metode deskriptif (al-bayani) dan Metode tafsir
perbandingan (comparatif, al maqarin).
3. Motede penafsiran ditinjau dari keleluasan penjelasan. Metode ini dibagi
menjadi dua macam, yakni metode global (al-ijmali) dan metode detail (al-ithnaby).
4. Metode penafsiran ditinjau dari aspek sasaran dan sistematika ayat-ayat
yang ditafsirkan. Metode penafsiran ini terbagi menjadi dua macam, yakni metode
analisis (al-tahlily) dan metode tematik (al-mawhu’y).
Corak penafsiran Qur’an tidak terlepas dari
perbedaan, kecenderungan, interest, motivasi mufassir, perbedaan misi yang
diemban, perbedaan kedalaman [capacity] dan ragam ilmu yang dikuasai,
perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan kondisi, dan sebagainya.
Kesemuanya menimbulkan berbagai corak penafsiran yang berkembang menjadi aliran
yang bermacam-macam dengan metode-metode yang berbeda-beda.
Metode penafsiran yang banyak dilakukan oleh para mufassir adalah:
1.
Tafsir
Bil Ma’tsur atau Bir-Riwayah
Metode penafsirannya terfokus pada shohihul
manqul (riwayat yang shohih) dengan menggunakan penafsiran
al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran al-Qur’an dengan sunnah, penafsiran
al-Qur’an dengan perkataan para sahabat dan penafsiran al-Qur’an dengan
perkataan para tabi’in. Yang mana sangat teliti dalam menafsirkan ayat sesuai
dengan riwayat yang ada. Dan penafsiran seperi inilah yang sangat ideal yang
patut dikembangkan. Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini
adalah :
1.
Tafsir At-Tobary (
( جامع البيان في تأويل أى
القران terbit
12 jilid
2.
Tafsir Ibnu Katsir (العظيم تفسير
القران) dengan 4 jilid
3.
Tafsir Al-Baghowy (معالم
التنزيل )
4.
Tafsir Imam As-Suyuty التفسير بالمأثور ) ( الدر المنثور في terbit 6 jilid.
2.
Tafsir
Bir-Ra’yi (Diroyah).
Metode ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.
Ar-Ro’yu
al Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan)
dengan beberapa syarat diantaranya:
·
Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari
nilai-nilai al-Qur’an dan as-sunnah.
·
Tidak berseberangan penafsirannya dengan
penafsiran bil ma’tsur, Seorang mufassir harus menguasai ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan tafsir beserta perangkat-perangkatnya.
Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan
metodologi ini diantaranya :
1.
Tafsir Al-Qurtuby - الجامع لأحكام
القران
2.
Tafsir Al-Jalalain - تفسير
الجلالين
3.
Tafsir Al-Baidhowy - التأويل التنزيل و أسرار أنوار .
2.
Ar-Ro’yu
Al- mazmumah (penafsiran dengan akal yang dicela /
dilarang), karena bertumpu pada penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri.
Dan istinbath
(pegambilan hukum) hanya menggunakan akal/logika semata yang tidak
sesuai dengan nilai-nilali syariat Islam. Kebanyakan metode ini digunakan oleh
para ahli bid’ah yang sengaja menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan
keyakinannya untuk mengajak orang lain mengikuti langkahnya. Juga banyak
dilakukan oleh ahli tafsir priode sekarang ini. Diantara contoh kitab tafsir
yang menggunakan metode ini adalah:
·
Tafsir Zamakhsyary (الكشاف
عن حقائق التنزيل و
عيون الأقاويل في وجوه التأويل ).
·
Tafsir syiah “Dua belas” seperti (مرأة الأنوار و مشكاة الأسرار للمولي عبد اللطيف الكازاراني ) jugaمع البيان لعلوم
القران لأبي الفضل الطبراسي.
·
Tafsir As-Sufiyah dan Al-Bathiniyyah seperti
tafsir حقائف التفسير للسلمي و عرائس البيان في حقائق
القران لأبي محمد الشيرازي
3.
Metode Ijmali.
Metode
tafsir ijmaly yaitu menafsirkan al-Quran dengan cara singkat dan global tanpa
ada uraian panjang lebar. Metode ijmaly (Global) menjelaskan ayat-ayat al-Quran
secara ringkas tapi mencakup bahasa yang lebih umum dikenal, lebih luas, mudah
dimengerti, dan enak dibaca. Sistematika
penulisannya mengikuti susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Penyajiannya tidak
terlalu jayh dari gaya bahasa al-Quran.
Dengan demikian, cirri-ciri dan jenis tafsir Ijmali mengikuti
urut-urutan ayat demi ayat menurut tertib mushaf seperti halnya tafsir Tahlili.
Perbedaanya dengan tafsir tahlili adalah tafsir ijmali makna ayatnya
diungkapkan secara ringkas dan global tetapi cukup jelas, sedangkan tafsir
tahlili makna ayat diuraikan secara terperinci dengan tinjauan berbagai segi
dan aspek yang diulas secara panjang lebar.
Ciri-ciri
umum metode ijmali adalah :
1.
cara seorang mufassir melakukan
penafsiran, di mana seorang mufassir langsug menafsirkan ayat al-Qur'an
dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul.
2.
mufassir tidak banyak mengemukakan pendapat dan idenya.
3.
mufassir tidak banyak memberikan penafsiran secara rinci
tetapi ringkas dan umum, meskipun pada beberapa ayat tertentu memberikan
penafsiran yang agak luas, namun tidak pada wilayah analitis.
Sebagai contoh : “penafsiran yang diberikan tafsir al-Jalalain
terhadap 5 ayat pertama dari surat al-Baqarah, tampak tafsirnya sangat singkat
dan global hingga tidak ditemui rincian atau penjelasan yang memadai.
Penafsiran tentang الم misalnya, dia hanya berkata : Allah Maha Tahu maksudnya. Dengan
demikian pula kata al kitaabah الكتا ب penafsiran hanya
dikatakan : Yang dibacakan oleh Muhammad. Begitu seterusnya, tanpa ada rincian
sehingga penafsiran 5 ayat itu hanya dalam beberapa baris saja.
Berbeda dengan tafsir tahlili
(analitis), al-Maraghi, misalnya, untuk menjelaskan 5 ayat pertama itu
membutuhakn 7 halaman. Hal ini disebabkan uraiannya bersifat analitis dengan
mengemukakan berbagai pendapat dan didukung oleh fakta-fakta dan
argument-argumen, baik berasal dari al-Quran atau hadist-hadist Nabi serta
pendapat para sahabat dan tokoh ulama’, juga tidak ketinggalan argument
semantic.
Disinilah, metode ijmali dalam
penafsiran ayat-ayat al-Quran juga memiliki kelebihan dan kelemahan, antara
lain sebagai berikut:
Ø Kelebihan.
1.
Praktis
dan mujdah dipahami oleh umat dari berbagai strata social dan lapisan
masyarakat.
2.
Bebas
dari penafsiran kemungkinan israiliyat.
3.
Akrab
dengan bahasa al-Quran, karena tafsir ini dengan metode glonal menggunakan
bahasa yang singkat dan akrab dengan bahasa arab tersebut.
Ø Kelemahan.
a.
Menjadikan
petunjuk al-Quran bersifat parsial, padahal al-Quran merupakan satu-kesatuan
yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian
yang utuh, tidak terpecah-pecah, hal-hal yang global atau samar-samar di dalam
satu yat, maka pada ayat yang lain ada penjelasan yang lebih rinci. Dengan
menggabungkan kedua ayat tersebut akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan
dapat terhindar dari kekeliruan.
b.
Tidak
ada naungan untuk mengemukakan analisi yang memadai. Tafsir yang memakai metode
ijmali tidak menyediakan naungan untuk memberikan uraian yang luas, jika
menginginkan adanya analisis rinci, metode global tidak dapat diandalkan. Ini
disebut suatu kelemahan yang disadari oleh mufassir yang menggunakan metode
ini.
4.
Metode Tahlili.
Secara etimologis, tahliliy berasal dari bahasa Arab: hallala
– yuhallilu – tahlil, yang berarti “mengurai” atau “menganalisis”. Dengan
demikian yang dimaksud dengan tafsir tahliliy adalah suatu metode
penafsiran yang berusaha menjelaskan al Qur’an dengan menguraikan berbagai
seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh al Qur’an.
Metode tafsir analisis ialah menafsirkan ayat-ayat al-quran dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung didalam ayat-ayat al-Quran yang
ditafsirkan itu, serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai
dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Mufassir membahas al-Quran ayat demi ayat yang tersusun di dalam al-Quran.
Tafsir yang memakai pendekatan ini mengikuti naskah al-Quran dan menjelaskannya
dengan cara sedikit demi sedikit, dengan menggunakan alat-alat penafsiran yang
diyakini efektif (seperti mengandalkan pada arti-arti harfiah, hadits atau
ayat-ayat lain yang mempunyai beberapa kata atau pengertian yang sama dengan ayat
yang sedang dikaji), sebatas kemampuanyya di dalam membantu menerangkan makna
bagian yang sedang ditafsirkan, sambil memperhatikan konteks naskah tersebut.
Metode tafsir ini berusaha untuk menerangkat arti ayat-ayat
al-Quran dari berbagai seginya, berdasarkan urut-urutan ayat atau surah dalam
mushaf, dengan menonjolkan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat-ayatnya,
hubungan surah-surahnya, sebab-sebabnya turunnya, hadits yang berhubungan
dengannya, pendapat-pendapat para mufassir terdahulu dan mufassir itu sendiri
diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya.
Ciri-ciri
metode tahlili.
Penafsiran yang mengikuti metode ini
dapat mengambil bentuk ma’tsur
[riwayat] atau ra’y [pemikiran]:
- Di antara kitab
tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-ma’tsur adalah
- kitab tafsir Jami’ al-Bayan’an Ta’wil
Ayi al-Qur’an karangan Ibn Jarir al-Thabari [w.310H],
- Ma’alim al-Tazil karangan al-Baghawi
[w.516H],
- Tafsir al-Qur’an
al-’Azhim [terkenal dengan
tafsir Ibn Katsir] karangan Ibn Katsir [w.774H],
- al-Durr al-Mantsur fi al-tafsir bi al-Ma’tsur karangan al-Suyuthi
[w.911H].
- Tafsir tahlili yang
mengambil bentuk al-Ra’y banyak sekali, antara lain:
- Tafsir Lubāb
al-ta’wīl fī ma‘ānī al-tanzīl karya Imam al-Khāzin (w.741 H
- Anwar al-Tanzil wa
Asrar al-Ta’wil karangan
al-Baydhawi [w.691H],
- al-Kasysyaf karangan
al-Zamakhsyari [w.538H],
- ’Arais al-Bayan fi
Haqaia al-Qur’an karangan al-Syirazi [w.606H],
- al-Tafsir al-Kabir
wa Mafatih al-Ghaib karangan al-Fakhr al-Razi [w.606H],
- Madārik al-Tanzīl wa
haqā’iq al-ta’wīl karya al-Nasafī (w.701 H)
- al-Jawahir fi Tafsir
al-Qur’an karangan Thanthawi Jauhari,
- Irshād al-‘aql
al-Salīm ilā mazāya al-Kitāb al-karīm karya Abū Sa‘ūd
(w.982 H).
- Tafsir al-Manar
karangan Muhammad Rasyid Ridha [w.1935] dan lain-lain.
Jadi, pola
penafsiran yang diterapkan
oleh para pengarang
kitab-kitab tafsir di atas terlihat, bahwa mereka berusaha menjelaskan
makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an secara komprehensif
dan menyeluruh, baik yang
berbentuk al-ma’tsur maupun al-ra’y
Untuk lebih
mudah mengenal metode tafsir analitis, berikut ini dikemukakan
beberapa corak tafsir
yang tercakup dalam
tafsir tahlili, sebagai contoh,
yaitu: Tafsir al-Ma’tsur, yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan
nash-nash, baik dengan ayat-ayat al-Qur’an sendiri, dengan hadis-hadis Nabi,
dengan pendapat sahabat, maupun dengan pendapat tabiin. Pendapat [aqwal]
tabiin masih kontraversi dimasukkan dalam tafsir bil ma’tsur sebab para tabiin
dalam memberikan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tidak hanya berdasarkan riwayat
yang mereka kutip dari Nabi, tetapi juga memasukkan ide-ide dan pemikiran
mereka [melakukan ijtihad]. Tafsir ma’tsur
yang paling tinggi peringkatnya adalah
tafsir yang berdasarkan
ayat al-Qur’an yang ditunjuk oleh Rasulullah. Peringkat
kedua adalah tafsir dengan hadis. Di bawahnya
adalah tafsir ayat dengan aqwal [pendapat] sahabat dan peringkat terakhir adalah tafsir ayat dengan aqwal
tabiin.
Menurut Husein
Dzahabi, ada dua cara yang ditempuh oleh para ulama dalam memberikan tafsir bi
al-ma’tsūr ini: Pertama, marhala syafahiyya (penuturan lisan) yang
disebut dengan marhala riwā’iyya, di mana seorang sahabat
meriwayatkannya dari Rasulullah, atau dari sesama sahabat, atau seorang tabi’i
meriwayatkan melalui jalan seorang sahabat, dengan cara penukilan yang
terpercaya, mendetail, dan terjaga melalui isnad, sampai pada tahap
selanjutnya. Kedua, marhala tadwīn, dengan cara menuliskan riwayat yang
ditunjukkan seperti di dalam marhala yang pertama. Hal ini seperti juga
ditunjukkan dalam kitab-kitab hadis sejak masa awal hingga berdiri sendiri
sebagai disiplin ilmu yang terpisah.
Tafsir al-Ra’y, yaitu tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang didasarkan
pada ijtihad mufasirnya dan menjadikan akal fikiran sebagai pendekatan
utamanya. ”tafsiri al-ra’y
yang menggunakan metode
analitis ini, para mufassir memperoleh kebebasan,
sehingga mereka agak lebih otonom [mandiri] berkreasi dalam memberikan interpretasi
terhadap ayat-ayat al-Qur’an selama masih dalam batas-batas yang diizinkan oleh syara dan
kaidah kaidah penafsiran yang mu’tabar.
Itulah salah satu sebab yang membuat tafsir dalam bentuk al-ra’y dengan
metode analitis dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam sekali seperti
tafsir fiqhi, falsafi, sufi, ’ilmi, adabi
ijtima’i, dan lain sebagainya. Tafsir bi
al-ra’y berkembang jauh lebih pesat meninggalkan tafsir bi al-ma’tsur, sebagaimana diakui oleh
ulama tafsir semisal Manna’ al-Qhathathan[5].
Para ulama telah menetapkan syarat-syarat diterimanya
tafsir ra’y yaitu, bahwa
penafsirnya: [1] benar-benar menguasai bahasa Arab
dengan segala seluk
beluknya, [2] mengetahui asbabun al nuzul, nasikh-mansukh, ilmu qira’at dan syarat-syarat keilmuan lain,
[3] tidak menginterpretasikan hal-hal yang merupakan otoritas Tuhan untuk
mengetahuinya, [4] tidak menafsirkan ayat-ayat berdasarkan hawa
nafsu dan intres pribadi, [5] tidak menafsirkan ayat berdasarkan aliran atau
paham yang jelas batil dengan maksud justifikasi terhadap paham tersebut, [6]
tidak menganggap bahwa tafsirnya yang paling benar dan yang dikehendaki oleh
Tuhan tanpa argumentasi yang pasti.
Metode tahlili
[analitis] juga memiliki kelemahan dan kelebihan, diantarnya
1. Kelebihan:
a. Ruang lingkup yang luas: Metode analisis mempunyai
ruang lingkup yang termasuk
luas. Metode ini dapat
digunakan oleh mufassir dalam
dua bentuknya; ma’tsur dan
ra’y dapat dikembangkan dalam
berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufassir.
b. Memuat berbagai ide: metode analitis
relatif memberikan kesempatan yang luas
kepada mufassir untuk mencurahkan
ide-ide dan gagasannya dalam menafsirkan al-Qur’an. Itu berarti, pola
penafsiran metode ini dapat menampung berbagai ide yang terpendam dalam bentuk
mufassir termasuk yang ekstrim dapat ditampungnya. Dengan terbukanya pintu selebar-lebarnya bagi mufassir
untuk mengemukakan
pemikiran-pemikirannya dalam menafsirkan al-Qur’an, maka lahirlah kitab
tafsir berjilid-jilid seperti kitab Tafsir al-Thabari [15 jilid], Tafsir Ruh al-Ma’ani [16 jilid], Tafsir
al-Fakhr al-Razi [17 jilid], Tafsir al-Maraghi [10 jilid], dan lain-lain.
2. Kelemahan
a. Menjadikan petunjuk al-Qur’an
parsial atau terpecah-pecah,tidak utuh
dan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan
pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang
diberikan pada ayat-ayat
lain yang sama
dengannya. Terjadinya perbedaan, karena kurang memperhatikan
ayat-ayat lain yang mirip atau sama
dengannya.
b. Melahirkan penafsir subyektif dan tidak mustahil pula ada di antara mereka
yang menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kemauan hawa nafsunya tanpa
mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma
penafsiran.
c. Masuknya pemikiran Israiliat sebab berbagai pemikiran
mufassir dapat masuk ke
dalamnya, tidak tercuali pemikiran
Israiliat Contohnya, kitab
tahlili seperti dalam penafsiran
al-Qurthubi tentang penciptaan
manusia pertama, termaktub di dalam ayat 30 surah al-Baqarah disini terselib
cerita israiliyyat.
D.
Berbagai corak kitab tafsir.
Contoh Kitab Tafsir Dan
Metodologi Penulisannya
Nama Kitab : جامع
البيان في تفسير أي القران atau yang lebih dikenal
dengan
tafsir
al-Tabary.
Pengarangnya : Abu
Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thobary (224 – 310 H)
Jumlah jilid : 12 jilid
besar.
Keistimewaannya : Tafsir
ini merupakan referensi bagi para mufassirin terutama penafsiran
binnaqli/biiriwayah. Tafsir bil aqli karena istinbath hukum, penjabaran
berbagai pendapat dengan dan mengupasnya secara detail disertai analisa yang
tajam. Ia merupakan tafsir tertua dan terbagus.
Metodologi Penulisannya:
Penulis menafsirkan ayat al-Qur’an dengan jelas
dan ringkas dengan menukil pendapat para sahabat dan tabi’in disertai sanadnya.
Jikalau dalam ayat tersebut ada dua pendapat atau lebih, di sebutkan satu
persatu dengan dalil dan riwayat dari sahabat maupun tabi’in yang mendukung
dari tiap-tiap pendapat kemudian mentarjih (memilih) diantara
pendapat tersebut yang lebih kuat dari segi dalilnya. Beliau juga mengii’rob
(menyebut harakat akhir), mengistimbat hukum jikalau ayat
tersebut berkaitan dengan masalah hukum. Ad-Dawudy dalam bukunya “Thobaqah
al-Mufassirin“ mengomentari metode ini dengan ungkapannya:“ Ibnu
jarir telah menyempurnakan tafsirnya dengan menjabarkan tentang hukum-hukum,
nasih wal mansuh, menerangkan mufrodat (kata-kata) sekaligus maknanya,
menyebutkan perbedaaan ulama’ tafsir dalam masalah hukum dan tafsir kemudian
memilih diantara pendapat yang terkuat, mengi’rob kata-kata, mengkonter
pendapat orang-orang sesat, menulis kisah ,berita dan kejadian hari kiamat dan
lain-lainnya yang terkandung didalamnya penuh dengan hikmah dan keajaiban tak
terkira kata demi kata, ayat demi ayat dari isti’adzah sampai abi jad (akhir
ayat). Bahkan jikalau seorang ulama’ mengaku mengarang sepuluh kitab yang
diambil dari tafsir ini, dan setiap kitab mengandung satu disiplin keilmuan
dengan keajaiban yang mengagungkan akan diakuinya (karangan tersebut).
2. Tafsir Ibnu Katsir
Nama kitab : تفسير
القران العظيم lebih dikenal dengan
Tafsir Ibnu Katsir.
Jumlah jilid : 4 Jilid
Nama penulis : Imaduddin
Abul Fida’ Ismail bin Amr bin Katsir (w 774 H)
Keutamaanya : Merupakan
tafsir terpopuler setelah tafsir At-Thobary dengan metode bil ma’tsur.
Metodologi penulisannya:
Penulis sangat teliti dalam mentafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an dengan menukil perkataan para salafus sholeh. Ia
menafsirkan ayat dengan ibarat yang jelas dan mudah dipahami. Menerangkan ayat
dengan ayat yang lainnya dan membandingkannya agar lebih jelas maknanya. Beliau
juga menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut
dilanjutkan dengan penafsiran para sahabat dan para tabi’in. Beliau juga sering
mentarjih
diantara beberapa pendapat yang berbeda, juga mengomentari riwayat
yang shoheh atau yang dhoif(lemah). mengomentari
periwayatan isroiliyyat. Dalam menafsirkan ayat-ayat
hukum, ia menyebutkan pendapat para Fuqaha (ulama’ fiqih) dengan mendiskusikan
dalil-dalilnya, walaupun tidak secara panjang lebar. Imam Suyuthy dan Zarqoni
menyanjung tafsir ini dengan berkomentar ;” Sesungguhnya belum ada ulama’ yang mengarang dalam
metode seperti ini “.
3. Tafsir Al-Qurtuby
Nama kitab : الجامع
لأحكام القران
Jumlah jilid : 11 jilid
dengan daftar isinya.
Nama penulisnya : Abu
Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurtuby (w 671 H).
Keutamaanya : Ibnu
Farhun berkata,” tafsir yang paling bagus dan paling banyak manfaatnya,
membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat dalil, serta
menerangkan I’rob, qiroat, nasikh dan mansukh”.
Metode penulisannya :
Penulis terkenal dengan gaya penulisan ulama’
fiqih., dengan menukil tafsir dan hukum dari para ulama’ salaf dengan
menyebutkan pendapatnya masing-masing. Dan membahas suatu permasalahan fiqhiyah
dengan mendetil. Membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat
dalil, juga I’rob, qiroat, nasikh dan mansukh. Beliau tidak ta’assub
(panatik) dengan mazhabnya yaitu mazhab Maliki.
4. Tafsir Syinqithy
Nama kitab : أضواء
البيان في إيضاح القران بالقران
Jumlah jilid : 9 jilid.
Nama penulisnya : Muhammad
Amin al-Mukhtar As-Syinqithy
Metodologi penulisannya:
Menekankan penafsiran bil-ma’tsur dengan
dilengkafi qira’ah
as-sab’ah dan qiro’ah syadz (lemah) untuk istisyhad
(pelengkap). Menerangkan masalah fiqih dengan terperinci, dengan
menyebut pendapat disertai dalil-dalilnya dan mentarjih berdasarkan dalil yang
kuat. Pembahasan masalah bahasa dan usul fiqih. Beliau wafat dan belum sempat
menyelesaikan tafsirnya yang kemudian dilengkapi oleh murid sekaligus
menantunya yaitu Syekh ‘Athiyah Muhammad Salim.
E.
Israiliyat dalam kitab tafsir
al-Israiliyat ialah berita-berita yang dibawa daripada Bani Israil yang terdiri
daripada Yahudi (lebih banyak) dan Nasrani. Berita-berita ini terbahagi kepada
3 kategori:
1.
Berita yang diktiraf oleh Islam dan disahkan benar. Hukumnya adalah benar.
Contohnya
ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari daripada Ibnu Mas‘ud:
جاء حبر من
الأحبار إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال:
يا محمد، إنا
نجد أن الله يجعل السماوات على إصبع، وسائر الخلائق على إصبع
فيقول: أنا
الملك، فضحك النبي صلى الله عليه وسلم حتى بدت نواجذه تصديقا لقول الحبر،
ثم قرأ رسول
الله صلى الله عليه وسلم:
(وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ
وَلأَرْضُ جَمِيعاً قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ
بِيَمِينِهِ
سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ).[1]
Maksudnya:
“Telah datang seorang pendita Yahudi kepada
Rasulullah s.a.w. dan berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya kami dapati (dalam
kitab kami) bahawa Allah meletakkan tujuh petala langit atas satu jari, tujuh
petala bumi atas satu jari, segala pokok atas satu jari, air dan tanah atas
satu jari dan seluruh makhluk atas satu jari lalu berkata, “Akulah raja.”
Mendengar itu, Nabi tergelak sehingga ternampak gusinya, membenarkan kata-kata
pendita itu. Kemudian Baginda membaca (ayat 67 surah al-Zumar 39 yang
bermaksud): “Dan mereka
tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi
seluruhnya dalam genggamanNya pada hari kiamat dan langit digulung dengan
tangan kananNya. Maha suci Tuhan dan maha tinggi Dia dari apa yang mereka
persekutukan.”
3.
Berita
yang ditolak oleh Islam dan disahkan bohong. Hukumnya adalah batil.
Contohnya ialah riwayat daripada Jabir katanya:
“Dahulu golongan Yahudi mengatakan sekiranya
lelaki mendatangi isterinya daripada arah belakang, anak akan jadi juling.
Kemudian turun ayat (al-Baqarah 2:223):
Maksudnya:
Isteri-isterimu ialah seperti tanah
tempat kamu bercucuk tanam, maka datangilah tanah tempat bercucuk tanam kamu
itu bagaimana sahaja kamu kehendaki (melalui faraj).
3.
Berita yang tidak diiktiraf dan tidak pula ditolak oleh Islam.
Hukumnya
adalah ditangguhkan berdasarkan kepada hadith daripada Abu Hurairah:
كان أهل الكتاب
يقرؤون التوراة بالعبرانية، ويفسرونها بالعربية لأهل الإسلام،
فقال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: لا تصدقوا أهل الكتاب ولا تكذبوهم ،
وقولوا:
(آمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ) الآية.[3]
Maksudnya:
“Dahulu Ahli Kitab membaca al-Taurat dalam
bahasa Ibraniyah dan mentafsirkannya dalam bahasa Arab untuk orang Islam. Lalu
Rasulullah s.a.w. bersabda: “Jangan percaya Ahli Kitab dan jangan dustakan
mereka. Katakanlah “Kami telah beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan
kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu.” (al-Ankabut 29:46).
Akan
tetapi, membincangkan berita jenis ini tidak mengapa jika tidak ditakuti
membawa keburukan berdasarkan sabda Baginda s.a.w.:
بلغوا عني ولو
آية، وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج،
ومن كذب على
متعمدا فليتبوأ مقعده من النار.[4]
Maksudnya:
“Sampaikanlah daripadaku satu ayat, ceritalah daripada Ahli Kitab tanpa
keberatan. Sesiapa yang menipu ke atasku secara sengaja, hendaklah dia sediakan
tempat duduknya di dalam neraka.”
Kebanyakan
berita-berita yang diriwayatkan daripada mereka tidak mempunyai faedah dalam
agama.
Contohnya
ialah warna anjing Ashab al-Kahfi dan sebagainya.
Berkenaan
dengan pertanyaan Ahli Kitab tentang urusan agama, hukumnya adalah haram
berdasarkan hadith daripada Jabir bin Abdullah, bahawa diriwayatkan Rasulullah
s.a.w. bersabda:
لا تسألوا أهل
الكتاب عن شئ؛ فإنهم لن يهدوكم، وقد ضلوا،
فإنكم إما أن
تصدقوا بباطل، أو تكذبوا بحق،
وإنه لو كان
موسى حيا بين أظهركم ما حل له إلا أن يتبعني.[5]
Maksudnya:
“Jangan tanya Ahli Kitab berkenaan sesuatupun.
Sesungguhnya mereka tidak dapat memberi hidayah kepada kamu dan mereka telah
sesat. Justeru, kemungkinannya ialah kamu membenarkan yang batil atau
mendustakan yang benar (akibat daripada bertanya kepada Ahli Kitab).
Sesungguhnya jika Musa hidup di antara kamu, tidak halal baginya kecuali
mengikut aku.”
Abdullah
bin Abbas berkata:
يا معشر
المسلمين كيف تسألون أهل الكتاب عن شئ،
وكتابكم الذي
أنزل الله على نبيكم صلى الله عليه وسلم أحدث الأخبار بالله محضا،
لم يشب، وقد
حدثكم أن أهل الكتاب قد بدلوا من كتاب الله،
وغيروا، فكتبوا
بأيدهم، قالوا: هو من عند الله؛
ليشتروا بذلك
ثمنا قليلا أو لا ينهاكم ما جاءكم من العلم عن مسألتهم؟
Maksudnya:
“Wahai golongan yang beriman, bagaimanakah boleh kamu bertanya Ahli Kitab
tentang sesuatu sedangkan kitab kamu yang Allah turunkan ke atas nabiNya adalah
berita-berita terkini tentang Allah yang segar dan belum tua. Allah telah
memberitahu kamu semua bahawa Ahli Kitab telah menukar kitab Allah dan
menulisnya dengan tangan-tangan mereka dan mengatakan ianya adalah daripada
Allah untuk mendapat ganjaran wang yang sedikit. Tidakah pengetahuan kamu
tentang mereka cukup untuk menegah kamu? Dan demi Allah, tidak pernah pula ada di
antara mereka yang bertanya kamu tentang apa yang diturunkan kepada mereka.”
·
Pendirian
Ulama Dalam Al-Israiliyat
Berkenaan dengan berita al-Israiliyat, para ulama khususnya
para mufassirin terbagi empat:
- Ada
di antara mereka yang membawa berita al-Israiliyat bersama
sanad-sanadnya. Mereka berpendapat dengan membawa sanad-sanadnya mereka
terlepas daripada tanggungjawab. Contohnya Ibnu Jarir al-Tabari.
- Ada di antara mereka yang banyak membawa
berita al-Israiliyat, kebanyakannya tanpa sanad-sanadnya. Mereka
ini ibarat pemungut kayu api di waktu malam.
Contohnya ialah Imam al-Baghawi di mana Imam Ibnu Taimiyah telah
berkata berkenaan tafsirnya:
Sesungguhnya
tafsir al-Baghawi adalah ringkasan daripada tafsir al-Tha‘labi, cuma beliau
(al-Baghawi) telah memeliharanya daripada hadith-hadith maudhu’ dan
pendapat-pendapat yang direka.
Ibnu
Taimiyah berkata tentang al-Tha‘labi pula:
Sesungguhnya
dia adalah pemungut api di waktu malam. Dia akan menukilkan apa sahaja yang
terdapat dalam kitab-kitab tafsir samada sahih, dhaif atau maudhu’.
- Ada
di antara mereka yang membawa berita-berita al-Israiliyat dan
menilai sesetengahnya dengan menyifatkannya dhaif atau
ditolak. Contohnya ialah Imam Ibnu Kathir.
- Ada di antara mereka yang
bersungguh-sungguh menolak berita-berita al-Israiliyat dan tidak
membawanya sebagai tafsir al-Quran langsung. Contohnya Syaikh Muhammad
Rasyid Ridha.[6]
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
·
M. Quraish Shihab. Membumikan
al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 1992). hlm. 72.
·
Abdul Jalal, Urgensi Tafsir Madhui
Pada Masa Kini, (Jakarta : Kalam Mulia, 1990), hlm. 64-71.
·
M. Ridlwan Nasir, Teknik Pengembangan
Metode Tafsir Muqarin;Dalam Perspektif Pemahaman Al Qur’an (Surabaya;IAIN Sunan
Ampel) 1997) Hal. 5-8 ,Naskah Pidato Guru Besar ilmu Tafsir Fakultas Syari’ah
IAIN Sunan Ampel.
·
Manna.Khalil Al-Qattan, Mabahith fi ’Ulum
al-Qur’an (Beirut: Mansyurah al- ’Ashr al-Hadith. 1973).
[1]
http://www.facebook.com/note.php?note_id=99229774794
[3] Abdul Jalal, Urgensi Tafsir Madhui Pada Masa Kini, (Jakarta
: Kalam Mulia, 1990), hlm. 64-71.
[4] M. Ridlwan
Nasir, Teknik Pengembangan Metode Tafsir Muqarin;Dalam Perspektif Pemahaman Al
Qur’an (Surabaya;IAIN Sunan Ampel) 1997) Hal. 5-8 ,Naskah Pidato Guru Besar
ilmu Tafsir Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel
[5] Manna.Khalil
Al-Qattan, Mabahith fi ’Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurah al- ’Ashr
al-Hadith. 1973). 342
[6] http://www.hafizfirdaus.com/ebook/Ushul%20Tafsir/tafsir11.htm
syukran !
BalasHapus