1.Apa yang anda ketahui tentang hadist, sunnah, hadist
qudsi, khabar, atsar, dan hadist
maudhu’.jelaskan secara singkat ( beri contoh lafad arabnya masing-masing
minimal satu beserta prowinya).
Hadist
Secara bahasa :
Secara bahasa :
- Al-Jiddah yaitu
baru, dalam arti sesuatu yang ada setelah tidak ada, atau sesuatu yang
wujud setelah tidak ada.
- Ath-Thahari yaitu
lunak, lembut dan baru.. dalam artian menurut Ibnu Faris bahwa berita itu
kalam yang dating silih berganti bagaikan perkembangan usia yang silih
berganti.
- Khabar yaitu berita, pembicaraan dan
perkataan.
Secara istilah :
- Menurut Ahli Hadits adalah “Segala sesuatu
yang diberitakan dar Nabi SAW baik berupa sabda, perbuatan, taqrir,
sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi.”
1. Menurut Ahli Ushul adalah “Segala sesuatu yang dikeluarkan
dari Nabi SAW selai al-qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir
Nabi yang bersangkutan dengan hukum syara’
Al-hadits
didefinisikan oleh pada umumnya ulama –seperti definisi Al-Sunnah– sebagai
“Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan
dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau
menjadi nabi maupun sesudahnya.” Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis
hanya pada “ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum”;
sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan
hukum, maka ketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti
yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari
wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan
ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.
إْنًّ اّلحديث
لا يختص بالمرفوع اليه صلى الله عليه وسلم بل جاء باِ طلا قه أيضاً للموقوف (
وهوما أضيف الى الصحا بي من قول أو نوه) والمقطوع ( وهو ما أضيف للتا بعي كد لك) (
روه البخارى)
“Sesungguhnya hadist bukan hanya yang di marfukan kepada Nabi
Muhammad SAW., melainkan dapat pula di di sebutkan pada yang mauquf ( di
nisbatkan pada perkataan dan sebagainya dari sahabat) dan maqthu’ ( di
nisbatkan pada perkataan dan sebagainya dari tabiin). (H.R. Bukhari)
Sunnah
Secara bahasa adalah “ perjalanan yang baik
maupun tercela “. Dan ada yang mengartikan “jalan dan kebiasaan yang baik
maupun yang tercela “. Makna Sunnah yang lain adalah kontiniu “ ( al-fath :23 )
Secara
istilah pengertian sunnah terdapat perbedaan pendapat :
1.
Sunnah
menurut Ahli Hadits adalah perkataan, perbuatan, ketetapan, atau tingkah laku
Nabi Muhammad SAW, baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudahnya.
2.
Sunnah
menurut Ahli Ushul adalah sabda Nabi Muhammad yang bukan berasal dari
al-qur’an, perbuatan ataupun ketetapan Nabi SAW.
Dari sudut
terminologi, para ahli hadist tidak membedakan antara hadist dan sunnah.
Menurut mereka, hadist atau sunnah adalah hal-hal yang bersal dari Nabi
Muhammad SAW. Baik berupa perkataan, perbutan, maupun sifat beliau, sebelum
beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya.
Pada
dasarnya Sunnah sama dengan hadist ,namun dapat di bedakan dalam pemaknaanya,
seperti yang di ungkapkan oleh M.M. Azami bahwa sunnah berarti model kehidupan Nabi SAW.
Sedangkan hadist adalah periwayatannya dari model kehidupan Nabi SAW tersebut.
لَتتبعن سنن
من قبلكم شبرًا بشبرٍ ودراعًا بدرًاعٍ حتى لو سلكوا حُجْرَ ضَبّ سَلَكتموه ( رواه البخارى ومسلم )
Sungguh kamu
akan mengikuti sunnah-sunnah ( perjalanan-perjalanan) orang yang sebelum mu
sejengkal demi sejengkal,sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka
memasuki sarang dhap ( serupa biawak) sungguh kamu memasuki juga. (H.R.Bukhari
dan Muslim)
Hadist Qudsi
Secara Bahasa berasal dari kata
qadusa, taqdusu, qudsan, artinya suci atau bersih. Jadi, hadist qudsi secara
bahasa adalah hadist yang suci.
Secara
terminologi, terdapat banyak definisi dengan redaksi yang berbeda-beda. Akan
tetapi, dari semua definisi tersbut, dapat di tarikkesimpulan bahwa hadist
qudsi adalah segala sesuatu yang di beritakan Allah SWT. Kepada nabi SAW,
selain Al-Qur’an, yang redaksinya di susun oleh Nabi SAW.
مَا أَخْبَرُ
اللّهُ نَبِيّهُ تَا رَةً بِالْوَحْي وَتَارَةً بِاْلاءِلهَام وَتَارَةً
بِالْمَنَامِ مُفَوَّضًا إِلَيْهِ ألتَّعْبيْرُوْ بِأَيِّ عبَارَةٍ شَاءِ
Sesuatu yang
di beritakan oleh Allah SW, terkadang melalui wahyu,ilham, atau mimpi, dengan
redaksinya yang di serahkan kepada Nabi SAW.
Di sebut
hadist karena redaksinya di susun sendiri oleh Nabi SAW dan di sebut qudsi
karena hadist ini suci dan bersih (At-thaharah wa At-tanzih) dan
datangnya dari Dzat yang maha suci. Hadist qudsi ini juga sering di sebut
dengan hadist ilahiyah atau hadist rabbaniyah. Di sebut ilahi
atau rabbani karena hadist ini datang dari Allah rabb al ‘alamin.
Dalam hal
ini Rosulullah juga bersabda:
عَنِ
الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ رَسُوْلِ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أِنَّهُ قَالَ:أَلَا إِنِّى أُوتِيْتُ الْكِتَابَا وَمِثْلَهُ مَعَهُ (رواه
أبوداود واحمد)
Dari Miqdam bin
Ma’di Kariba, dari rosulullah SAW, beliau bersabda, “ingatlah sesungguhnya aku
di beri Al-kitab (Al-Qur’an) dan semisalnya bersamanya. ( H.R.Abu
Daud dan Ahmad).
Khabar
secara bahasa ialah beritayang di sampaikan dari seseorang kepada orang lain. Bentuk jamaknya akhbar.
secara bahasa ialah beritayang di sampaikan dari seseorang kepada orang lain. Bentuk jamaknya akhbar.
Secara istilah segala
sesuatu yang di sandarkan pada Nabi (baik secara marfu’, mauqhu’ dan manthu’(
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ قَالَ: مَا أُضِيْفَ إلَى النّبِيِّ صَلَى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَوْغَيْرِهِ ( هرواه مسلم)
"segala
sesuatu yang di sandarkan atau berasal dari Nabi SAW, atau dariyang sselain
Nabi SAW.
Atsar
Secara
bahasa; memiliki
pengertian yang sama dengan sunnah, Hadits dan khabar.
Segi bahasa berarti sisa dari sesuatu, yaitu peninggalan atau bekas Nabi karena Hadits itu bekas beliau.
Segi bahasa berarti sisa dari sesuatu, yaitu peninggalan atau bekas Nabi karena Hadits itu bekas beliau.
Secara
istilah ada dua pendapat; ada yang mengatakan bahwa Atsar sama
dengan Hadits, maka keduanya adalah sama. Dan ada yang berpendapat bahwa Atsar
berbeda dengan Hadits, yaitu apa yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in,
baik berupa ucapan dan perbuatan mereka.
Dari pengertian tentang Hadist, sunnah,
khabar, dan atsar sebagaimana di uraikan di atas, menurut ahli jumhur ulama
ahli hadist, dapat di pergunakan untuk maksud yang sama, yaitu bahwa hadist di
sebut juga sunnah, khabar atau atsar. Begitu pula, sunnah dapat di sebut dengan
hadist, habar, atau atsar. Oleh karena itu, hadist mutawattir dapat di sebut
juga sunnah mutawattiratau khabar mutawattir. Begitu juga, hadist shahih dapat
di sebut dengan sunnah shahih, khabar, dan atsar shahih.
Rosulullah
bersabda :
مَنْ كَدَّبَ
عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ( رواه البخارى)
Barang siapa
yang sengaja berdusta atas nama KU, hendaklah ia bersiap-siap menduduki tempat
duduknya di neraka.( H.R.Bukhari)
Hadist Maudhu’
Menurut sebagian ulama hadis, hadis maudhu’ / hadis palsu
adalah hadis yang dibuat-buat oleh seseorang (pendusta) yang dinisbatkan kepada
Nabi Muhammad SAW secara paksa dan dusta baik sengaja maupun tidak disengaja.
Dr. Nawir Yuslem dalam buku Ulm al-Hadits mengemukakan
pandangan yang berbeda dalam memberikan definisi hadis palsu. Menurutnya dari
kata al-wadh dalam pembicaraan hadis Nabi Muhammad SAW mengandung dua
pengerrtian yaitu:
1.
Semata-mata kebohongan (dusta) yang dilakukan terhadap Nabi Muhammad SAW
2.
Aktivitas yang dilakukan dengan sengaja serta mempunyai dampak yang luas dalam
membentuk kebohongan-kebohongan ke dalam hadis-hadis Nabi Muhammad SAW
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
hadis palsu atau maudhu’ adalah hadis yang bukan bersumber dari Nabi
Muhammad SAW akan tetapi merupakan perkataan atau perbuatan dari seseorang atau
pihak tertentu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan tujuan
tertentu.
.
Sejarah Munculnya Hadis Maudhu’
Terdapat perbedaan pendapat mengenai kapan munculnya hadis maudhu’ ini.
Sebagian mengatakan pemalsuan hadis ini sudah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW
masih hidup berdasarkan hadis yang beliau sampaikan yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari. Namun, ada juga sebagian yang mengatakan bhawa pemalsuan hadis ini
muncul pasca peristiwa tahkim dimana untuk menguatkan atau menyokong kelompok
atau golongan masing-masing maka dibuatlah hadis – hadis palsu.
Sejumlah fakta sejarah menyebutkan bahwa latar belakang munculnya hadis
palsu tidak hanya dilakukan oleh umat Islam sendiri tetapi juga dilakukan oleh
orang-orang non Islam. Ada beberapa motif pemalsuan hadis, antara lain:
1.
Pertentangan politik
Menurut kebanyakan ulama hadis pemalsuan hadis terjadi pada masa
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Menurut mereka, hadis-hadis yang ada sejak
masa Rasulullah SAW sampai sebelum terjadinya pertentangan antara Ali bin Abi
Thalib dengan Mu’awiyah bin abi Sufyan masih terhindar dari pemalsuan. Dengan
demikian menurut mereka jelaslah bahwa tidak mungkin terjadi pemalsuan hadis pada
masa Rasulullah SAW. Demikian juga pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin
Khattab dan Utsman bin Affan. Hal ini dapat dibuktikan dengan kegigihan,
kehati-hatian dan kewaspadaan mereka terhadap hadis. Misalnya, kehati-hatian
Abu Bakar dalam meriwayatkan hadis dimana beliau pernah membakar catatan hadis
miliknya yang berisi sekitar lima ratus hadis sebagaimana yang dituturkan oleh
‘Aisyah putri beliau. Hal ini disebabkan karena beliau khawatir salah dalam
meriwayatkan hadis demikian juga Umar dan Utsman, keduanya mengikuti
kehati-hatian Abu Bakar dalam menerima periwayatan hadis.
Berbeda dengan masa ketiga khalifah tersebut, pada masa khalifah Ali
bin Abi Thalib telah terjadi perpecahan umat Islam menjadi golongan-golongan.
Peristiwa tahkim mengakibatkan munculnya dua golongan besar yaitu golongan Ali
dan pendukung Mu’awiyah. Pertentangan kedua belah pihak ini juga mengakibatkan
perpecahan dalam golongan Ali yaitu kelompok pendukung Ali yang disebut Syiah
dan kelompok yang keluar dari golongan Ali yang dinamakan Khawarij.
Pertentangan politik yang terjadi di kalangan umat Islam tersebut
berimplikasi kepada lahirnya sekte-sekte keagamaan dan melahirkan perbedaan
paham di bidang teologi dan diantara pendukung masing-masing aliran membuat
hadis palsu untuk memperkuat dan membela aliran yang mereka anut.
Pertentangan ini semakin tajam dan berlarut-larut sehingga
masing-masing berupaya untuk saling mengalahkan juga berupaya untuk
mempengaruhi dan menarik simpati orang yang tidak berada dalam perpecahan. Dari
sinilah mulai berkembang hadis palsu dimana materi pertama yang diangkat
adalah tentang keunggulan seseorang dan kelompoknya. Tidak mengherankan kenapa
materi pertama adalah mengenai keunggulan masing-masing kelompoknya karena hal
ini dipengaruhi oleh perebutan kekuasaan sehingga diperlukan hadis yang berisi
pembelaan terhadap kelompoknya.
2.
Usaha Kaum Zindik
Kaum Zindik adalah termasuk kelompok yang sangat membenci Islam, baik
Islam sebagai agama maupun Islam sebagai dasar pemerintahan. Mereka adalah orang-orang
yang hatinya tidak senang dengan penyebaran Islam yang begitu pesat dan
kejayaan pemerintahannya. Mereka merasa sakit hati melihat orang-orang
berbondong-bondong masuk agama Islam karena Islam menjamin kemerdekaan
berfikir, sangat menghormati hak asasi manusia serta sigap dalam melenyapkan
konsepsi yang salah, kesesaatan dan tipu muslihat. Kelompok ini menyadari bahwa
tidak mungkin melampiaskan kebencian melalui pemalsuan al-Qur’an, maka cara
yang paling jitu adalah melalui
pemalsuan hadis dengan maksud menghancurkan umat Islam.
السماء
من عرقهم، فقالوا نشهد أنك رسول الله صلى الله عليه وسلم إن نفرا من اليهود أتوا
الرسول صلى الله عليه وسلم فقالوا من يحمل العرش؟ فقال،تحمله الهوام يقرونها
والمجرة التى ف( رواه داود)
Diantara hadis palsu yang mereka buat adalah :
“ Sekelompok orang Yahudi dating kepada
Rasulullah SAW kemudian bertanya, “siapakah yang membawa Arsy?” Beliau
menjawab, “Arsy itu dibawa oleh binatang-binatang yang berbisa dengan
tanduk-tanduknya bimasakti yang ada di langit berasal dari keringat mereka.
Mereka berkata, “kami bersaksi bahwa engkau Rasulullah’”. ( H.R.Abu Daud)
Dari hadis tersebut di atas tidak mungkin dibuat oleh orang Islam dan
orang yang berakal. Dengan demikian kaum Zindik ini sangat membahayakan Islam
daripada yang lainnya.
3.
Fanatik Terhadap Suku, Bangsa, Negara dan Pimpinan
Kemunculan hadis
palsu ternyata didorong pula oleh sikap ego dan fanatic buta serta ingin
menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok, dan lain-lain.
Pangkal pemalsuan hadis-hadis tentang kelebihan sebagian suku bangsa
Arab adalah karena dibangkitkannya rasa fanatisme kabilah yang muncul dalam
dinasti Umayyah setelah meninggalnya Yazid bin Mu’awiyah. Dalam menjalankan
pemerintahannya, dinasti Umayyah secara khusus mengandalkan etnis Arab sehingga
memandang kaum muslimin non-Arab tidak sesuai dengan jiwa Islam. Diantara hadis
palsu tersebut adalah:
أبغض
الكلام إلى الله الفارسية وكلام الشياطين الخوزية وكلام أهل النار البخارية وكلام
أهل الجنة العربية
“Bahasa yang
paling dibenci oleh Allah adalah bahasa Persia, bahasa setan adalah bahasa
Khauzi, bahasa penghuni neraka adalah bahasa Bukhara dan bahasa surga adalah
bahasa Arab”.
Mereka yang non Arab merasakan adanya diskriminasi tersebut. Oleh
karena itu, mereka juga membuat tandingannya dengan membuat hadis palsu juga
yang isinya menjelaskan kelebihan-kelebihan mereka. Diantaranya adalah:
إن
كلام الذين حول العرش بالفارسية وإن الله إذا أوحى أمرا فيه لين أوحاه بالفارسية
وإذا أمرا فيه شدة أوحاه بالعربية
“Sesungguhnya
pembicaraan orang-orang yang berada di sekitar Arsy adalah dengan bahasa Persia
dan sesungguhnya jika Allah mewahyukan sesuatu yang lunak (menggembirakan) maka
Allah mewahyukannya dengan bahasa Persia dan jika Dia mewahyukan sesuatu yang
keras (ancaman) maka Dia mewahyyukannya dengan bahasa Arab.
2.kapan dan kenapa
di adakanya tadwinul hadist ???
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bi Abdul Azis yakni tahun 99 Hijriyah
datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadits, Maka pada tahun 100 H
Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkan kepada gubernur Madinah, Abu Bakar
bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membukukan hadits-hadits Nabi yang
terdapat pada para penghafal.
A. PENULISAN HADIS
Para penulis sejarah
Rasul, ulama hadis, dan umat Islam semuanya sependapat menetapkan bahwa
AI-Quranul Karim memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para
sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabatnya untuk menghapalkan AI-Quran dan
menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah
kurma, di batu-batu, dan sebagainya.
Ketika Rasulullah SAW.
wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu,
ayat-ayat suci AI-Quran seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum
terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam
penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran.
Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena
tidak diperintahkan oleh Rasul sebagaimana ia memerintahkan mereka untuk
menulis AI-Quran. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan
hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka
dengar dari Rasulullah SAW.
Diantara sahabat-sahabat Rasulullah yang mempunyai catatan-catatan hadis
Rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin AS yang menulis, sahifah-sahifah yang
dinamai As-Sadiqah. Sebagian sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan
yang dilakukan oleh Abdullah itu Mereka beralasan bahwa Rasulullah telah
bersabda.
Artinya:
“Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan. ” (HR. Muslim)
“Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan. ” (HR. Muslim)
Dan mereka berkata kepadanya, “Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar
dari Nabi, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau
menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum.” Mendengar ucapan mereka
itu, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. mengenai hal tersebut. Rasulullah
kemudian bersabda:
Artinya:
“Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangannya. tidak keluar dari mulutku. selain kebenaran “.
“Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangannya. tidak keluar dari mulutku. selain kebenaran “.
Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa Ali mempunyai sebuah sahifah dan
Anas bin Malik mempunyai sebuah buku catatan. Abu Hurairah menyatakan: “Tidak
ada dari seorang sahabat Nabi yang lebih banyak (lebih mengetahui) hadis
Rasulullah dari padaku, selain Abdullah bin Amr bin As. Dia menuliskan apa yang
dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya”. Sebagian besar ulama berpendapat
bahwa larangan menulis hadis dinasakh (dimansukh) dengan hadis yang memberi
izin yang datang kemudian.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa Rasulullah tidak menghalangi
usaha para sahabat menulis hadis secara tidak resmi. Mereka memahami hadis
Rasulullah SAW. di atas bahwa larangan Nabi menulis hadis adalah ditujukan
kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukan hadis dengan AI-Quran
Sedangkan izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan
mencampuradukan hadis dengan Al-Quran. Oleh karena itu, setelah Al-Quran
ditulis dengan sempurna dan telah lengkap pula turunannya, maka tidak ada
Jarangan untuk menulis hadis. Tegasnya antara dua hadis Rasulullah di atas
tidak ada pertentangan manakala kita memahami bahwa larangan itu hanya berlaku
untuk orang-orang tertentu yang dikhawatirkan mencampurkan AI-Quran dengan
hadis, dan mereka yang mempunyai ingatan/kuat hapalannya. Dan izin menulis
hadis diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunah untuk diri sendiri, dan
mereka yang tidak kuat ingatan/hapalannya.
B. PENGHAPALAN HADIS
Para sahabat dalam menerima hadis dari Nabi SAW. berpegang pada kekuatan
hapalannya, yakni menerimanya dengan jalan hapalan, bukan dengan jalan menulis
hadis dalam buku. Sebab itu kebanyakan sahabat menerima hadis melalui mendengar
dengan hati-hati apa yang disabdakan Nabi. Kemudian terekamlah lafal dan makna
itu dalam sanubari mereka. Mereka dapat melihat langsung apa yang Nabi
kerjakan. atau mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari nabi,
karena tidak semua dari mereka pada setiap waktu dapat mengikuti atau
menghadiri majelis Nabi. Kemudian para sahabat menghapal setiap apa yang
diperoleh dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat apa yang pernah Nabi
lakukan, untuk selanjutnya disampaikan kepada orang lain secara hapalan pula.
Hanya beberapa orang sahabat saja yang mencatat hadis yang didengarnya dari
Nabi SAW. Di antara sahabat yang paling banyak menghapal/meriwayatkan hadis
ialah Abu Hurairah. Menurut keterangan Ibnu Jauzi bahwa hadis yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah sejumlah 5.374 buah hadis. Kemudian para sahabat yang paling
banyak hapalannya sesudah Abu Hurairah ialah:
1. Abdullah bin Umar
r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadis.
2. Anas bin Malik
meriwayatkan 2.276 buah hadis.
3. Aisyah meriwayatkan
2.210 buah hadis.
4. Abdullah ibnu Abbas
meriwayatkan 1.660 buah hadis.
5. Jabir bin Abdullah
meriwayatkan 1.540 buah hadis.
6. Abu Said AI-Khudri
meriwayatkan 1.170 buah hadis.
C. PENGHIMPUNAN HADIS
Pada abad pertama hijrah, yakni masa Rasulullah SAW., masa khulafaur
Rasyidin dan sebagian besar masa bani umayyah, hingga akhir abad pertama
hijrah, hadis-hadis itu berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut ke mulut
Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan
hapalannya. Memang hapalan mereka terkenal kuat sehingga mampu mengeluarkan
kembali hadis-hadis yang pernah direkam dalam ingatannya. Ide penghimpunan
hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh khalifah Umar
bin Khattab (w. 23/H/644 M). Namun ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar
karena beliau khawatir bila umat Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari
Al-Quran.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad
pertama hijrah, yakni tahun 99 hijrah datanglah angin segar yang mendukung
kelestarian hadis. Umar bin Abdul Azis seorang khalifah dari Bani Umayyah
terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dipandang sebagai khalifah Rasyidin
yang kelima.
Beliau sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis
dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia. Beliau
khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadis
dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para
penghapalnya. Maka tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis
Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H. Khalifah Umar bin
Abdul Azis memerintahkah kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin
Amer bin Hazm supaya membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada para
penghafal.
Umar bin Abdul Azis
menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm yang berbunyi:
Artinya:
“Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah. karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan. “
“Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah. karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan. “
Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur
lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis
surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri.
Kemudian Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan perinea khalifah tersebut. Dan
Az-Zuhri itulah yang merupakan salah satu ulama yang pertama kali membukukan
hadis.
Dari Syihab Az-Zuhri ini (15-124 H) kemudian dikembangkan oleh ulama-ulama
berikutnya, yang di samping pembukuan hadis sekaligus dilakukan usaha
menyeleksi hadis-hadis yang maqbul dan mardud dengan menggunakan metode sanad
dan isnad.
Metode sanad dan isnad ialah metode yang digunakan untuk menguji
sumber-sumber pembawa berita hadis (perawi) dengan mengetahui keadaan para
perawi, riwayat hidupnya, kapan dan di mana ia hidup, kawan semasa, bagaimana
daya tangkap dan ingatannya dan sebagainya. Ilmu tersebut dibahas dalam ilmu
yang dinamakan ilmu hadis Dirayah, yang kemudian terkenal dengan ilmu
Mustalahul hadis.
Setelah generasi Az-Zuhri, kemudian pembukuan hadis dilanjutkan oleh Ibn
Juraij (w. 150 H), Ar-Rabi’ bin Shabih (w. 160 H) dan masih banyak lagi
ulama-ulama lainnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa pembukuan
hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu
sempuma. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II
H. dilakukan upaya penyempunaan. Mulai. waktu itu kelihatan gerakan secara
aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuan dan penulisan
hadis-hadis Rasul SAW. Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga
sekarang sampai kepada kita, antara lain AI-Muwatha ‘ oleh imam Malik, AI
Musnad oleh Imam Asy-Syafi’l (204) H. Pembukuan hadis itu kemudian dilanjutkan
secara lebih teliti oleh Imam-lmam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim,
Turmuzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan lain-lain
Dari mereka itu, kita kenal Kutubus Sittah (kitab-kitab) enam yaitu: Sahih
AI-Bukhari Sahih Muslim, Sunan An-Nasai dan At-Turmuzi. Tidak sedikit pada
“masa berikutnya dari para ulama yang menaruh perhatian besar kepada Kutubus
sittah tersebut beserta kitab Muwatta dengan cara mensyarahinya dan memberi
catatan kaki, meringkas atau meneliti sanad dan matan-matannya.
D. TIMBULNYA PEMALSUAN
HADIS DAN UPAYA PENYELAMATANNYA
Sejak terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abu Thalib
serta Muawiyah yang masing-masing ingin memegang jabatan khalifah, maka umat
Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu syiah. khawarij, dan jumhur. Masing-masing
kelompok mengaku berada dalam pihak yang benar dan menuduh pihak lainnya salah.
Untuk membela pendirian masing-masing, maka mereka membuat hadis-hadis palsu.
Mulai saat itulah timbulnya riwayat-riwayat hadis palsu. Orang-orang yang
mula-mula membuat hadis palsu adalah dari golongan Syiah kemudian golongan
khawarij dan jumhur, Tempat mula berkembangnya hadis palsu adalah daerah Irak
tempat kamu syiah berpusat pada waktu itu.
Pada abad kedua, pemalsuan hadis bertambah luas dengan munculnya propaganda-propaganda
politik untuk menumbangkan rezim Bani Umayyah. Sebagai imbangan, muncul pula
dari pihak Muawiyyah ahli-ahli pemalsu hadis untuk membendung arus propaganda
yang dilakukan oleh golongan oposisi. Selain itu, muncul juga golongan Zindiq,
tukang kisah yang berupaya untuk menarik minat masyarakat agar mendengarkannya
dengan membuat kisah-kisah palsu.
Menurut Imam Malik ada
empat jenis orang yang hadisnya tidak boleh diambil darinya:
1. Orang yang kurang
akal.
2. Orang yang mengikuti
hawa nafsunya yang mengajak masyarakat untuk mengikuti hawa nafsunya.
3. Orang yang berdusta
dalam pembicaraannya walaupun dia tidak berdusta kepada Rasul.
4. Orang yang tampaknya
saleh dan beribadah apabila orang itu tidak mengetahui nilai-nilai hadis yang
diriwayatkannya.
Untuk itu, kemudian sebagian ulama mempelajari dan meneliti keadaan
perawi-perawi hadis yang dalam masa itu banyak terdapat perawi-perawi hadis
yang lemah Diantara perawi-perawi tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
mana yang benar-benar dapat diterima periwayatannya dan mana yang tidak dapat
diterima.
Selain itu juga diusahakan pemberantasan terhadap hadis-hadis palsu oleh
para ulama, yaitu dengan cara menunjukan nama-nama dari oknum-oknum/
golongan-golongan yang memalsukan hais berikut hadis-hadis yang dibuatnya
supaya umat islam tidak terpengaruh dan tersesat oleh perbuatan mereka. Untuk
itu, para ulama menyusun kitab-kitab yang secara khusus menerangkan hadis-hadis
palsu tersebut, yaitu antara lain :
a. Kitab oleh Muhammad
bin Thahir Ak-Maqdizi(w. tahun 507 H)
b. Kitab oleh Al-Hasan
bin Ibrahim Al-Hamdani
c. Kitab oleh Ibnul
Jauzi (w. tahun 597 H)
Di samping itu para ulama hadis membuat kaidah-kaidah atau patokan-patokan
serta menetapkan ciri-ciri kongkret yang dapat menunjukkan bahwa suatu hadis
itu palsu. Ciri-ciri yang menunjukkan bahwa hadis itu palsu antara lain:
a. Susunan hadis itu
baik lafaz maupun maknanya janggal, sehingga tidak pantas rasanya disabdakan
oleh Nabi SAW., seperti hadis:
لا تسبوا الديك فإنه صديقي
Artinya:
“Janganlah engkau memaki ayam jantan, karena dia teman karibku. “
“Janganlah engkau memaki ayam jantan, karena dia teman karibku. “
b. Isi maksud hadis
tersebut bertentangan dengan akal, seperti hadis:
الباذنجان شفاء من كل داء
Artinya:
“Buah terong itu menyembuhkan. Segala macam penyakit. “
“Buah terong itu menyembuhkan. Segala macam penyakit. “
c. Isi/maksud itu
bertentangan dengan nas Al-Quran dan atau hadis mutawatir, seperti hadis:
لا يدخل ولد الزناء الجنة
Artinya:
“Anak zina itu tidak akan masuk surga. “
“Anak zina itu tidak akan masuk surga. “
d. Hadis tersebut
bertentangan dengan firman Allah SWT. :
ولا تزر وازرة وزر أخرى (فاطر:18 )
Artinya:
“Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. ” (QS. Fatir: 18)
“Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. ” (QS. Fatir: 18)
3.Carilah
masing-masing 10 hadist ( 20 hadist beserta sanadnya) yang berkaitan dengan manajemen
dan kepemimipinan.
Hadist tentang Kepemimpinan
Hadis ke 1
Kesejahteraan
rakyat adalah
Tanggung jawab seorang pemimpin
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمقَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ
وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ
رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ
وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ
رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Hadis ke 2
Hukuman bagi pemimpin yang menipu rakyat
حَدَّثَنَا
شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ عَادَ
عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ الْمُزنِيَّ فِي مَرَضِهِ
الَّذِي مَاتَ فِيهِ قَالَ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ عَلِمْتُ أَنَّ لِي
حَيَاةً مَا حَدَّثْتُكَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ
يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ
الْجَنَّةَ
Hadis ke 3
Pemimpin
dilarang bersikap birokratis
حَدَّثَنِي
هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ حَدَّثَنِي
حَرْمَلَةُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ
أَسْأَلُهَا عَنْ شَيْءٍ فَقَالَتْ مِمَّنْ أَنْتَ فَقُلْتُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ
مِصْرَ فَقَالَتْ كَيْفَ كَانَ صَاحِبُكُمْ لَكُمْ فِي غَزَاتِكُمْ هَذِهِ فَقَالَ
مَا نَقَمْنَا مِنْهُ شَيْئًا إِنْ كَانَ لَيَمُوتُ لِلرَّجُلِ مِنَّا الْبَعِيرُ
فَيُعْطِيهِ الْبَعِيرَ وَالْعَبْدُ فَيُعْطِيهِ الْعَبْدَ وَيَحْتَاجُ إِلَى
النَّفَقَةِ فَيُعْطِيهِ النَّفَقَةَ فَقَالَتْ أَمَا إِنَّهُ لَا يَمْنَعُنِي
الَّذِي فَعَلَ فِي مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ أَخِي أَنْ أُخْبِرَكَ مَا
سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي
بَيْتِي هَذَا اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ
فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ
فَارْفُقْ بِهِ و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ
حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ حَرْمَلَةَ الْمِصْرِيِّ عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
Hadis ke 4
Kontrak
politik sebagai
mekanisme
kontrol terhadap pemimpin
حَدَّثَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ
عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا
هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ
كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي
وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا
بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ
سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Hadis ke 5
Pemimpin
tidak mengenal warna kulit
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ
عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
Hadis ke 6
Pemimpin sebagai pelayan rakyat
حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
حَمْزَةَ حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ مُخَيْمِرَةَ
أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا مَرْيَمَ الْأَزْدِيَّ أَخْبَرَهُ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى
مُعَاوِيَةَ فَقَالَ مَا أَنْعَمَنَا بِكَ أَبَا فُلَانٍ وَهِيَ كَلِمَةٌ
تَقُولُهَا الْعَرَبُ فَقُلْتُ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ أُخْبِرُكَ بِهِ سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ
وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ
وَفَقْرِهِ قَالَ فَجَعَلَ رَجُلًا عَلَى حَوَائِجِ النَّاسِ
Hads ke 7
Pemimpin
harus bersikap adil
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ سَلَّامٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ عَنْ خُبَيْبِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ
إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ وَرَجُلٌ
ذَكَرَ اللَّهَ فِي خَلَاءٍ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي
الْمَسْجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ
مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا قَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ
تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا صَنَعَتْ
يَمِينُهُ
Hadis ke 8
Jaminan bagi
pemimpin yang adil
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ
قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرٍو يَعْنِي ابْنَ
دِينَارٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَوْسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ ابْنُ
نُمَيْرٍ وَأَبُو بَكْرٍ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَفِي حَدِيثِ زُهَيْرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ
نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ
الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
Hadis ke 9
Sorga bagi
pemimpin yang adil
حَدَّثَنِي
أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ
بَشَّارِ بْنِ عُثْمَانَ وَاللَّفْظُ لِأَبِي غَسَّانَ وَابْنِ الْمُثَنَّى قَالَا
حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ قَتَادَةَ عَنْ مُطَرِّفِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الشِّخِّيرِ عَنْ عِيَاضِ بْنِ حِمَارٍ الْمُجَاشِعِيِّ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ َأَهْلُ
الْجَنَّةِ ثَلَاثَةٌ ذُو سُلْطَانٍ مُقْسِطٌ مُتَصَدِّقٌ مُوَفَّقٌ وَرَجُلٌ
رَحِيمٌ رَقِيقُ الْقَلْبِ لِكُلِّ ذِي قُرْبَى وَمُسْلِمٍ وَعَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ
ذُو عِيَالٍ
Hadis ke 10
Batas-batas
kepatuhan rakyat terhadap pemimpin
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَنِي
نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ
الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا
أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Hadist tentang Ekonomi Manajemen
Hadist ke 1
عَنْ ابْنِ
مَسْعُدٍ قاَ لَ : قَا لَ رَسُوْلُ الَّلِه صَلَّى اللَّهُ َعَلَيْهِ وَسَلَّمَ
:إِذَا خْتَلَفُ أْالبَيَّعَانِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا بَيِّنَةٌ فَاالقُوْلُ
مَايَقُوْلُ رَبُّ السَّلْعَةِ أَوْ يَتَتَارَ كَانِ. وَفِيْ رِوَيَةٍ : إِذَا
اخْتَلَفَ الْبَيْعَانِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا بَيِّنَةٍ وَالْبَيْعُ قَائِمٌ
بِعِيْنِهِ فَالقُوْ لُ مَا قَالَ الْبَا ئِعُ
أَوْ يَتَرَادَّانِ الْبَيْعَ.( رواه ابوداود)
Hadist ke 2
عَنْ
عَبْدِاللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَا لَ : قَا لَ رَسُوْلُ الَّلِه صَلَّى اللَّهُ
َعَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ يَحِلُّ سَلَفَ وَبَيْعُ وَلاَ شَرْطًانِ فِيْ بَيْعٍ
وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَنْ وَلاَ بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَ كَ. ( رواه النسا
ء)
Hadist ke 3
عَنْ
حَكِيْمٍ بْنِ حَزَا مٍ قَا لَ : أَتَيْتُ رَسُوْلُ الَّلِه صَلَّى اللَّهُ
فَقُلْتُ : يَأْتِيْنِيْ الرَّ جُلَ فَيَسْأ لُنِيْ مِنَ الْبَيْعِ مَا لَيْسَ
عِنْدِيْ أَبِتَاعٌ لَهُ مِنَ السُّوْ قِ ثُمَّ أبِيْعُهُ قَا لَ : لاَ تَبِعْ مَا
لَيْسَ عِنْدَكَ.( رواه إبن ما جح )
Hadist ke 4
عَنْ ابْنِ
عُمَرَ قَا لَ : كُنْتُ أَبِيْعٌ الاِ بِلِ بِا لبَقِيْعِ فَأَ بِيْعُ بِا لدَّ
نَا نِيْرِ وَاَخُذُ الدَّ رَا هِمَ فَأ تَيْتً النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
َعَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ بَيْتِ حَفْصَةَ فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلُ الَّله ,
اِنِّيْ أُرِيْدُ أنْ أسْأَ لُكَ اِنَّيْ أَبِيْعُ الاِ بِلِ بِا لبَقِيْعِ فَأَ
بِيْعُ بِا لدِّ نَانِيْرِ وَاَخَذُ الدَّ رَا هِمَ قَا لَ : لاَ بَأ سَ أَنْ تَاْ
خُذَ هَا بِعِسْرِ يَوْ مِهَا مَا لَمْ تَفْتَرِقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ.( رواه
الترميذى)
Hadist ke 5
عَنْ أَنَسٍ
بْنِ مَا لِكٍ رَ ضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنْ رَ سُوْ لَ اللَّهِ صَلَى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَا عَ قَدَحًا وَحِلْسًا فِيْمَنْ يَزِيْدُ. ( رواه أبو داود)
Hadist ke 6
عَنْ أَنَسٍ
أَنَّ رَجُلاً كَانَ فِيْ عُقْدَتِهِ ضَعْفٌ
وَ كَانَ يُبَا يِعُ وَأَنَّ أَهْلُهُ أَتَوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَلٌوْا: يَا رَسُوْ لُ اللَّهِ احْجُرْ عَلَيْهِ فَدَعَاهُ نَبِيُّ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَهَاهُ فَقَالَ : يَا رَسُوْلُ
اللَّهِ اِنِّى لاَ أَصْبِرُ عَنِ البَيْعِ فَقَا لَ : إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ هَا
ءَ وَهَاء وَلاَ خِلاَ بَةَ. ( رواه البخار و مسلم )
Hadist ke 7
عَنْ أَبِيْ
المِنْهَا لِ عَنْ إِيَا سٍ أَنَّ رَ سُوْ لُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ المَاءِ. ( رواه أبوا داود )
Hadist ke 8
عَنْ سُوْ
يْدِ بْنِ قَيْسٍ قَا لَ : جَلَبْتُ أنَا وَ مَخْرَقَهُ العَبْدِ يٌّ بَزًّا مِنْ
هَجَرَ فَجَاءَ نَا رَ سُو اللَّهِ صَلَى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَا وَ مَنَا سَرَاويْلَ وَعِنْدَ نَا وَزَانَّ يَزِيْنُ بِالأَجْرِ فَقَا لَ لَهُ النَّبِيُّ
صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :يَا وَزَّانِ زِنْ وَ أَرْ جِحْ. ( رواه أبوا
داود)
Hadist ke 9
عَنْ عَا
ِئشَةَ قَا لَتْ : قَا لَ رَ سُو اللَّهِ
صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ
أطْيَبَ مَا أكلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ وَإنَّ أَوْ لاَ دَكُمْ مِنْ
كَسْبِكُمْ. (رواه الترميذى)
Hadist ke 10
عَنْ عَا
ئِشَةَ أَنَّ رَسُوْ لُ اللَّهِ قَضَى أَنَّ الخَرَاجَ بِا لضَّمَا نِ. ( رواه
ألنساء)
4.berikan arti terhadap 5 dari 10 hadist tersebut dan
berikan analisisnya.
Hadis ke 1
Kesejahteraan
rakyat adalah
Tanggung
jawab seorang pemimpin
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ
وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ
رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ
وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ
رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Ibn umar r.a
berkata : saya telah mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah
pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang
kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang
dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya.
Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal
tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang
bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang
dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan
jawab) darihal hal yang dipimpinnya. (buchary, muslim)
Penjelasan:
Pada
dasarnya, hadis di atas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam islam. Dalam
hadis ini dijelaskan bahwa etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun
jawab. Semua orang yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai pemimpin.
Karenanya, sebagai pemimpin, mereka semua memikul tanggung jawab,
sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri. Seorang suami bertanggung jawab
atas istrinya, seorang bapak bertangung jawab kepada anak-anaknya, seorang
majikan betanggung jawab kepada pekerjanya, seorang atasan bertanggung jawab
kepada bawahannya, dan seorang presiden, bupati, gubernur bertanggung jawab
kepada rakyat yang dipimpinnya, dst.
Akan tetapi,
tanggung jawab di sini bukan semata-mata bermakna melaksanakan tugas lalu
setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak (atsar) bagi yang
dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah
lebih berarti upaya seorang pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak
yang dipimpin. Karena kata ra ‘a sendiri secara bahasa bermakna gembala
dan kata ra-‘in berarti pengembala. Ibarat pengembala, ia harus merawat,
memberi makan dan mencarikan tempat berteduh binatang gembalanya. Singkatnya,
seorang penggembala bertanggung jawab untuk mensejahterakan binatang
gembalanya.
Tapi cerita
gembala hanyalah sebuah tamsil, dan manusia tentu berbeda dengan binatang,
sehingga menggembala manusia tidak sama dengan menggembala binatang. Anugerah
akal budi yang diberikan allah kepada manusia merupakan kelebihan tersendiri
bagi manusia untuk mengembalakan dirinya sendiri, tanpa harus mengantungkan
hidupnya kepada penggembala lain. Karenanya, pertama-tama yang disampaikan oleh
hadis di atas adalah bahwa setiap manusia adalah pemimpin yang bertanggung
jawab atas kesejahteraan dirinya sendiri. Atau denga kata lain, seseorang mesti
bertanggung jawab untuk mencari makan atau menghidupi dirinya sendiri, tanpa
mengantungkan hidupnya kepada orang lain
Dengan
demikian, karena hakekat kepemimpinan adalah tanggung jawab dan wujud tanggung
jawab adalah kesejahteraan, maka bila orang tua hanya sekedar memberi makan
anak-anaknya tetapi tidak memenuhi standar gizi serta kebutuhan pendidikannya
tidak dipenuhi, maka hal itu masih jauh dari makna tanggung jawab yang
sebenarnya. Demikian pula bila seorang majikan memberikan gaji prt (pekerja
rumah tangga) di bawah standar ump (upah minimu provinsi), maka majikan
tersebut belum bisa dikatakan bertanggung jawab. Begitu pula bila seorang
pemimpin, katakanlah presiden, dalam memimpin negerinya hanya sebatas menjadi
“pemerintah” saja, namun tidak ada upaya serius untuk mengangkat rakyatnya dari
jurang kemiskinan menuju kesejahteraan, maka presiden tersebut belum bisa
dikatakan telah bertanggung jawab. Karena tanggung jawab seorang presiden harus
diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil dan kaum
miskin, bukannya berpihak pada konglomerat dan teman-teman dekat. Oleh sebab
itu, bila keadaan sebuah bangsa masih jauh dari standar kesejahteraan, maka
tanggung jawab pemimpinnya masih perlu dipertanyakan.
Hadis ke 2
Hukuman bagi pemimpin yang menipu rakyat
حَدَّثَنَا
شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ عَادَ
عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ الْمُزنِيَّ فِي مَرَضِهِ
الَّذِي مَاتَ فِيهِ قَالَ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ عَلِمْتُ أَنَّ لِي
حَيَاةً مَا حَدَّثْتُكَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ
يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ
الْجَنَّةَ
Abu ja’la
(ma’qil) bin jasar r.a berkata: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda:
tiada seorang yang diamanati oleh allah memimpin rakyat kemudian ketika
ia mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan pasti allah mengharamkan baginya
surga. (buchary, muslim)
Penjelasan:
Kejujuran
adalah modal yang paling mendasar dalam sebuah kepemimpinan. Tanpa kejujuran,
kepemimpinan ibarat bangunan tanpa fondasi, dari luar nampak megah namun di
dalamnya rapuh dan tak bisa bertahan lama. Begitu pula dengan kepemimpinan,
bila tidak didasarkan atas kejujuran orang-orang yang terlibat di dalamnya,
maka jangan harap kepemimpinan itu akan berjalan dengan baik. Namun kejujuran
di sini tidak bisa hanya mengandalakan pada satu orang saja, kepada pemimpin
saja misalkan. Akan tetapi semua komponen yang terlibat di dalamnya, baik itu
pemimpinnya, pembantunya, staf-stafnya, hingga struktur yang paling bawah dalam
kepemimpnan ini, semisal tukang sapunya, harus menjunjung tinggi nilai-nilai
kejujuran. Hal itu karena tidak sedikit dalam sebuah kepemimpinan, atau sebuah
organisasi, terdapat pihak yang jujur namun juga terdapat pihak yang tidak
jujur. Bila pemimpinnya jujur namun staf-stafnya tidak jujur, maka kepemimpinan
itu juga akan rapuh. Begitu pula sebaliknya.
Namun secara
garis besar, yang sangat ditekankan dalam hadis ini adalah seorang
pemimpin harus memberikan suri tauladan yang baik kepada pihak-pihak yang
dipimpinnya. Suri tauladan ini tentunya harus diwujudkan dalam bentuk
kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan pemimpin yang tidak menipu dan
melukai hati rakyatnya. Pemimpin yang menipu dan melukai hati rakyat, dalam
hadis ini disebutkan, diharamkan oleh allah untuk mengninjakkan kaki si sorga.
Meski hukuman ini nampak kurang kejam, karena hanya hukuman di akhirat dan
tidak menyertakan hukuman di dunia, namun sebenarnya hukuman “haram masuk
sorga” ini mencerminkan betapa murkanya allah terhadap pemimpin yang tidak
jujur dan suka menipu rakayat.
Hadis ke 3
Pemimpin
dilarang bersikap birokratis
حَدَّثَنِي
هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ حَدَّثَنِي
حَرْمَلَةُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ
أَسْأَلُهَا عَنْ شَيْءٍ فَقَالَتْ مِمَّنْ أَنْتَ فَقُلْتُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ
مِصْرَ فَقَالَتْ كَيْفَ كَانَ صَاحِبُكُمْ لَكُمْ فِي غَزَاتِكُمْ هَذِهِ فَقَالَ
مَا نَقَمْنَا مِنْهُ شَيْئًا إِنْ كَانَ لَيَمُوتُ لِلرَّجُلِ مِنَّا الْبَعِيرُ
فَيُعْطِيهِ الْبَعِيرَ وَالْعَبْدُ فَيُعْطِيهِ الْعَبْدَ وَيَحْتَاجُ إِلَى
النَّفَقَةِ فَيُعْطِيهِ النَّفَقَةَ فَقَالَتْ أَمَا إِنَّهُ لَا يَمْنَعُنِي
الَّذِي فَعَلَ فِي مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ أَخِي أَنْ أُخْبِرَكَ مَا
سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي
بَيْتِي هَذَا اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ
عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا
فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا
ابْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ حَرْمَلَةَ الْمِصْرِيِّ
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
‘Aisjah r.a
berkata : saya telah mendengar rasulullah saw bersabda di rumahku ini : ya
allah siapa yang menguasai sesuatu dari urusan umatku, lalu mempersukar pada
mereka, maka persukarlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku lalu berlemah
lembut pada mereka, maka permudahlah baginya. (hr. Muslim)
Penjelasan:
Hadis ini
menerangkan tentang larangan seorang pemimpin untuk bersikap arogan, elitis,
represif dan birokratis atau mempersulit urusan-urusan rakyatnya. Karena
sebagaimana kita ketahui, tidak sedikit pemimpin yang bersikap arogan dan
mempersulit urusan-urusan rakyatnya. Untuk mengurusi dokumen-dokumen kewarganegaraan
saja misalkan, seperti ktp, akta kelahiran, perijinan usaha, dsb, seorang
rakyat harus melalui tahapan-tahapan yang cukup rumit dan memakan waktu dan
biaya yang tidak sedikit.
Padahal,
seorang pemimpin, menurut hadis ini, harus memberikan pelayanan yang maksimal
serta tidak menyulitkan warga atau rakyat. Bila semua urusan itu bisa
dipermudah kenapa harus dipersulit. Akibatnya, birokrasi yang sejatinya
bertujuan untuk mempermudah, berbalik menjadi mempersulit segala urusan
rakyat. Oleh sebab itu, bila sorang pemimpin suka mempersulit urusan rakyatnya,
maka niscaya allah akan mempersulit segala urusan dia baik di dunia lebih-lebih
di akhirat nanti.
Hadis ke 4
Kontrak
politik sebagai
mekanisme
kontrol terhadap pemimpin
حَدَّثَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ
عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا
هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ
كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي
وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا
بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ
سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Abu hurairah
r.a berkata : rasulullah saw bersabda : dahulu bani israil selalu dipimpin oleh
nabi, tiap mati seorang nabi seorang nabi digantikan oleh nabi lainnya, dan
sesudah aku ini tidak ada nabi, dan akan terangkat sepeninggalku beberapa
khalifah. Bahkan akan bertambah banyak. Sahabat bertanya: ya rasulullah apakah
pesanmu kepada kami? Jawab nabi: tepatilah baiatmu (kontrak politik) pada yang
pertama, dan berikan kepada mereka haknya, dan mohonlah kepada allah bagimu,
maka allah akan menanya mereka dari hal apa yang diamanatkan dalam memelihara
hambanya.
Penjelasan:
Pada
umumnya, kata bai’at diartikan sebagai janji. Namun sebenarnya, kata bai’at
berasal dari suku kata bahasa arab ba-ya-‘a yang bermakna transaksi.
Bila transaksi ini konteksnya adalah ekonomi maka ia berarti jual beli yang
kemudian dikenal dengan kata kerja bu yu’ yang berarti terjadinya
transaksi antara penjual dan pembeli. Akan tetapi bila konteks kata
tersebut adalah politik, maka yang dimaksud transaksi di sini adalah sebuah
perjanjian antar rakyat dan pemimpin. Karena itu, tak heran bila rasul s.a.w
senantiasa menekankan pentingnya bai’at dalam sebuah kepemimpinan, dengan
bai’at seorang pemimpin telah melakukan transaksi politik yang menuntut
pemenuhan atas point-poin yang menjadi ksepakatan dalam transaksi mereka
(pemimpin dan rakyat).
Akan tetapi,
dalam konteks belakangan ini, kata bai’at mengalami reduksi makna hanya sekedar
sumpah jabatan yang biasanya bersifat pasif dan tidak memberikan ruang tawar
menawar politik antara rakyat dan pemimpin. Bila kita melihat praktik sumpah
jabatan di indonesia misalkan, sumpah jabatan presiden hanya dibacakan secara
sepihak antara mpr dan presiden namun tidak menyisakan ruang negoisasi antara
rakyat dan prsiden. Padahal, rakyat sebagai pihak yang dipimpin seharusnya
berhak membuat kesepakatan-kesepakatan politik tertentu dengan presiden yang
bila kesepakatan itu dilanggar maka jabatan presidien dengan sendirinya
akan gugur. Oleh sebab itu, agar sumpah jabatan ini tidak sekedar menjadi
ritual dalam setiap pemilihan presiden atau pemimpin namun tidak memiliki
dampak yang berarti dalam proses kepemimpinannnya, maka kemudian kita mengenal
apa yang dalam istilah politik disebut sebagai “kontrak politik”.
Kontrak
politik di sini mengandung pengertian sebuah ruang dimana antara pemimpin dan
rakyat melakukan “transaksi” dan membuat kesepakatan-kesepakatan tertentu yang
memilki resiko-resiko bila kedua belah pihak melanggarnya. Kontrak politik,
dalam hal ini tidak berbeda dengan ba’at dalam istilah islam. Hanya saja,
kontrak politik terjadi antara rakyat dan pemimpin secara setara dan diketahui
secara publik, tetapi bai’at dilakukan oleh rakyat, pemimpin dan di atas
keduanya ada tuhan sebagai saksi. Oleh sebab itu, bila kita memaknai hadis di
atas secara dalam dan kontekstual, maka kita dapat menangkap pesan bahwa rasul
s.a.w menekankan betapa pentingnya sebuah kontrak politik dalam sebuah sistem kepemimpinan
yang islami.
Hadis ke 5
Pemimpin tidak mengenal warna
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ
عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
kulit
Anas r.a
berkata : bersabda rasulullah saw: dengarlah dan ta’atlah meskipun yang
terangkat dalam pemerintahanmu seorang budak habasyah yang kepalanya bagaikan
kismis. (buchary)
Penjelasan:
Islam adalah
agama rahmatan lil ‘alamin. Begitu pula nabi muhammad s.a.w diutus sebagai nabi
bukan hanya untuk orang arab saja, melainkan untuk semua umat manusia. Karena
itu, para pengikut nabi bukan saja dari kalangan suku quraisy yang menjadi suku
bergengsi saat itu, melainkan juga dari suku-suku lainnya yang sebelum datang
islam termasuk suku “hina”. Bahkan kita mengenal salah seorang sahabat
nabi yang bernama bilal bin rabah yang warna kulitnya cukup hitam legam.
Padahal, sebelum datangnya ajaran islam di arab dulu, orang kulit hitam adalah
termasuk kelompok suku yang sebagian besar berprofesi sebagai budak. Mereka
sama sekali tidak dihargai dan tidak diperlakukan sebagaimana manusia yang
lain. Akan tetapi setelah turun ajaran islam, semua batasan-batasan ras, warna
kulit, dan golongan itu dihapus, dan semua manusia adalah sama statsunya di
muka allah, hanya keimanan dan ketaqwaanlah yang membedakan mereka.
Pengakuan
islam terhadap dimensi kemanusian universal bukan hanya dalam pergaulan sosial
sehari-hari, melainkan islam juga mengakui semua orang berhak menjadi pemimpin.
Tidak peduli mereka itu berkulit hitam, coklat, merah, hijau, dsb, asalkan bisa
memimpin secara adil, maka dia berhak untuk menjadi pemimpin. Dalam konteks
ini, keadilan dan kejujuran menjadi kriteria paling pokok dalam menentukan
seorang pemimpin, bukan warna kulit atau asal golongan. Dan apabila yang
terpilih sebagai pemimpin adalah dari kalangan kulit hitam, islam juga
mewajibkan kita agar tidak boleh meremehkan pemimpin itu. Akan tetapi kita juga
harus mematuhi semua perintahnya (selama tidak untuk ma’siyat) sebagaimana kita
mematuhi perintah pemimpin-pemimpin yang lain.
Hadis ke 6
Pemimpin sebagai pelayan rakyat
حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
حَمْزَةَ حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ مُخَيْمِرَةَ
أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا مَرْيَمَ الْأَزْدِيَّ أَخْبَرَهُ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى
مُعَاوِيَةَ فَقَالَ مَا أَنْعَمَنَا بِكَ أَبَا فُلَانٍ وَهِيَ كَلِمَةٌ تَقُولُهَا
الْعَرَبُ فَقُلْتُ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ أُخْبِرُكَ بِهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ
وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ
قَالَ فَجَعَلَ رَجُلًا عَلَى حَوَائِجِ النَّاسِ
Abu maryam
al’ azdy r.a berkata kepada muawiyah: saya telah mendengar rasulullah saw
bersabda: siapa yang diserahi oleh allah mengatur kepentingan kaum muslimin,
yang kemdian ia sembunyi dari hajat kepentingan mereka, maka allah akan menolak
hajat kepentingan dan kebutuhannya pada hari qiyamat. Maka kemudian muawiyah
mengangkat seorang untuk melayani segala hajat kebutuhan orang-orang (rakyat).
(abu dawud, attirmidzy)
Penjelasan:
Pemimpin
sebagai pelayan dan rakyat sebagai tuan. Itulah kira-kira yang hendak
disampaikan oleh hadis di atas. Meski tidak secara terang-terangan hadis di
atas menyebutkan rakyat sebagai tuan dan pemimpin sebagai pelayan, namun
setidaknya hadis ini hendak menegaskan bahwa islam memandang seorang pemimpin
tidak lebih tinggi statusnya dari rakyat, karena hakekat pemimpin ialah
melayani kepentingan rakyat. Sebagai seorang pelayan, ia tentu tidak beda
dengan pelayan-pelayan lainnya yang bertugas melayani kebutuhan-kebutuhan
majikannya. Seorang pelayan rumah tangga, misalkan, harus bertanggung jawab
untuk melayani kebutuhan majikannya. Demikian juga seorang pelayan kepentingan
rakyat harus bertanggung jawab untuk melayani seluruh kepentingan rakyatnya.
Dalam
konteks indoensia, sosok “pelayan” yang bertugas untuk memenuhi kepentingan
“tuan” rakyat ini adalah presiden, menteri, dpr, mpr, ma, bupati, walikota,
gubernur, kepala desa, dan semua birokrasi yang mendukungnya. Mereka ini adalah
orang-orang yang kita beri kepercayaan (tentunya melalui pemilu) untuk mengurus
segala kepentingan dan kebutuhan kita sebagai rakyat. Karena itu, bila mereka
tidak melaksanakan tugasnya sebagai pelayan rakyat, maka kita sebagai “tuan”
berhak untuk “memecat” mereka dari jabatannya.
Hadis ke 7
Pemimpin
harus bersikap adil
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ سَلَّامٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ عَنْ خُبَيْبِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ
إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ وَرَجُلٌ
ذَكَرَ اللَّهَ فِي خَلَاءٍ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي
الْمَسْجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ
مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا قَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ
تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا صَنَعَتْ
يَمِينُهُ
Abu hurairah
r.a: berkata: bersabda nabi saw: ada tujuh macam orang yang bakal bernaung di
bawah naungan allah, pada hati tiada naungan kecuali naungan allah:
Imam(pemimpin) yang adil, dan pemuda yang rajin ibadah kepada allah. Dan orang
yang hatinya selalu gandrung kepada masjid. Dan dua orang yang saling kasih
sayang karena allah, baik waktu berkumpul atau berpisah. Dan orang laki yang
diajak berzina oleh wanita bangsawan nan cantik, maka menolak dengan kata: saya
takut kepada allah. Dan orang yang sedekah dengan sembunyi-sembunyi hingga
tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. Dan
orang berdzikir ingat pada allah sendirian hingga mencucurkan air matanya.
(buchary, muslim)
Penjelasan:
Meski hadis
ini menjelaskan tentang tujuh macam karakter orang yang dijamin keselamatannya
oleh allah nanti pada hari kiamat, namun yang sangat ditekankan oleh hadis ini
adalah karakter orang yang pertama, yaitu pemimpin yang adil. Bukannya kita
menyepelekan enam karakter sesudahnya, akan tetapi karakter pemimpin yang adil
memang menjadi tonggak bagi kemaslahatan seluruh umat manusia. Tanpa pemimpin
yang adil maka kehidupan ini akan terjebak ke dalam jurang penderitaan yang
cukup dalam.
Untuk
melihat sejauh mana seorang peimimpin itu telah berlaku adil terhadap rakyatnya
adalah melalui keputusan-keputuasan dan kebijakan yang dikeluarkannya. Bila
seorang pemimpin menerapkan hukum secara sama dan setara kepada semua warganya
yang berbuat salah atau melanggar hukum, tanpa tebang pilih, maka pemimpin itu
bisa dikatakan telah berbuat adil. Namun sebaliknya, bila pemimpin itu hanya
menghukum sebagian orang (rakyat kecil) tapi melindungi sebagian yang lain
(elit/konglomerat), padahal mereka sama-ama melanggar hukum, maka pemimpin itu
telah berbuat dzalim dan jauh dari perilaku yang adil.
Hadis ke 8
Jaminan bagi
pemimpin yang adil
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ
قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرٍو يَعْنِي ابْنَ دِينَارٍ
عَنْ عَمْرِو بْنِ أَوْسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ ابْنُ نُمَيْرٍ
وَأَبُو بَكْرٍ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي
حَدِيثِ زُهَيْرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ
الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي
حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
Abdullah bin
‘amru bin al ‘ash r.a berkata: rasulullah saw bersabda: sesungguhnya
orang-orang yang berlaku adil, kelak disisi allah ditempatkan diatas mimbar
dari cahaya, ialah mereka yang adil dalam hokum terhadap keluarga dan apa saja
yang diserahkan (dikuasakan) kepada mereka. (muslim)
Penjelasan:
Bila hadis
sebelumnya berbicara tentang “garansi” allah atas pemimpin yang berbuat adil,
maka hadis ini lebih mengulas tentang “imbalan” bagi seorang pemimpin yang
adil. Dalam hadis ini disebutkan bahwa imbalan bagi pemimpin yang adil adalah
kelak di sisi allah akan ditempatkan di atas mimbar dari cahaya. Secara
harfiyah, mimbar berarti sebuah tempat khusus untuk orang-orang yang hendak
berdakwah atau berceramah di hadapan umum. Karenanya, mimbar jum’at biasanya
mengacu pada sebuah tempat khusus yang disediakan masjid untuk kepentingan
khotib. Sementara cahaya adalah sebuah sinar yang menerangi sebuah
kehidupan. Kata cahaya biasanya mengacu pada matahari sebagai penerang bumi,
lampu sebagai penerang dari kegelapan, dsb. Oleh sebab itu, kata mimbar dari
cahaya di dalam hadis di atas tentu tidak serta merta dimaknai secara harfiyah
seperti mimbar yang dipenuhi hiasan lampu-lampu yang bersinar terang, melainkan
mimbar cahaya adalah sebuah metafor yang menggambarkan sebuah posisi yang
sangat terhormat di mata allah. Posisi itu mencrminkan sebuah ketinggian status
setinggi cahaya matahari.
Hadis ke 9
Sorga bagi pemimpin yang adil
حَدَّثَنِي
أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ
بَشَّارِ بْنِ عُثْمَانَ وَاللَّفْظُ لِأَبِي غَسَّانَ وَابْنِ الْمُثَنَّى قَالَا
حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ قَتَادَةَ عَنْ مُطَرِّفِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الشِّخِّيرِ عَنْ عِيَاضِ بْنِ حِمَارٍ الْمُجَاشِعِيِّ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ َأَهْلُ
الْجَنَّةِ ثَلَاثَةٌ ذُو سُلْطَانٍ مُقْسِطٌ مُتَصَدِّقٌ مُوَفَّقٌ وَرَجُلٌ
رَحِيمٌ رَقِيقُ الْقَلْبِ لِكُلِّ ذِي قُرْبَى وَمُسْلِمٍ وَعَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ
ذُو عِيَالٍ
Ijadl bin
himar r.a berkata: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: orang-orang
ahli surga ada tiga macam: raja yang adil, mendapat taufiq hidayat ( dari
allah). Dan orang belas kasih lunak hati pada sanak kerabat dan orang muslim.
Dan orang miskin berkeluarga yang tetap menjaga kesopanan dan kehormatan diri.
(muslim).
Penjelaan:
Bila yang
pertama tadi allah akan menjamin pemimpin yang berbuat adil dengan jaminan
naungan rahmat dari allah, dan hadis selanjutnya menjamin dengan jaminan mimbar
yang terbuat dari cahaya, maka jaminan yang ke tiga ini adalah jaminan sorga.
Ketiga jaminan di atas tentunya bukan sekedar jaminan biasa, melainkan semua
jaminan itu menunjukkan betapa islam sangat menekankan pentingnya sikap
keadilan bagi seorang peimimpin. Rasul s.a.w tidak mungkin memberikan jaminan
begitu tinggi kepada seseorang kecuali seseorang itu benar-benar dituntut untuk
melakukan hal yang sangat ditekankan dalam islam. Dan keadilan adalah perkara
penting yang sangat ditekankan dalam islam. Oleh karena itu, siapa yang
menjunjung tinggi keadilan, niscaya orang tersebut akan mendapat jaminan yang
tinggi dari islam (allah), baik di dunia, maupun di akhirat.
Hadis ke 10
Batas-batas kepatuhan rakyat terhadap pemimpin
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَنِي
نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ
الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا
أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Ibn umar r.a
berkata : bersabda nabi saw : seorang muslim wajib mendengar dan ta’at
pada pemerintahannya, dalam apa yang disetujui atau tidak disetujui, kecuali
jika diperintah ma’siyat. Maka apabila disuruh ma’siyat, maka tidak wajib
mendengar dan tidak wajib ta’at.
Penjelasan:
Hadis di
atas menunjukkan kepada kita bahwa kepatuhan seorang rakyat terhadap pemimpin
tidaklah mutlak. Ada batasan-batasan tertentu dimana seorang rakyat wajib ta’at
dan patuh dan ada pula saat dimana rakyat tidak perlu patuh, bahkan boleh
berontak atau melawan. Dalam hadis di atas, batasan-batasan kepatuhan terhadap
pemimpin itu adalah selama pimimpin tidak memerintahkan rakyatnya untuk berbuat
ma’siyat. Lantas pertanyaanya, apa yang dimaksud engan ma’siyat itu?
Secara
bahasa ma’siyat adalah berarti durhaka atau tidak ta’at kepada allah. Namun
secara istilahi, makna ma’siyat cukup beragam. Karenanya, adalah salah kaprah
bila kita membatasi makna ma’siyat hanya pada perkara-perkara semacam
pornografi dan pornoaksi, seperti yang dilakukan oleh sekelompok orang yang
mengatasnamakan islam dalam melakukan pengrusakan tempat hiburan dengan dalih
menghapus kema’siyatan.
Padahal
kem’siyatan bukan hanya berada di tempat hiburan malam, akan tetapi di
kantor-kantor pemerintah justru lebih banyak kema’siyatan dalam bentuknya yang
samar namun cukup memprihatinkan. Lihatlah misalnya di kantor-kantor
departemen, di ruang-ruang sidang para wakil rakyat, bahkan di masjid
sekalipun, kita bisa menjumpai kema’siyatan. Namun yang dimaksud kema’siyatan
di sini tentunya bukan penari telanjang atau orang yang sedang mabuk-mabukan,
melainkan tindakan-tindakan yang mendurhakai allah yang dipertontonkan oleh
para pemimpin kita, wakil rakyat kita dan bahkan ulama-ulama kita. Bukankah
korupsi, kolusi dan semua hal yang mengarah pada ketidak jujuran dalam memimpin
negeri ini serta mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat
kecil juga termasuk ma’siyat. Bukan hanya itu, seorang ulama yang pandai
berkhutbah namun dia menjadi jurkam dari pemimpin yang korup juga telah masuk
dalam kategori berbuat ma’siyat. Bahkan tindakan yang tidak melindungi
anak-anak terlantar, janda-janda tua dan kaum miskin papa juga termasuk
ma’siyat karena semua itu merupakan perintah allah, dan bagi siapa yang tidak
melaksanakan perintah allah maka dia telah mendurhakai allah, dan orang yang
durhaka berarti berbuat ma’siyat kepada allah.
Dengan
demikian, kema’siyatan yang tidak perlu dipatuhi seorang rakayat terhadap
pemimpinnya adalah kema’siyatan dengan pengertiannya yang cukup luas
(mendurhakai allah) bukan saja kema’siyatan yang berarti sempit (seperti
pornoaksi dan pornografi). Oleh sebab itu, dari hadis di atas bisa kita
simpulkan bahwa apabila pemimpin kita sudah tidak lagi memegang prinsip-prinsip
kejujuran serta tidak lagi berpihak pada kepentingan rakyat kecil, maka batasan
kepatuhan terhadap pemimpin tersebut sudah gugur dengan sendirinya, karena
pemimpin itu sendiri sudah termasuk kema’siyatan yang perlu untuk di hapuskan
di muka bumi ini.
Hadist tentang Ekonomi Manajemen
Hadist ke 1
عَنْ ابْنِ
مَسْعُدٍ قاَ لَ : قَا لَ رَسُوْلُ الَّلِه صَلَّى اللَّهُ َعَلَيْهِ وَسَلَّمَ
:إِذَا خْتَلَفُ أْالبَيَّعَانِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا بَيِّنَةٌ فَاالقُوْلُ
مَايَقُوْلُ رَبُّ السَّلْعَةِ أَوْ يَتَتَارَ كَانِ. وَفِيْ رِوَيَةٍ : إِذَا
اخْتَلَفَ الْبَيْعَانِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا بَيِّنَةٍ وَالْبَيْعُ قَائِمٌ
بِعِيْنِهِ فَالقُوْ لُ مَا قَالَ الْبَا ئِعُ
أَوْ يَتَرَادَّانِ الْبَيْعَ.( رواه ابوداود)
Dari ibnu Mas’ud RA,ia berkata, Rasulullah bersabda,” apabila penjual dan
pembeli berseliasih, dan tidak ada bukti keduanya, makaperkataan yang di ikuti
adlah perkataan pemilik barang dagangan, atau kedunya saling meninggalkan (membatalkan
transaksi )
Keterangan
Hadist
shahih,di riwayatkan oleh abu Daud (no.3511), Nasa’i (no. 4662 ), Tirmidzi (
1270), dan ibnu majah ( no.2216)
Hadist ke 2
عَنْ
عَبْدِاللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَا لَ : قَا لَ رَسُوْلُ الَّلِه صَلَّى اللَّهُ
َعَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ يَحِلُّ سَلَفَ وَبَيْعُ وَلاَ شَرْطًانِ فِيْ بَيْعٍ
وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَنْ وَلاَ بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَ كَ. ( رواه النسا
ء)
Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata,
Rasulullah SAW bersabda. “ tidak halal maenggabungkan antara pinjaman
dan jual beli, dan tidak sah dua syarat dalam satu transaksi jual beli, tidak
sah pula mengambil keuntungan selamatidak memberi jaminan, dan tidak halal
menjual sesuatu yang bukan milik mu. (H.R.An-Nasa’i)
Ketarangan
Hadist
shahih, diriwayatkan oleh Abu Daud ( no.3504), nasa’i ( n. 4644, 4645),
Tirmidzi( 1234), dan ibnu majah ( no.2218).
Hadist ke 3
عَنْ
حَكِيْمٍ بْنِ حَزَا مٍ قَا لَ : أَتَيْتُ رَسُوْلُ الَّلِه صَلَّى اللَّهُ
فَقُلْتُ : يَأْتِيْنِيْ الرَّ جُلَ فَيَسْأ لُنِيْ مِنَ الْبَيْعِ مَا لَيْسَ
عِنْدِيْ أَبِتَاعٌ لَهُ مِنَ السُّوْ قِ ثُمَّ أبِيْعُهُ قَا لَ : لاَ تَبِعْ مَا
لَيْسَ عِنْدَكَ.( رواه إبن ما جح )
Dari Hakim bin Hizam, ia berkata, “Aku datang kepada Rasulullah SAW lalu
bertanya, ‘ Aku di datangi oleh seseorang yang memintaku untuk menjual sesuatu
yang tidak ada padaku ( bukan milikku ) apkah aku boleh membelnya dari pasar
kmudian menjualnya ?’ beliau menjawab, ‘ janganlah kamu menjual sesauatu
yang bukan milikmu.”
Keterangan
Hadist
shahih, di riwayatkan oloeh Abu Daud (no. 3503), Nasa’i ( no. 4627), tirmidzi (
no. 1232), dan ibnu majah ( no. 2187).
Hadist ke 4
عَنْ ابْنِ
عُمَرَ قَا لَ : كُنْتُ أَبِيْعٌ الاِ بِلِ بِا لبَقِيْعِ فَأَ بِيْعُ بِا لدَّ
نَا نِيْرِ وَاَخُذُ الدَّ رَا هِمَ فَأ تَيْتً النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
َعَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ بَيْتِ حَفْصَةَ فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلُ الَّله ,
اِنِّيْ أُرِيْدُ أنْ أسْأَ لُكَ اِنَّيْ أَبِيْعُ الاِ بِلِ بِا لبَقِيْعِ فَأَ
بِيْعُ بِا لدِّ نَانِيْرِ وَاَخَذُ الدَّ رَا هِمَ قَا لَ : لاَ بَأ سَ أَنْ تَاْ
خُذَ هَا بِعِسْرِ يَوْ مِهَا مَا لَمْ تَفْتَرِقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ.( رواه
الترميذى)
Dari ibnu
umar berkata, Aku pernah menjual onta di daerah baqi’, aku pun menjualnya
dengan uang dinar, namun ku ambil harganya berupa uang dirham. Lalu aku
mendatangi Rasuullah SAW di rumah Hafsah dan aku bertanya, “ ya Rasulullah, aku
ingin bertanya kepada mu, ( bagaimana hukumnya), Aku pernah menjual onta di
daerah baqi’, aku pun menjualnya dengan uang dinar, namun ku ambil harganya
berupa uang dirham ?. Nabi SAW menjawab, ‘ tidak mengapa kamu mengambilnya
dengan harga pada hari itu, selama kalian berdua tidak di pisahkan oleh
sesuatu.”( H.R.Tirmidzi).
Keterangan
Hadist
Dha’if, di riwayatkan oleh Abu Daud (no. 1641), Nasa’i ( no. 4596), Tirmidzi (
no. 1242), dan ibnu majah ( no. 2262).
Hadist ke 5
عَنْ أَنَسٍ
بْنِ مَا لِكٍ رَ ضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنْ رَ سُوْ لَ اللَّهِ صَلَى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَا عَ قَدَحًا وَحِلْسًا فِيْمَنْ يَزِيْدُ. ( رواه أبو داود)
Dari Anas bin Malik RA, bahwa Rasulullah pernah menjual wadah minuman (
gelas) dan pelana kuda kepada orang yang mau menambahkan harganya.( H.R.Abu
Daud)
Keterangan
Hadist
dha’if, di riwayatkan oleh Abu Daud (no. 1641), Nasa’i ( no. 4520), Tirmidzi
(no. 1218), dan Ibnu Mjah ( no. 2198).
Hadist ke 6
عَنْ أَنَسٍ
أَنَّ رَجُلاً كَانَ فِيْ عُقْدَتِهِ
ضَعْفٌ وَ كَانَ يُبَا يِعُ وَأَنَّ أَهْلُهُ أَتَوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَلٌوْا: يَا رَسُوْ لُ اللَّهِ احْجُرْ عَلَيْهِ فَدَعَاهُ
نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَهَاهُ فَقَالَ : يَا
رَسُوْلُ اللَّهِ اِنِّى لاَ أَصْبِرُ عَنِ البَيْعِ فَقَا لَ : إِذَا بَايَعْتَ
فَقُلْ هَا ءَ وَهَاء وَلاَ خِلاَ بَةَ. ( رواه البخار و مسلم )
Dari Anas bin Malik RA, ia menceritakan bahea ada seorang laki-laki
terbelakang mental dan bermaksud melakukan jual beli. Kemudian keluarganya
datang kepada Nabi SAW lalu berkata, “ Wahai Rasulullah, cegahlah ia. ’’ Nabi
SAW kemudian memenggil lelaki itu dan melarangnya. Maka lelaki itu berkata, “
Wahai Rasululah, sesungguhnya aku sudah
tidak sabar untuk menjualnya.’’ Maka beliau bersabda, “ apabila akan menjual
sesuatu, maka katakanlah, ‘Transaksi harus langsung, ‘dan jangan pula ada unsur
tipuan.’’ ( H.R. Bukhari dan Muslim)
Keterangan
Hadist shahih,
di riwayatkan oleh Abu Daud (no. 3501), Nasa’i ( no. 4497), Tirmidzi ( no.
1250), dan Ibnu Majah ( no. 2354). dan hadist sejenis juga di riwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim dari hadist Ibnu Umar RA.
Hadist ke 7
عَنْ أَبِيْ
المِنْهَا لِ عَنْ إِيَا سٍ أَنَّ رَ سُوْ لُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ المَاءِ. ( رواه أبوا داود )
Dari Abi Minhal, dari Iyas, Bahwa Rasulullah SAW melarang untuk menjual
air. ( H.R.Abu Daud).
Keterangan
Hadist
shahih, di riwayatkan oleh Abu Daud ( no. 3478), Nasa’i ( no. 4675, 4677),
Tirmidzi ( no. 1271), dan Ibnu Majah ( no. 2476).
Hadist ke 8
عَنْ سُوْ
يْدِ بْنِ قَيْسٍ قَا لَ : جَلَبْتُ أنَا وَ مَخْرَقَهُ العَبْدِ يٌّ بَزًّا مِنْ
هَجَرَ فَجَاءَ نَا رَ سُو اللَّهِ صَلَى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَا وَ مَنَا سَرَاويْلَ وَعِنْدَ نَا وَزَانَّ يَزِيْنُ بِالأَجْرِ فَقَا لَ لَهُ النَّبِيُّ
صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :يَا وَزَّانِ زِنْ وَ أَرْ جِحْ. ( رواه أبوا
داود)
Dari Sawaid bin Qais, ia berkata, “ Aku datang bersama makhrafah Al Abdi
membawa kain yang berasal dari kampung hajar. Kemudian kami datang kepada
Rasulullah SAW, lalu beliau membarternya dengan celana, seang di saat itu di
sisi kami ada tukang timbang yang menimbang dengan imbalan upah. Maka Nabi SAW
berkata kepadanya. ‘wahai tukang timbang, timbangkan lah dan pastikan. ( H.R. Abu
Daud).
Keterangan
Hadist
shahih, di riwayatkan oleh Abu Daud ( no. 3336), Nasa’i (no. 4606, 4607),
Tirmidzi ( no. 1305), dan Ibnu Majah ( no. 2220).
Hadist ke 9
عَنْ عَا
ِئشَةَ قَا لَتْ : قَا لَ رَ سُو اللَّهِ
صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ
أطْيَبَ مَا أكلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ وَإنَّ أَوْ لاَ دَكُمْ مِنْ
كَسْبِكُمْ. (رواه الترميذى)
Dari Aisyah RA, ia berkata “ Rasulullah SAW bersabda, ‘ sesungguhnya
sebaik-baik apa yang kalian makan adalah yang berasal dari usaha kalian, dan
sesungguhnya anak-anak kalian itu termasuk dari usaha kalian.’’ ( H.R.Tirmidzi).
Keterangan
Hadist shahih, di riwayatkan oleh Abu Daud (no. 3528, 3529), Nasa’i ( no.
4461, 4462), Tirmidzi (no. 1358), dan Ibnu Majah ( no. 2290).
Hadist ke 10
عَنْ عَا
ئِشَةَ أَنَّ رَسُوْ لُ اللَّهِ قَضَى أَنَّ الخَرَاجَ بِا لضَّمَا نِ. ( رواه ألنساء)
Dari Aisyah
RA, bahwa Rasulullah SAW telah memutuskan bahwa hak mendapatkan hasil di
sebabkan oleh keharusan menanggung kerugian ( al kharaj bidh dhiman). (
H.R.Annasa’i).
Keterangan
Hadits
hasan, di riwayatkan oleh Abu Daud (no. 3508), Nasa’i ( no. 4502), Tirmidzi (
no. 1285), Ibnu Majah ( no. 2242, 2243).
Pengertian
ini sepert di sebutkan dalam Firman Allah SWT, “ atau kamu memnta upah kepada
mereka ? maka upah dari Tuhanmu adalah lebih baik. ’’ ( Q.S.Al Mu’min [23]:72).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar