Kamis, 24 Mei 2012

MAKALAH Study al-Quran SEJARAH DAN METODOLOGI TAFSIR


SEJARAH DAN METODOLOGI TAFSIR
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Study al-Quran
MAKALAH
Dosen pebimbing: H. Misbahul Munir,Lc, M.EI
UIN WARNA Fakultas Ekonomi
Kelompok 9 :
1.     Bararatul Hasanah                (10510042)
2.     Nur Halimah                          (10510094)
3.     Yusman Susanto                    (09510087)
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2011


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Perkembangan Tafsir pada masa Rasulullah dan para Sahabat.
Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul saw., yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul saw., walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul saw. sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Quran.
Kalau pada masa Rasul saw. para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud.
Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab Al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya Israiliyat.
Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan di atas mempunyai murid-murid dari para tabi'in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi'in di kota-kota tersebut, seperti:
a.       Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu 'Abbas.
b.      Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka'ab.
c.       Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya'bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada 'Abdullah bin Mas'ud.
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul saw., penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi'in, dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bi Al-Ma'tsur. Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.
Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi'in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir.
Pada periode kedua ini, hadis-hadis telah beredar sedemikian pesatnya, dan bermunculanlah hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad saw., para sahabat, dan tabi'in.
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Quran, yang keadaannya seperti dikatakan oleh 'Abdullah Darraz dalam Al-Naba'Al-Azhim:
 "Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya., maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat."
Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa: "Al-Quran memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal."[1]
Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain:
1.      Corak sastra bahasa, yang timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Quran di bidang ini.
2.      Corak filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama; agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tecermin dalam penafsiran mereka.
3.      Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu.
4.      Corak fiqih atau hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
5.      Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.
6.      Bermula pada masa Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905 M), corak-corak tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan. Yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar.[2]

B.     Kodifikasi Tafsir
Kalau yang digambarkan di atas tentang sejarah perkembangan Tafsir dari segi corak penafsiran, maka perkembangan dapat pula ditinjau dari segi kodifikasi (penulisan), hal mana dapat dilihat dalam tiga periode:
1.      masa Rasul saw., sahabat, dan permulaan masa tabi'in, di mana Tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan.
2.      bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz (99-101 H). Tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis-hadis, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadis, walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah Tafsir bi Al-Ma'tsur.
3.      dimulai dengan penyusunan kitab-kitab Tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, yang oleh sementara ahli diduga dimulai oleh Al-Farra (w. 207 H) dengan kitabnya yang berjudul Ma'ani Al-Qur'an.

C.    Metode Penulisan Tafsir
Di lain segi, sejarah perkembangan Tafsir dapat pula ditinjau dari sudut metode penafsiran. Walaupun disadari bahwa setiap mufassir mempunyai metode yang berbeda dalam perinciannya dengan mufassir lain. Namun secara umum dapat diamati bahwa sejak periode ketiga dari penulisan Kitab-kitab Tafsir sampai tahun 1960, para mufassir menafsirkan ayat-ayat Al-Quran secara ayat demi ayat, sesuai dengan susunannya dalam mushhaf
Penafsiran yang berdasar perurutan mushaf ini dapat menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran terpisah-pisah, serta tidak disodorkan kepada pembacanya secara utuh dan menyeluruh. Memang satu masalah dalam Al-Quran sering dikemukakan secara terpisah dan dalam beberapa surat. Ambillah misalnya masalah riba, yang dikemukakan dalam surat-surat Al-Baqarah, Ali 'Imran, dan Al-Rum, sehingga untuk mengetahui pandangan Al-Quran secara menycluruh dibutuhkan pembahasan yang mencakup ayat-ayat tersebut dalam surat yang berbeda-beda itu.
Disadari pula oleh para ulama, khususnya Al-Syathibi (w. 1388 M), bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda, namun ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda-beda tersebut.
Pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut. Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat-demi-ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut. Metode ini kemudian dinamai metode mawdhu'iy.
Namun apa yang ditempuh oleh Syaltut belum menjadikan pembahasan tentang petunjuk Al-Quran dipaparkan dalam bentuk menyeluruh, karena seperti dikemukakan di atas, satu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat. Atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di Mesir dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan. Ide ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode mawdhu'iy gaya Mahmud Syaltut di atas.
Dengan demikian, metode mawdhu'iy mempunyai dua pengertian:
1.      Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
2.      penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat Al-Quran dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk Al-Quran secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.
Demikian perkembangan penafsiran Al-Quran dari segi metode, yang dalam hal ini ditekankan menyangkut pandangan terhadap pemilihan ayat-ayat yang ditafsirkan (yaitu menurut urut-urutannya).
Penafsiran Al Qur’an, secara garis besar dapat dibagi dalam 4(empat) macam metode,[3]  dengan sudut pandang tertentu : [4]
1.      Metode Penafsiran ditinjau dari sumber penafsirannya, metode ini terbagi menjadi tiga macam, yakni metode bi al-ma’thur, bi al-riwayah, bi al-manqul, tafsir bi-ra’y/bi al-dirayah/ bi al ma’qul dan tafsir bi al-izdiwaj (campuran).
2.      Metode penafsiran ditinjau dari cara penjelasannya. Metode ini dibagi menjadi dua macam, yakni metode deskriptif (al-bayani) dan Metode tafsir perbandingan (comparatif, al maqarin).
3.      Motede penafsiran ditinjau dari keleluasan penjelasan. Metode ini dibagi menjadi dua macam, yakni metode global (al-ijmali) dan metode detail (al-ithnaby).
4.      Metode penafsiran ditinjau dari aspek sasaran dan sistematika ayat-ayat yang ditafsirkan. Metode penafsiran ini terbagi menjadi dua macam, yakni metode analisis (al-tahlily) dan metode tematik (al-mawhu’y).
Corak penafsiran Qur’an tidak terlepas dari perbedaan, kecenderungan, interest, motivasi mufassir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman [capacity] dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan kondisi, dan sebagainya. Kesemuanya menimbulkan berbagai corak penafsiran yang berkembang menjadi aliran yang bermacam-macam dengan metode-metode yang berbeda-beda.
Metode penafsiran yang banyak dilakukan oleh para mufassir adalah:
1.      Tafsir Bil Ma’tsur atau Bir-Riwayah
Metode penafsirannya terfokus pada shohihul manqul (riwayat yang shohih) dengan menggunakan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran al-Qur’an dengan sunnah, penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para sahabat dan penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in. Yang mana sangat teliti dalam menafsirkan ayat sesuai dengan riwayat yang ada. Dan penafsiran seperi inilah yang sangat ideal yang patut dikembangkan. Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah :
1.      Tafsir At-Tobary (  ( جامع البيان في تأويل أى القران   terbit 12 jilid
2.      Tafsir Ibnu Katsir (العظيم تفسير القران) dengan 4 jilid
3.      Tafsir Al-Baghowy (معالم التنزيل )
4.      Tafsir Imam As-Suyuty   التفسير بالمأثور )   ( الدر المنثور في  terbit 6 jilid.
2.      Tafsir Bir-Ra’yi (Diroyah).
Metode ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.      Ar-Ro’yu al Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan beberapa syarat diantaranya:
·         Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai al-Qur’an dan as-sunnah.
·         Tidak berseberangan penafsirannya dengan penafsiran bil ma’tsur, Seorang mufassir harus menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir beserta perangkat-perangkatnya.
Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi ini diantaranya :
1.      Tafsir Al-Qurtuby  - الجامع لأحكام القران 
2.      Tafsir Al-Jalalain - تفسير الجلالين
3.      Tafsir Al-Baidhowy  - التأويل  التنزيل و أسرار  أنوار   .
2.      Ar-Ro’yu Al- mazmumah (penafsiran dengan akal yang dicela / dilarang), karena bertumpu pada penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri. Dan istinbath (pegambilan hukum) hanya menggunakan akal/logika semata yang tidak sesuai dengan nilai-nilali syariat Islam. Kebanyakan metode ini digunakan oleh para ahli bid’ah yang sengaja menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan keyakinannya untuk mengajak orang lain mengikuti langkahnya. Juga banyak dilakukan oleh ahli tafsir priode sekarang ini. Diantara contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah:
·         Tafsir Zamakhsyary (الكشاف عن حقائق التنزيل و عيون الأقاويل في وجوه التأويل ).
·         Tafsir syiah “Dua belas” seperti (مرأة الأنوار و مشكاة الأسرار للمولي عبد اللطيف الكازاراني ) jugaمع البيان لعلوم القران لأبي الفضل الطبراسي.
·         Tafsir As-Sufiyah dan Al-Bathiniyyah seperti tafsir حقائف التفسير للسلمي و عرائس البيان في حقائق القران لأبي محمد الشيرازي
3.      Metode Ijmali.
Metode tafsir ijmaly yaitu menafsirkan al-Quran dengan cara singkat dan global tanpa ada uraian panjang lebar. Metode ijmaly (Global) menjelaskan ayat-ayat al-Quran secara ringkas tapi mencakup bahasa yang lebih umum dikenal, lebih luas, mudah dimengerti, dan enak dibaca.  Sistematika penulisannya mengikuti susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Penyajiannya tidak terlalu jayh dari gaya bahasa al-Quran.
Dengan demikian, cirri-ciri dan jenis tafsir Ijmali mengikuti urut-urutan ayat demi ayat menurut tertib mushaf seperti halnya tafsir Tahlili. Perbedaanya dengan tafsir tahlili adalah tafsir ijmali makna ayatnya diungkapkan secara ringkas dan global tetapi cukup jelas, sedangkan tafsir tahlili makna ayat diuraikan secara terperinci dengan tinjauan berbagai segi dan aspek yang diulas secara panjang lebar.
Ciri-ciri umum metode ijmali adalah :
1.      cara seorang mufassir melakukan penafsiran, di mana seorang mufassir langsug menafsirkan ayat al-Qur'an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul.
2.      mufassir tidak banyak mengemukakan pendapat dan idenya.
3.      mufassir tidak banyak memberikan penafsiran secara rinci tetapi ringkas dan umum, meskipun pada beberapa ayat tertentu memberikan penafsiran yang agak luas, namun tidak pada wilayah analitis.
Sebagai contoh : “penafsiran yang diberikan tafsir al-Jalalain terhadap 5 ayat pertama dari surat al-Baqarah, tampak tafsirnya sangat singkat dan global hingga tidak ditemui rincian atau penjelasan yang memadai. Penafsiran tentang الم misalnya, dia hanya berkata : Allah Maha Tahu maksudnya. Dengan demikian pula kata al kitaabah الكتا ب penafsiran hanya dikatakan : Yang dibacakan oleh Muhammad. Begitu seterusnya, tanpa ada rincian sehingga penafsiran 5 ayat itu hanya dalam beberapa baris saja.
            Berbeda dengan tafsir tahlili (analitis), al-Maraghi, misalnya, untuk menjelaskan 5 ayat pertama itu membutuhakn 7 halaman. Hal ini disebabkan uraiannya bersifat analitis dengan mengemukakan berbagai pendapat dan didukung oleh fakta-fakta dan argument-argumen, baik berasal dari al-Quran atau hadist-hadist Nabi serta pendapat para sahabat dan tokoh ulama’, juga tidak ketinggalan argument semantic.
            Disinilah, metode ijmali dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran juga memiliki kelebihan dan kelemahan, antara lain sebagai berikut:
Ø  Kelebihan.
1.      Praktis dan mujdah dipahami oleh umat dari berbagai strata social dan lapisan masyarakat.
2.      Bebas dari penafsiran kemungkinan israiliyat.
3.      Akrab dengan bahasa al-Quran, karena tafsir ini dengan metode glonal menggunakan bahasa yang singkat dan akrab dengan bahasa arab tersebut.

Ø  Kelemahan.
a.       Menjadikan petunjuk al-Quran bersifat parsial, padahal al-Quran merupakan satu-kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang utuh, tidak terpecah-pecah, hal-hal yang global atau samar-samar di dalam satu yat, maka pada ayat yang lain ada penjelasan yang lebih rinci. Dengan menggabungkan kedua ayat tersebut akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.
b.      Tidak ada naungan untuk mengemukakan analisi yang memadai. Tafsir yang memakai metode ijmali tidak menyediakan naungan untuk memberikan uraian yang luas, jika menginginkan adanya analisis rinci, metode global tidak dapat diandalkan. Ini disebut suatu kelemahan yang disadari oleh mufassir yang menggunakan metode ini.


4.      Metode Tahlili.
Secara etimologis, tahliliy berasal dari bahasa Arab: hallala – yuhallilu – tahlil, yang berarti “mengurai” atau “menganalisis”. Dengan demikian yang dimaksud dengan tafsir tahliliy adalah suatu metode penafsiran yang berusaha menjelaskan al Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh al Qur’an.
Metode tafsir analisis ialah menafsirkan ayat-ayat al-quran dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalam ayat-ayat al-Quran yang ditafsirkan itu, serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Mufassir membahas al-Quran ayat demi ayat yang tersusun di dalam al-Quran. Tafsir yang memakai pendekatan ini mengikuti naskah al-Quran dan menjelaskannya dengan cara sedikit demi sedikit, dengan menggunakan alat-alat penafsiran yang diyakini efektif (seperti mengandalkan pada arti-arti harfiah, hadits atau ayat-ayat lain yang mempunyai beberapa kata atau pengertian yang sama dengan ayat yang sedang dikaji), sebatas kemampuanyya di dalam membantu menerangkan makna bagian yang sedang ditafsirkan, sambil memperhatikan konteks naskah tersebut.
Metode tafsir ini berusaha untuk menerangkat arti ayat-ayat al-Quran dari berbagai seginya, berdasarkan urut-urutan ayat atau surah dalam mushaf, dengan menonjolkan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan surah-surahnya, sebab-sebabnya turunnya, hadits yang berhubungan dengannya, pendapat-pendapat para mufassir terdahulu dan mufassir itu sendiri diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya.
            Ciri-ciri metode  tahlili.
Penafsiran  yang mengikuti metode  ini  dapat mengambil bentuk ma’tsur [riwayat] atau ra’y [pemikiran]:
  1. Di antara kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-ma’tsur adalah
    •  kitab tafsir Jami’ al-Bayan’an Ta’wil Ayi al-Qur’an karangan Ibn Jarir al-Thabari [w.310H],
    • Ma’alim  al-Tazil karangan al-Baghawi [w.516H],
    • Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [terkenal dengan  tafsir  Ibn Katsir]  karangan  Ibn Katsir  [w.774H], 
    • al-Durr  al-Mantsur fi al-tafsir bi al-Ma’tsur karangan al-Suyuthi [w.911H].
  2. Tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-Ra’y banyak sekali, antara lain:
    • Tafsir Lubāb al-ta’wīl fī ma‘ānī al-tanzīl karya Imam al-Khāzin (w.741 H
    • Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karangan  al-Baydhawi [w.691H],
    • al-Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari [w.538H],
    • ’Arais al-Bayan fi Haqaia al-Qur’an karangan al-Syirazi [w.606H],
    • al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib karangan al-Fakhr al-Razi [w.606H],
    • Madārik al-Tanzīl wa haqā’iq al-ta’wīl karya al-Nasafī (w.701 H)
    • al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an karangan Thanthawi Jauhari,
    • Irshād al-‘aql al-Salīm ilā mazāya al-Kitāb al-karīm karya Abū Sa‘ūd (w.982 H).
    • Tafsir al-Manar karangan Muhammad Rasyid Ridha [w.1935] dan lain-lain.
Jadi,  pola  penafsiran  yang  diterapkan  oleh  para  pengarang  kitab-kitab  tafsir di atas  terlihat, bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an secara  komprehensif  dan menyeluruh,  baik  yang  berbentuk  al-ma’tsur maupun al-ra’y
Untuk lebih mudah mengenal metode tafsir analitis, berikut ini  dikemukakan  beberapa  corak  tafsir  yang  tercakup  dalam  tafsir  tahlili, sebagai contoh, yaitu: Tafsir al-Ma’tsur, yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan nash-nash, baik dengan ayat-ayat al-Qur’an sendiri, dengan hadis-hadis Nabi, dengan pendapat sahabat, maupun dengan pendapat tabiin. Pendapat [aqwal] tabiin masih kontraversi dimasukkan dalam tafsir bil ma’tsur sebab para tabiin dalam memberikan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tidak hanya berdasarkan riwayat yang mereka kutip dari Nabi, tetapi juga memasukkan ide-ide dan pemikiran mereka [melakukan ijtihad]. Tafsir ma’tsur yang paling tinggi  peringkatnya  adalah  tafsir  yang  berdasarkan  ayat  al-Qur’an  yang ditunjuk oleh Rasulullah. Peringkat kedua adalah  tafsir dengan hadis. Di bawahnya adalah tafsir ayat dengan aqwal [pendapat] sahabat dan peringkat  terakhir adalah tafsir ayat dengan aqwal tabiin.
Menurut Husein Dzahabi, ada dua cara yang ditempuh oleh para ulama dalam memberikan tafsir bi al-ma’tsūr ini: Pertama, marhala syafahiyya (penuturan lisan) yang disebut dengan marhala riwā’iyya, di mana seorang sahabat meriwayatkannya dari Rasulullah, atau dari sesama sahabat, atau seorang tabi’i meriwayatkan melalui jalan seorang sahabat, dengan cara penukilan yang terpercaya, mendetail, dan terjaga melalui isnad, sampai pada tahap selanjutnya. Kedua, marhala tadwīn, dengan cara menuliskan riwayat yang ditunjukkan seperti di dalam marhala yang pertama. Hal ini seperti juga ditunjukkan dalam kitab-kitab hadis sejak masa awal hingga berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu yang terpisah.
Tafsir al-Ra’y, yaitu  tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang didasarkan pada ijtihad mufasirnya dan menjadikan akal fikiran sebagai pendekatan utamanya. ”tafsiri  al-ra’y  yang menggunakan metode  analitis  ini,  para mufassir memperoleh  kebebasan,  sehingga mereka  agak  lebih  otonom  [mandiri] berkreasi  dalam memberikan  interpretasi  terhadap  ayat-ayat  al-Qur’an selama masih dalam batas-batas  yang diizinkan oleh  syara dan  kaidah kaidah penafsiran yang mu’tabar. Itulah salah satu sebab yang membuat tafsir dalam bentuk al-ra’y dengan metode analitis dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam sekali seperti tafsir fiqhi, falsafi, sufi, ’ilmi, adabi ijtima’i, dan lain sebagainya. Tafsir bi al-ra’y berkembang jauh lebih pesat meninggalkan tafsir bi al-ma’tsur, sebagaimana diakui oleh ulama tafsir semisal Manna’ al-Qhathathan[5].
Para ulama  telah menetapkan syarat-syarat  diterimanya  tafsir  ra’y  yaitu,  bahwa  penafsirnya:  [1]  benar-benar menguasai  bahasa Arab  dengan  segala  seluk  beluknya,  [2] mengetahui asbabun al nuzul, nasikh-mansukh, ilmu qira’at dan syarat-syarat keilmuan lain, [3] tidak menginterpretasikan hal-hal yang merupakan otoritas Tuhan untuk mengetahuinya,  [4]  tidak menafsirkan ayat-ayat berdasarkan hawa nafsu dan intres pribadi, [5] tidak menafsirkan ayat berdasarkan aliran atau paham yang jelas batil dengan maksud justifikasi terhadap paham tersebut, [6] tidak menganggap bahwa tafsirnya yang paling benar dan yang dikehendaki oleh Tuhan tanpa argumentasi yang pasti.
Metode tahlili [analitis] juga memiliki kelemahan dan kelebihan, diantarnya
1.      Kelebihan:
a.       Ruang lingkup yang luas: Metode analisis mempunyai  ruang  lingkup yang  termasuk  luas. Metode  ini dapat digunakan  oleh mufassir  dalam  dua  bentuknya; ma’tsur  dan  ra’y  dapat dikembangkan dalam berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufassir.
b.      Memuat berbagai  ide: metode analitis relatif memberikan kesempatan yang  luas kepada mufassir untuk mencurahkan  ide-ide dan gagasannya dalam menafsirkan al-Qur’an. Itu berarti, pola penafsiran metode ini dapat menampung berbagai ide yang terpendam dalam bentuk mufassir termasuk yang ekstrim dapat ditampungnya. Dengan  terbukanya pintu  selebar-lebarnya  bagi mufassir  untuk mengemukakan  pemikiran-pemikirannya dalam menafsirkan al-Qur’an, maka lahirlah kitab tafsir berjilid-jilid seperti kitab Tafsir al-Thabari [15 jilid], Tafsir Ruh al-Ma’ani [16 jilid], Tafsir al-Fakhr al-Razi [17 jilid], Tafsir al-Maraghi [10 jilid], dan lain-lain.
2.      Kelemahan
a.       Menjadikan petunjuk  al-Qur’an parsial atau  terpecah-pecah,tidak  utuh  dan  tidak  konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang  diberikan  pada  ayat-ayat  lain  yang  sama  dengannya. Terjadinya perbedaan, karena kurang memperhatikan ayat-ayat  lain yang mirip atau sama dengannya.
b.      Melahirkan penafsir subyektif dan tidak mustahil pula ada di antara mereka yang menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kemauan hawa nafsunya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah  atau  norma-norma  penafsiran.
c.       Masuknya  pemikiran Israiliat  sebab berbagai  pemikiran  mufassir dapat masuk ke  dalamnya,  tidak  tercuali  pemikiran  Israiliat Contohnya,  kitab tahlili seperti  dalam  penafsiran  al-Qurthubi  tentang penciptaan manusia pertama, termaktub di dalam ayat 30 surah al-Baqarah disini terselib cerita israiliyyat.
D.    Berbagai corak kitab tafsir.
Contoh Kitab Tafsir Dan Metodologi Penulisannya
Nama Kitab : جامع البيان في تفسير أي القران atau yang lebih dikenal dengan
tafsir al-Tabary.
Pengarangnya : Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thobary (224 – 310 H)
Jumlah jilid : 12 jilid besar.
Keistimewaannya : Tafsir ini merupakan referensi bagi para mufassirin terutama penafsiran binnaqli/biiriwayah. Tafsir bil aqli karena istinbath hukum, penjabaran berbagai pendapat dengan dan mengupasnya secara detail disertai analisa yang tajam. Ia merupakan tafsir tertua dan terbagus.

Metodologi Penulisannya:

Penulis menafsirkan ayat al-Qur’an dengan jelas dan ringkas dengan menukil pendapat para sahabat dan tabi’in disertai sanadnya. Jikalau dalam ayat tersebut ada dua pendapat atau lebih, di sebutkan satu persatu dengan dalil dan riwayat dari sahabat maupun tabi’in yang mendukung dari tiap-tiap pendapat kemudian mentarjih (memilih) diantara pendapat tersebut yang lebih kuat dari segi dalilnya. Beliau juga mengii’rob (menyebut harakat akhir), mengistimbat hukum jikalau ayat tersebut berkaitan dengan masalah hukum. Ad-Dawudy dalam bukunya “Thobaqah al-Mufassirin“ mengomentari metode ini dengan ungkapannya:“ Ibnu jarir telah menyempurnakan tafsirnya dengan menjabarkan tentang hukum-hukum, nasih wal mansuh, menerangkan mufrodat (kata-kata) sekaligus maknanya, menyebutkan perbedaaan ulama’ tafsir dalam masalah hukum dan tafsir kemudian memilih diantara pendapat yang terkuat, mengi’rob kata-kata, mengkonter pendapat orang-orang sesat, menulis kisah ,berita dan kejadian hari kiamat dan lain-lainnya yang terkandung didalamnya penuh dengan hikmah dan keajaiban tak terkira kata demi kata, ayat demi ayat dari isti’adzah sampai abi jad (akhir ayat). Bahkan jikalau seorang ulama’ mengaku mengarang sepuluh kitab yang diambil dari tafsir ini, dan setiap kitab mengandung satu disiplin keilmuan dengan keajaiban yang mengagungkan akan diakuinya (karangan tersebut).

2. Tafsir Ibnu Katsir
Nama kitab : تفسير القران العظيم lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir.
Jumlah jilid : 4 Jilid
Nama penulis : Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Amr bin Katsir (w 774 H)
Keutamaanya : Merupakan tafsir terpopuler setelah tafsir At-Thobary dengan metode bil ma’tsur.

Metodologi penulisannya:

Penulis sangat teliti dalam mentafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menukil perkataan para salafus sholeh. Ia menafsirkan ayat dengan ibarat yang jelas dan mudah dipahami. Menerangkan ayat dengan ayat yang lainnya dan membandingkannya agar lebih jelas maknanya. Beliau juga menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut dilanjutkan dengan penafsiran para sahabat dan para tabi’in. Beliau juga sering mentarjih diantara beberapa pendapat yang berbeda, juga mengomentari riwayat yang shoheh atau yang dhoif(lemah). mengomentari periwayatan isroiliyyat. Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, ia menyebutkan pendapat para Fuqaha (ulama’ fiqih) dengan mendiskusikan dalil-dalilnya, walaupun tidak secara panjang lebar. Imam Suyuthy dan Zarqoni menyanjung tafsir ini dengan berkomentar ;” Sesungguhnya belum ada ulama’ yang mengarang dalam metode seperti ini “.
3. Tafsir Al-Qurtuby
Nama kitab : الجامع لأحكام القران
Jumlah jilid : 11 jilid dengan daftar isinya.
Nama penulisnya : Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurtuby (w 671 H).
Keutamaanya : Ibnu Farhun berkata,” tafsir yang paling bagus dan paling banyak manfaatnya, membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat dalil, serta menerangkan I’rob, qiroat, nasikh dan mansukh”.
Metode penulisannya :
Penulis terkenal dengan gaya penulisan ulama’ fiqih., dengan menukil tafsir dan hukum dari para ulama’ salaf dengan menyebutkan pendapatnya masing-masing. Dan membahas suatu permasalahan fiqhiyah dengan mendetil. Membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat dalil, juga I’rob, qiroat, nasikh dan mansukh. Beliau tidak ta’assub (panatik) dengan mazhabnya yaitu mazhab Maliki.

4. Tafsir Syinqithy
Nama kitab : أضواء البيان في إيضاح القران بالقران
Jumlah jilid : 9 jilid.
Nama penulisnya : Muhammad Amin al-Mukhtar As-Syinqithy
Metodologi penulisannya:
Menekankan penafsiran bil-ma’tsur dengan dilengkafi qira’ah as-sab’ah dan qiro’ah syadz (lemah) untuk istisyhad (pelengkap). Menerangkan masalah fiqih dengan terperinci, dengan menyebut pendapat disertai dalil-dalilnya dan mentarjih berdasarkan dalil yang kuat. Pembahasan masalah bahasa dan usul fiqih. Beliau wafat dan belum sempat menyelesaikan tafsirnya yang kemudian dilengkapi oleh murid sekaligus menantunya yaitu Syekh ‘Athiyah Muhammad Salim.
E.     Israiliyat dalam kitab tafsir
al-Israiliyat ialah berita-berita yang dibawa daripada Bani Israil yang terdiri daripada Yahudi (lebih banyak) dan Nasrani. Berita-berita ini terbahagi kepada 3 kategori:
1.  Berita yang diktiraf oleh Islam dan disahkan benar. Hukumnya adalah benar.
 Contohnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari daripada Ibnu Mas‘ud:
جاء حبر من الأحبار إلى رسول الله  صلى الله عليه وسلم فقال:
يا محمد، إنا نجد أن الله يجعل السماوات على إصبع، وسائر الخلائق على إصبع
فيقول: أنا الملك، فضحك النبي  صلى الله عليه وسلم حتى بدت نواجذه تصديقا لقول الحبر،
ثم قرأ رسول الله  صلى الله عليه وسلم:
 (وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَلأَرْضُ جَمِيعاً قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ
بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ).[1]

Maksudnya:
 “Telah datang seorang pendita Yahudi kepada Rasulullah s.a.w. dan berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya kami dapati (dalam kitab kami) bahawa Allah meletakkan tujuh petala langit atas satu jari, tujuh petala bumi atas satu jari, segala pokok atas satu jari, air dan tanah atas satu jari dan seluruh makhluk atas satu jari lalu berkata, “Akulah raja.” Mendengar itu, Nabi tergelak sehingga ternampak gusinya, membenarkan kata-kata pendita itu. Kemudian Baginda membaca (ayat 67 surah al-Zumar 39 yang bermaksud): “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggamanNya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kananNya. Maha suci Tuhan dan maha tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.”

3.      Berita yang ditolak oleh Islam dan disahkan bohong. Hukumnya adalah batil. 
Contohnya ialah riwayat daripada Jabir katanya:
 “Dahulu golongan Yahudi mengatakan sekiranya lelaki mendatangi isterinya daripada arah belakang, anak akan jadi juling. Kemudian turun ayat (al-Baqarah 2:223):
 Maksudnya:
 Isteri-isterimu ialah seperti tanah tempat kamu bercucuk tanam, maka datangilah tanah tempat bercucuk tanam kamu itu bagaimana sahaja kamu kehendaki (melalui faraj).

3.  Berita yang tidak diiktiraf dan tidak pula ditolak oleh Islam.
Hukumnya adalah ditangguhkan berdasarkan kepada hadith daripada Abu Hurairah:
كان أهل الكتاب يقرؤون التوراة بالعبرانية، ويفسرونها بالعربية لأهل الإسلام،
فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا تصدقوا أهل الكتاب ولا تكذبوهم ،
وقولوا: (آمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ) الآية.[3]
Maksudnya:
 “Dahulu Ahli Kitab membaca al-Taurat dalam bahasa Ibraniyah dan mentafsirkannya dalam bahasa Arab untuk orang Islam. Lalu Rasulullah s.a.w. bersabda: “Jangan percaya Ahli Kitab dan jangan dustakan mereka. Katakanlah “Kami telah beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu.” (al-Ankabut 29:46).
 Akan tetapi, membincangkan berita jenis ini tidak mengapa jika tidak ditakuti membawa keburukan berdasarkan sabda Baginda s.a.w.:
بلغوا عني ولو آية، وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج،
ومن كذب على متعمدا فليتبوأ مقعده من النار.[4]
Maksudnya:
  “Sampaikanlah daripadaku satu ayat, ceritalah daripada Ahli Kitab tanpa keberatan. Sesiapa yang menipu ke atasku secara sengaja, hendaklah dia sediakan tempat duduknya di dalam neraka.”
 Kebanyakan berita-berita yang diriwayatkan daripada mereka tidak mempunyai faedah dalam agama.
Contohnya ialah warna anjing Ashab al-Kahfi dan sebagainya.
Berkenaan dengan pertanyaan Ahli Kitab tentang urusan agama, hukumnya adalah haram berdasarkan hadith daripada Jabir bin Abdullah, bahawa diriwayatkan Rasulullah s.a.w. bersabda:
لا تسألوا أهل الكتاب عن شئ؛ فإنهم لن يهدوكم، وقد ضلوا،
فإنكم إما أن تصدقوا بباطل، أو تكذبوا بحق،
وإنه لو كان موسى حيا بين أظهركم ما حل له إلا أن يتبعني.[5]
Maksudnya:
 “Jangan tanya Ahli Kitab berkenaan sesuatupun. Sesungguhnya mereka tidak dapat memberi hidayah kepada kamu dan mereka telah sesat. Justeru, kemungkinannya ialah kamu membenarkan yang batil atau mendustakan yang benar (akibat daripada bertanya kepada Ahli Kitab). Sesungguhnya jika Musa hidup di antara kamu, tidak halal baginya kecuali mengikut aku.”
Abdullah bin Abbas berkata:
يا معشر المسلمين كيف تسألون أهل الكتاب عن شئ،
وكتابكم الذي أنزل الله على نبيكم صلى الله عليه وسلم أحدث الأخبار بالله محضا،
لم يشب، وقد حدثكم أن أهل الكتاب قد بدلوا من كتاب الله،
وغيروا، فكتبوا بأيدهم، قالوا: هو من عند الله؛
ليشتروا بذلك ثمنا قليلا أو لا ينهاكم ما جاءكم من العلم عن مسألتهم؟
فلا والله رأينا رجلا منهم يسألكم عن الذي أنزل إليكم
Maksudnya:
  “Wahai golongan yang beriman, bagaimanakah boleh kamu bertanya Ahli Kitab tentang sesuatu sedangkan kitab kamu yang Allah turunkan ke atas nabiNya adalah berita-berita terkini tentang Allah yang segar dan belum tua. Allah telah memberitahu kamu semua bahawa Ahli Kitab telah menukar kitab Allah dan menulisnya dengan tangan-tangan mereka dan mengatakan ianya adalah daripada Allah untuk mendapat ganjaran wang yang sedikit. Tidakah pengetahuan kamu tentang mereka cukup untuk menegah kamu?  Dan demi Allah, tidak pernah pula ada di antara mereka yang bertanya kamu tentang apa yang diturunkan kepada mereka.”

·         Pendirian Ulama Dalam Al-Israiliyat
 Berkenaan dengan berita al-Israiliyat, para ulama khususnya para mufassirin terbagi empat:
  1. Ada di antara mereka yang membawa berita al-Israiliyat bersama sanad-sanadnya. Mereka berpendapat dengan membawa sanad-sanadnya mereka terlepas daripada tanggungjawab. Contohnya Ibnu Jarir al-Tabari.
  2. Ada di antara mereka yang banyak membawa berita al-Israiliyat, kebanyakannya tanpa sanad-sanadnya. Mereka ini ibarat pemungut kayu api di waktu malam.

Contohnya ialah Imam al-Baghawi di mana Imam Ibnu Taimiyah telah berkata berkenaan tafsirnya:
Sesungguhnya tafsir al-Baghawi adalah ringkasan daripada tafsir al-Tha‘labi, cuma beliau (al-Baghawi) telah memeliharanya daripada hadith-hadith maudhu’ dan pendapat-pendapat yang direka.
 Ibnu Taimiyah berkata tentang al-Tha‘labi pula:
Sesungguhnya dia adalah pemungut api di waktu malam. Dia akan menukilkan apa sahaja yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir samada sahih, dhaif atau maudhu’.
  1. Ada di antara mereka yang membawa berita-berita al-Israiliyat dan menilai  sesetengahnya dengan menyifatkannya dhaif atau ditolak. Contohnya ialah Imam Ibnu Kathir.
  2. Ada di antara mereka yang bersungguh-sungguh menolak berita-berita al-Israiliyat dan tidak membawanya sebagai tafsir al-Quran langsung. Contohnya Syaikh Muhammad Rasyid Ridha.[6]



BAB III
DAFTAR PUSTAKA

·         M. Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 1992). hlm. 72.
·         Abdul Jalal, Urgensi Tafsir Madhui Pada Masa Kini, (Jakarta : Kalam Mulia, 1990), hlm. 64-71.
·         M. Ridlwan Nasir, Teknik Pengembangan Metode Tafsir Muqarin;Dalam Perspektif Pemahaman Al Qur’an (Surabaya;IAIN Sunan Ampel) 1997) Hal. 5-8 ,Naskah Pidato Guru Besar ilmu Tafsir Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel.
·         Manna.Khalil Al-Qattan, Mabahith fi ’Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurah al- ’Ashr al-Hadith. 1973). 





[1] http://www.facebook.com/note.php?note_id=99229774794
[2] M. Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 1992). hlm. 72.

[3]   Abdul Jalal, Urgensi Tafsir Madhui Pada Masa Kini, (Jakarta : Kalam Mulia, 1990), hlm. 64-71.
[4]   M. Ridlwan Nasir, Teknik Pengembangan Metode Tafsir Muqarin;Dalam Perspektif Pemahaman Al Qur’an (Surabaya;IAIN Sunan Ampel) 1997) Hal. 5-8 ,Naskah Pidato Guru Besar ilmu Tafsir Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel
[5] Manna.Khalil Al-Qattan, Mabahith fi ’Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurah al- ’Ashr al-Hadith. 1973).  342


[6] http://www.hafizfirdaus.com/ebook/Ushul%20Tafsir/tafsir11.htm

1 komentar: